JAKARTA - Bertani dan berladang pernah jadi profesi mayoritas orang Betawi tempo dulu. Mereka melanggengkan laku hidup bercocok tanam di mana-mana. Alih-alih aktivitas itu hanya dilanggengkan di dekat sungai, bertani dan berladang juga dilakukan jauh dari sungai.
Pengairannya pun mengandalkan air hujan. Masalah muncul kala hujan tak datang, utamanya pada musim kemarau panjang. Namun, orang Betawi pantang berpangku tangan. Mereka melanggengkan ritual memanggil hujan ala nenek moyang. Tradisi Ujungan, namanya.
Hidup bertani dan berladang sudah dilakukan oleh orang Betawi sejak dulu kala. Narasi itu membuat banyak tradisi berkembang dalam kehidupan agraris itu. Laku hidup bertani tak jauh berbeda ketika maskapai dagang Belanda, VOC datang dan membangun Kota Batavia (kini: Jakarta) sedari 1619.
Pekerjaan itu tak ditinggalkan. Sekalipun tanah-tanah dikuasai Kompeni dan dijual ke kepada orang-orang kaya. Orang kaya Belanda, Arab, hingga China. Orang Betawi tetap teratur bertani dan berladang, walau konsekuensinya mereka harus membayar pajak kepada Demang (pegawai bumiputra) yang ditugasi Belanda.
Aktivitas itu terus langgeng hingga Kompeni digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Profesi sebagai petani masih menjadi andalan. Padahal, melanggengkan pekerjaan itu tak mudah. Kadang kala mereka terpaksa dapat upah murah. Kadang kala, pajak yang hadir begitu mencekik.
Masalah itu memunculkan pemberontakan di mana-mana. Kaum tani berhadapan melawan centeng-centeng Belanda. Namun, profesi itu tetap langgeng. Banyak di antara orang Betawi memilih bertani di dekat dengan sungai.
Banyak juga yang memilih bertani jauh dari sungai. Mereka mengandalkan air hujan untuk mengairi sawah atau ladangnya. Kondisi itu telah berlangsung secara turun-temurun.
“Orang Betawi yang tinggal di tanah basah umumnya berprofesi sebagai petani. Di daerah yang dekat dengan sungai petani dapat memanfaatkan air sungai untuk mengairi sawahnya, tetapi yang jauh dari aliran air menggantungkan pengairan sawahnya dari air hujan.”
Oleh karena itu, sawahnya disebut sawah tadah hujan. Sawah-sawah yang dapat pengairan dari sungai dapat panen dua kali dalam setahun, sedangkan sawah tadah hujan hanya panen satu kali dalam setahun. Lalu, sisa waktunya digunakan untuk menanam palawija. Dalam hal ini, air sumur digunakan untuk menyiram tanaman palawija itu,” tegas Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe (2015).
Tradisi Minta Hujan
Aktivitas bertani dan berladang membuat orang Betawi bergantung sekali dengan air hujan. Sekali hujan jarang datang, segenap orang Betawi akan dilanda rasa panik. Apalagi, kala kemarau panjang melanda. Kondisi itu tak membuat orang Betawi pasrah saja.
Mereka ogah berpangku tangan. Orang Betawi justru memilih untuk melanggengkan tradisi memangil hujan di Betawi. Tradisi Ujungan (pencug di ujung), namanya. Ujungan dianggap sebagai suatu tradisi seni ketangkasan pukul memukul menggunakan rotan dengan diiringi seni musik. Ujungan dianggap hiburan komplit karena memadukan banyak seni: maen pukulan, tari, dan musik.
Alat musik yang dominan digunakan adalah perkusi sampyong dan tok-tok. Mereka yang melanggengkannya adalah para pendekar, jawara, atau jago Betawi yang menggunakan aliran maen pukulan (silat khas Betawi) masing-masing. Pertarungan pun dilakukan satu lawan satu.
Sebagai suatu uji ketangkasan, katanya. Tradisi Ujungan biasa hadir di daerah yang notabene memiliki kehidupan petani kebun dan sawah tadah hujan. Dari Jakarta timur hingga Bekasi.
Orang Betawi pun memilih lokasi Ujungan di area persawahan yang kering akibat kemarau panjang. Saban tradisi Ujungan digelar penonton yang datang selalu ramai. Sekalipun tiada catatan resmi kapan tradisi memanggil hujan ini dimulai.
“Bila hujan lama tidak turun, sawah dan ladang kering, karena sebagian besar persawahan di Bekasi Utama adalah sawah tadah hujan. Jika ditelusuri, fungsi Ujungan dalam konteks memanggil hujan dengan menyediakan pengorbanan darah, senada dengan seni ketangkasan sejenis di daerah lain. Kegiatan ritual pengorbanan untuk memohon sesuatu dari Sang Maha Pencipta.”
“Tradisi Ujungan yang kemudian kerap mengeluarkan darah mengeluarkan darah adalah manifestasi dari konsep getah-getih dan tabuh rah yang sudah dilakukan masyarakat Indonesia di masa pra Hindu. Hal ini jika dilihat dari bentuk seni permainan sejenis dari kebudayaan-kebudayaan di Nusantara memiliki benang merah, adanya dua unsur yaitu ritual meminta hujan dan pengorbanan darah, seperti seni Magebug di Bali,” terang G.J. Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Budayawan Betawi, Masykur Isnan justru melihat tradisi Ujungan lebih luas. Tradisi itu dianggapnya sebagai bentuk ikhtiar orang Betawi tempo dulu memanggil hujan. Tradisi ini tak melulu dikenal bernuansa pukul-pukulan belaka. Sebab, nilai persahabatan jelas terkandung di dalamnya.
Boleh jadi aturannya peserta yang banyak mendapatkan pukulan adalah pemenang. Sedang yang sedikit jadi pihak yang kalah. Namun, menang kalah bukan satu-satunya tujuan. Pertandingan itu akan menambah keakraban satu sama lainnya.
Semuanya karena dalam tradisi main pukulan biasanya pihak yang kalah berguru kepada yang menang. Artinya, tradisi Ujungan sepenuh dianggap sebagai seni pertunjukan dan hiburan rakyat, tetapi dengan menjunjung nilai sportif yang tinggi. Pun turunnya hujan dianggap sebagai bonus.
BACA JUGA:
Kini tradisi Ujungan sebagai pemanggil hujan sudah hilang, namun sebagai atraksi budaya masih berlangsung, walau jarang. Masykur menilai hilangnya Ujungan untuk meminta hujan bermuara dari keterbatasan lahan pertanian. Fakta itu membuat banyak orang Betawi dipaksa penguasa --tanpa kompromi-- untuk meninggalkan tanah dan mata pencahariannya.
“Masyarakat betawi dulunya banyak hidup di sektor pertanian. Ini mempengaruhi budaya masyarakat Betawi. Salah satunya yang sudah jarang dilihat adalah Ujungan yg kental dengan nilai tari, silat, dan musiknya. Dulu tradisi ini ditujukan untuk memanggil hujan pada kemarau panjang.”
“Ujungan dalam konteks ini adalah gambaran ikhtiar masyarakat betawi dalam mencari penghidupan yang sejatinya adalah masyarakat agaris. Selain itu Ujungan dapat membuktikan kearifan lokal punya nilai yang tinggi. Oleh sebab itu, perlu kepekaan dan kepedulian bersama untuk menghidupkan kembali tradisi Betawi ini,” terang Masykur Isnan kala dihubungi VOI, 29 Agustus.