JAKARTA – Sejarah hari ini, 44 tahun yang lalu, 30 April 1980, Putri Beatrix Wilhelmina Armgard resmi dinobatkan sebagai Ratu Belanda. Penobatan itu disambut dengan pro dan kontra. Mereka yang kontra mengkritik penobatan Ratu Beatrix terlampau mewah, alias memakan dana yang besar.
Sebelumnya, Ratu Juliana memimpin Belanda dengan suka cita. Ia dianggap figur yang dekat dengan rakyat. Masalah muncul. Ia tak lagi muda. Kesehatannya kian memburuk. Kondisi itu membuatnya memilih untuk turun takhta.
Kepemimpinan Ratu Juliana kerap mengundang pujian. Alih-alih penobatannya membawa arti penting bagi rakyat Belanda, justru kehadirannya juga membawa angin segar bagi Indonesia. Kuasa Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam kendali Sang Ratu.
Ia pula ikut dalam kesepakatan penandatanganan perjanjian penyerahan kedaulatan yang dilakukan di dua tempat. Penandatanganan di Istana Dam diwakili pihak Indonesia, Bung Hatta. Sedang perwakilan penjajah diwakili oleh Ratu Juliana. Istana Rijswijk (kini: istana Negara) diwakili pihak Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan pihak Belanda, A.H.J. Lovink.
Penandatangan di Istana Dam itu nyatanya jadi dokumen politik pertama yang ditandatangani oleh Juliana. Ia kemudian mulai mematangkan agenda supaya rakyat Belanda hidup sejahtera. Ia tak ingin berjarak dengan rakyat.
Juliana pun kerap menyapa rakyat Belanda di mana saja, di jalan atau pusat perbelanjaan. Pun Juliana sering kali jadi orang pertama yang pasang badan kala Belanda ada masalah. Ia bahkan memilih terjun langsung kala Belanda dilanda musibah banjir bandang pada 1953.
Namun, usia tua jadi masalah baru bagi Juliana. Tubuhnya yang tak lagi muda mulai sakit-sakitan. Ia tercatat menderita demensia. Kondisi itu membuat Juliana merasa tak cakap lagi jadi pemimpin rakyat Belanda.
Ia pun memilih mundur sebagai Ratu belanda. Ia mencoba mengangkat anaknya, Putri Beatrix sebagai penerus.
''Setiap orang yang bertambah tua, cepat atau lambat harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan seseorang semakin memudar,'' kata Juliana dalam pesan perpisahannya sebagaimana dikutip Marlise Simons dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Princess Juliana, Former Dutch Monarch, Is Dead at 94 (2004).
Kekosongan takhta Belanda segera diisi. Penerus Juliana, Putri Beatrix pun digaungkan akan naik takhta. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Putri Beatrix dinobatkan sebagai Ratu Belanda dengan gelar Wilhelmina II di Nieuwe Kerk (Gereja Baru) di Amsterdam pada 30 April 1980.
Penobatan itu memunculkan pro dan kontra. Mereka yang mendukung berharap Ratu Beatrix dapat memimpin Belanda sebaik ibunya. Mereka yang kontra justru menganggap penobatan Ratu Beatrix saja sudah bawa masalah.
Penobatan itu memakan dana yang amat besar. Alhasil di hari penobatan jalanan Kota Amsterdam penuh dengan tuna wisma dan anak muda yang berunjuk rasa. Pengunjuk rasa merasa pemerintah Belanda tak adil. Tunjungan buat keluarga ratu dianggap besar daripada untuk program membangun rumah tunawisma.
BACA JUGA:
“Pusat kota Amsterdam berantakan. Rambu-rambu lalulintas berserakan di tengah jalan, jendela-jendela rumah pecah dan toko-toko dirampok. Di Hari Buruh 1 Mei yang lalu itu, sejumlah besar tunawisma didukung sejumlah anak-anak muda mengacau kota itu. Itu terjadi sehari setelah penobatan Beatrix sebagai Ratu Belanda, menggantikan Juliaga ibunya.”
“Di hari penobatan pun telah terjadi huruhara itu. Kaum tuna wisma memrotes: mengapa tunjangan untuk keluarga Ratu tak sepadan dengan anggaran pengadaan rumah bagi tuna wisma. Seperti diketahui Amsterdam berpenduduk 750 ribu, 54 ribu di antaranya tunawisma. Pihak keamanan nampaknya memang telah meramalkan kerusuhan itu. Konon, 8 ribu polisi dikerahkan untuk mengamankan upacara pengundurdirian Juliana dan penobatan Beatrix,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Penobatan Putri Beatrix (1980).