Bagikan:

JAKARTA - Donald Trump bak gunakan jubah pembangkang dalam kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016. Pengusaha kesohor itu muncul dengan seabrek kontroversi. Ia mencoba melawan kekakuan. Segala macam pakar diremehkannya.

Kondisi itu kian parah kala Trump terpilih sebagai Presiden AS. Ia mencoba ‘main mata’ ke Undang-Undang (UU) Anti Nepotisme. Sebab, Trump sendiri diduga melanggarnya. Dugaan pelanggaran itu dilakukan karena Trump mengangkat menantunya jadi penasihat Senior Presiden AS.

Donald Trump menjelma seraya kuda hitam dalam Pilpres AS 2016. Ia mulanya tak diunggulkan dalam peta pemenang kontestasi politik. Alih-alih dapat jadi presiden terpilih, jadi kandidat dari Partai Republik dianggap sulit.

Kondisi itu justru jadi bahan bakar buat Trump mengudara. Kubu Trump mulai mengemas sosoknya tak seperti politikus biasa. Trump dikemas sebagai pembangkang. Ia mampu membungkus pandangan konservatif dan meramunya jadi siasat menang. Pun Trump seraya pasang badan untuk seluruh warga AS berpendidikan rendah.

Jared Kushner yang pernah menjabat sebagai Penasihat Senior Presiden AS era 2017-2021. (Wikimedia Commons)

Mereka setuju dengan pandangan Trump yang mengungkap ada tangan-tangan tak terlihat yang ingin merusak AS. Trump pun dianggap sebagai juru selamat. Sosok Trump diyakini paling ideal untuk melawan kepentingan yang ingin memecah belah rakyat AS.

Kondisi itu membuat Partai Republik luluh. Trump pun jadi diberi jalan melaju dalam pesta demokrasi AS. Trump direncanakan akan melawan capres dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Kampanye Trump mulai diisi dengan bayang-bayang kemarahan masa lalu.

Ia mencoba membangkit kembali benang rasisme kepada orang kulit putih kepada kulit hitam. Trump mulai mencemooh pakar-pakar yang meragukannya. Pakar-pakar itu dianggap Trump tidak lebih berguna dari dirinya.

Kala Trump ditanyakan urusan mendasar, ia memilih berkelit. Pendukung Trump menganggap hal itu sebagai kegeniusan. Langkah Trump lalu membuat tingkat kepercayaan orang-orang kepada media massa jatuh pada titik terendah.

Banyak orang yang tak percaya media massa AS memuat prinsip keadilan. Kondisi itu membuat sosok Trump mewakili kepentingan sebagaian besar rakyat AS. Trump pun mengemas andilnya dalam Pilpres 2016 dengan jargon MAGA: Make America Great Again.

“Trump melewati semua itu, merebut nominasi Partai Republik, dan menang, karena pada akhirnya, dia terhubung dengan jenis pemilih tertentu yang percaya bahwa mengetahui hal-hal seperti pencegah nuklir Amerika hanyalah omong kosong bodoh.”

“Lebih buruk lagi, pemilih bukan hanya tidak mau tahu apakah Trump salah atau tidak peduli; mereka bahkan tidak mampu melihat kesalahan atau ketidakpedulian Trump. Psikolog David Dunning-yang bersama Justin Kruger menemukan Efek Dunning-Kruger, yaitu orang-orang yang tidak tahu atau tidak kompeten cenderung tidak menyadari kekurangan pengetahuan atau ketidakmampuan mereka sendiri --percaya bahwa dinamika yang ia dan rekannya gambarkan terjadi di antara para pemilih,” ungkap Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2022).

Angkat Menantu

Pertunjukkan kontroversi ala Trump tak lantas berhenti kala ia jadi orang nomor satu AS. Trump terus melakukan serangkaian kontroversi. Ia berencana mengangkat menantunya, Jared Kushner sebagai penasihat senior Presiden AS.

Penunjukkan suami Ivanka Trump itu beralasan. Trump merasa Jared memiliki kompetensi gemilang yang akan membantunya dalam menjalankan pemerintahan. Trump melihat potensi itu kala Jared menjadi salah satu tim kampanye Trump memenangkan Pilpres AS.

Jared dianggapnya tak lihai dalam dunia bisnis, tapi jago urusan politik. Keinginan Trump disambut dengan kecaman. Penunjukan Jared diramal akan memicu kontroversi. Sebab, pengangkatan itu memicu kekhawatiran akan konflik kepentingan. Khusus hal ini Trump dianggap melanggar UU Nepotisme AS.

Trump pun mengelak dirinya melanggang UU Nepotisme. Kubu Trump menyebut UU yang melarang pejabat memberi pekerjaan kepada keluarganya tidak berlaku untuk posisi-posisi di Gedung Putih. Alias, siapa saja berpeluang jadi pejabat Gedung putih selama Presiden AS menghendaki.

Jared Kushner dan istrinya, Ivanka Trump. (Wikimedia Commons)

Kritikan juga menyebut Trump mencoba berlakukan hierarki dunia bisnis dalam Gedung Putih. Trump menganggap keluarga sebagai prioritas utama jadi pejabat. Sekalipun banyak orang lain yang terpercaya dan berbakat. Namun, karena bukan keluarga takkan dipilih.

Trump sendiri menganggap kritikan kepadanya angin saja. Ia dengan percaya diri mengangkat menantunya jadi penasihat senior. Tiada yang mengganggu gugat keputusan itu. Alhasil, langkah Jared jadi pejabat Gedung Putih berlangsung mulus sedari Januari 2017 dan berakhir pada 2021.

“Jared, 35 tahun, yang menikahi putri Trump, Ivanka, pada tahun 2009, lebih dekat dengan Trump dibandingkan penasihat lainnya. Kehadiran Jared yang stabil dalam tim transisi yang seringkali kacau dan telah memberikan masukan kepada Trump.”

“Trump menggambarkan Jared sebagai aset yang luar biasa dan penasihat tepercaya selama kampanye dan transisi. Trump mengungkap hal itu dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Senin malam waktu setempat yang mengumumkan penunjukan Jared. Suatu keberanian yang mungkin jadi cara Trump memimpin AS,” terang Glenn Thrush Dan Maggie Haberman dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Jared Kushner Named Senior White House Adviser to Donald Trump (2017).