Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 69 tahun yang lalu, 26 April 1954, film karya Akira Kurosawa, Shichinin no samurai (Seven Samurai) dirilis di Jepang. Film bercerita tentang sebuah desa petani yang menyewa tujuh orang samurai melawan bandit mendapatkan sambutan yang meriah.

Sebelumnya, Akira dikenal sebagai salah satu sutradara yang mewarnai masa keemasan sinema Jepang. Ia mampu menghadirkan film-film yang membahas isu kontemporer Jepang. Hasilnya gemilang. Nama Akira menanjak dan membawa pengaruh bagi sinema dunia.

Kesukaan Akira Korusawa terhadap dunia perfilman tiada dua. Pria kelahiran Shinagawa, 23 Maret 1910 itu bak dipengaruhi oleh ayahnya. Ayahnya terbuka dengan tradisi barat, sekalipun memiliki darah keturunan Samurai.

Ayahnya berpandangan menonton film adalah aktivitas menyenangkan dan punya nilai penting. Kondisi itu membuatnya kerap mengajak Kurosawa menonton film. Tiap ada waktu senggang, Kurosawa dibawanya ke teater sedari usia enam tahun.

Memori masa kecil itu membuat Korosawa tumbuh sebagai penggemar dunia seni dan perfilman. Akira pun mulai mendalami seni secara formal di Academy of Fine Arts. Namun, ia tak betah dan segera melamar ke perusahaan film Toho dan diterima.

Proses pengambilan gambar film Seven Samurai (1954). (Wikimedia Commons)

Kepastian karier di dunia perfilman lalu ditancapkan lewat film Sanshiro Sugata (1943). Karya pertamanya yang bercerita terkait pencarian diri melalui bela diri judo. Akira tak lantas merasa puas. Ia mulai mengulik kembali isu-isu kontemporer di Jepang.

Tujuannya untuk mengadaptasinya dalam medium film. Kariernya kian melejit. Film Ichiban Utsukushiku (Yang Terindah) tentang tiga buruh wanita hadir. Film-film itu lalu membuka khazanah berpikir Akira ke film-film lainnya.

Ia terus berkarya. Sekalipun gaya penceritaannya sering kali dituduh kebarat-baratan. Akira pun tak peduli dan membuktikan diri bahwa ia mampu membuat film terbaik.

“Ketika ia disuruh menulis esai tentang : Problem mendasar dalam sinema Jepang dan pemecahannya. Akira hanya menulis: Jika problemnya terlalu mendasar, tak mungkin adà obat yang bisa menyembuhkannya. Akira diterima Toho. Selama lima tahun ia belajar menulis skenario dan editing dari sutradara ternama Kajiro Yamamoto,” ungkap Leila S. Chudori dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Kisah Sang ‘Kaisar’ (1991).

Akira mulai menggarap film barunya, Seven Samurai. Ia mencoba membuat film yang bercerita terkait sebuah desa di Jepang abad ke-16. Desa itu sedang berusaha melawan gempuran gerombolan bandit. Petani-petani lalu berinisiatif menyewa tujuh samurai.

Tujuh orang itu dituntut untuk menyelamat desa. Akira lalu mencoba mendalami dengan membentuk karakter detail tiap samurai. Sebab, ia berasal dari keluarga keturunan samurai. Proses penulisan naskah pun rangkum dalam waktu enam minggu.

Proses pengambilan gambar hingga tahap 'menjahit' film tak sebentar. Hampir satu tahun. Proses yang lama itu karena Akira butuh ketelitian dalam filmnya kali ini. Pucuk dicinta ulam tiba. Film Seven Samurai akhirnya dirilis di Jepang pada 26 April 1954.

Film itu mendapatkan sambutan meriah di Jepang dan seisi dunia. Bahkan, film itu banyak menginspirasi sutradara barat memuat film serupa.  

“Tujuh bujang pengayun pedang, busur dan anak panah dengan keberanian dan kepribadian yang berbeda-beda, siap melawan 40 bandit berkuda ketika mereka turun dari bukit. Namun dalam kerangka sederhana dan alur cerita yang familiar, sutradara Akira telah menyimpan banyak kekayaan.”

“Ia memulai film dengan detail yang kaya, yang dengan cemerlang menerangi karakternya dan jenis tindakan yang melibatkan mereka. Dia telah memuat filmnya dengan gambaran yang tidak biasa dan menarik dalam gaya barat yang keras dan realistis,” ujar Bosley Crowther dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Screen: Japanese Import (1956).