Kisah Buya Hamka Tolak Pangkat Kehormatan Mayor Jenderal Tituler
Potret diri Buya Hamka semasa muda. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah ulama kenamaan Indonesia. Sumbangsihnya bagi bangsa dan negara tiada dua. Buya Hamka terlibat aktif berjuang melawan penjajahan Belanda. Lidah dan pena jadi ‘senjata’ andalannya menggerakkan bumiputra merebut kemerdekaan Indonesia.

Segenap orang pun mengaguminya. Abdul Haris (A.H) Nasution, salah satunya. Menteri Pertahanan Indonesia itu sampai ingin memberikan pangkat Mayor Jenderal Tituler kepadanya. Namun, Hamka menolak.

Buya Hamka tumbuh dan besar di masa penjajahan Belanda. Fakta itu membuatnya kerap melihat rasisme dan perlakuan tak berperikemanusian penjajah kepada bangsanya. Ketidakadilan pun membuat nyali Hamka melawan Belanda semakin menyala.

Ia menganggap satu-satu jalan untuk memerdekakan kaum bumiputra adalah dengan pendidikan. Tanah Suci Makkah pun dipilihnya sebagai ‘rumah’ keduanya mencari ilmu. Di Makkah, Hamka tak melulu belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan lainnya. Segala macam ilmu dipelajarinya.

Ia menganggap kemerdekaan Indonesia adalah bentuk kebangkitan kembali Islam di Nusantara. Karenanya, Kepulangan Hamka ke tanah air dimanfaatkannya untuk menyebarkan ilmu dan ide-ide perubahan. Tujuan tak lain ingin menanamkan perjuangan kemerdekaan bangsa.

Buya Hamka saat menjabat sebagai Ketua MUI pada 1975. (Wikimedia Commons)

Perjuangannya pun dilanjutkan dengan keterlibatan Hamka di Muhammadiyah. Organisasi Islam itu jadi kendaraan Hamka untuk menyebarkan ide-ide perubahannya lebih luas. Ia pun acap kali keliling Nusantara untuk memberikan ceramah dan pidato menantang penjajahan Belanda. Sikap Hamka tak berubah, bahkan nyali Hamka tak luntur hingga masa revolusi.

“Hamka terjun dalam perjuangan juga. Pelajaran keras mengenai politik yang dia dapat di Medan membuat dia bersumpah akan membatasi upaya revolusioner di lidah dan pena. Tapi dia segera terlibat aksi. Di Minangkabau, Hamka adalah anggota keluarga pendiri Muhammadiyah. Meski habis disingkirkan ke Medan. Pada Mei 1946 dia menjadi pemimpin organisasi tersebut di Sumatra Barat dan terus menjabat sampai Desember 1949.”

“Pada satu saat dia juga bergabung dengan dewan pimpinan daerah Masyumi, partai politik Islam yang baru bangkit mewakili Muhammadiyah dan saingannya, organisasi Islam tradisional berbasis di Jawa, Nahdlatul Ulama (NU), dan memegang beberapa jabatan penting di Kabinet Revolusi. Dia jadi sering berpergian, berkeliling cabang-cabang Muhammadiyah di Minangkabau untuk membangun organisasi tersebut, mengumpulkan dukungan untuk republik lewat pidato berapi-api, berceramah agama, dan menjual buku-buku yang dia bawa dengan keranjang,” ungkap James R. Rush dalam buku Adicerita Hamka (2018).

Pangkat Tituler

Sumbangsih Hamka bagi nusa dan bangsa cukup besar. A.H. Nasution mengamininya. Anak Hamka, Irfan Hamka mengungkap ayahnya sampai diundang A.H. Nasution ke kantornya pada 1960. Panglima ABRI yang merangkap Menteri Pertahanan itu melihat sosok Buya Hamka begitu spesial di mata rakyat Indonesia.

Hamka menurutnya adalah sosok yang aktif menghimpun kekuatan rakyat Sumatra Barat dan Riau kala penjajahan Belanda dan masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Hamka mampu menggerakan mereka untuk berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.

Sebagai apresiasi atas jasa besar Hamka, A.H. Nasution ingin menganugerahkan sebuah pangkat kehormatan Mayor Jenderal. Pangkat tituler, namanya. Suatu gelar kehormatan yang diperoleh tanpa menjalankan tugas jabatan sebagai yang tersebut pada gelarnya.

Tawaran pangkat kehormatan kala itu begitu menguntungkan. Empunya pangkat bisa mendapat fasilitas yang sama dengan Mayor Jenderal karir. Hamka pun meminta waktu untuk memikirkan. Ia meminta pendapat banyak pihak, termasuk istrinya.

Buya Hamka bersama keluarga. (Wikimedia Commons)

Jawaban yang didapat oleh Buya Hamka sesuai dengan keinginan hatinya. Hamka dan keluarganya memilih untuk menolak gelar tersebut. Pria yang akrab disapa Bung Haji mendatangi A.H. Nasution untuk memberikan jawabannya langsung.

Ia pun memberikan alasan kepada A.H. Nasution. Penolakannya tak lain karena Hamka ingin fokus di jalur dakwah dan menulis. Lebih lagi, ia merasa tak mampu bekerja secara maksimal jika harus menerima gelar Mayor Jenderal karena kesibukannya mengembangkan Islam.

“Saya sudah dianggap ulama oleh masyarakat dan hobi saya hanya menulis, tentu akan hal-hal tersebut sedikit banyak akan menghambat tugas-tugas saya sebagai seorang Mayor Jenderal walaupun Tituler,” ungkap Hamka sebagaimana ditulis anaknya, Irfan Hamka dalam buku Ayah: Kisah Buya Hamka (2013).