Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 13 Desember 1965, Bung Karno mengungkap kegeramannya terhadap banyak media massa yang mewartakan kabar bohong terkait Gerakan 30 September (G30S). Penyataan itu diungkapnya pada Konferensi Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara.

Sebelumnya, berita terkait kekejian pemberontakan G30S bertebaran. Pemberontak dianggap menyiksa sederet Jenderal dengan cara keji. Ada yang menyebut korban dicongkel matanya. Ada juga yang menyebut alat vital korban dipotong.

Pemberontakan G30S adalah noda hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Operasi penculikan jenderal-jenderal TNI Angkatan Darat (AD) dianggap tak berperikemanusiaan. Sekelompok pemberontak itu menculik Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Sisanya adalah staf umum Angkatan Darat, mulai Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Supriapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiardjo, Brigadir D.I. Panjaitan, dan Lettu Pierre Tendean.

Satu-satunya target yang meleset, alias tak dapat ditangkap hanya Menteri Pertahanan A.H. Nasution yang melarikan diri. Keberhasilan A.H. Nasution melarikan diri pun harus dibayar mahal. Sang ajudan Pierre Tendean diculik. Sedang anaknya, Ade Irma Suryani harus meregang nyawa terkena tembakan pemberontak.

Tentara bersenjatan lengkap bersiaga di Jakarta usai peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965. (Co Rentmeester/LIFE)

Peristiwa itu membuat seisi Jakarta jadi panik. Sekolah diliburkan, demikian pula perkantoran. Kepanikan itu makin menjadi-jadi karena militer bersiaga di sentero Jakarta dengan persenjataan lengkap.

Rakyat pun kemudian mengetahui bahwa sederet jenderal TNI AD telah diculik. Lokasi penculikan ditelusuri. Baru tiga hari setelahnya lokasi penculikan didapat. Namun, semuanya yang diculik tewas.

“Setelah pencarian selama tiga hari, para jenderal yang diculik pun ditemukan. Mereka ditemukan dalam keadaan tewas di dasar sumur di dekat area lapangan terbang. Dengan dipenuhi perasaan ngeri dan jijik, Dolly memandang gambar gunungan jasad mulai membusuk.”

“Peristiwa pengangkatan jenazah itu ditayangkan di televisi pada hari Senin malam. Menurut komandan pasukan pengganti, Soeharto, perebutan kekuasaan yang gagal itu merupakan hasil kerja Partai Komunis Indonesia (PKI), serta kelompok-kelompok simpatisan dalam Angkatan Udara (AU),” ungkap Dolly Zegerius sebagaimana ditulis Hilde Janssen dalam buku Tanah Air Baru, Indonesia (2016).

PKI pun disebutkan sebagai dalang utama pemberontakan G30S. Kabar angin menyebutkan sederet jenderal yang diculik tak langsung dibunuh. Akan tetapi, PKI menyiksanya terlebih dahulu. Ada yang menyebut mereka disiksa dengan cara keji. Dari potong kemaluan hingga congkel mata.

Narasi itu kemudian ditulis oleh beberapa media massa. Bahkan, informasi kekejian penyiksaan sampai ke telingga Bung Karno. Putra Sang Fajar pun berang bukan main kepada media massa yang menyebarkan kekejian yang dilakukan pemberontak kepada sederet jenderal.

Barisan tentara yang bersiaga pascaperistiwa G30S di Jakarta. (Co Rentmeester/LIFE)

Menurutnya, informasi itu adalah berita bohong. Ia memanfaatkan forum Konferensi Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara untuk menyampaikan kegeramannya pada 13 Desember 1965. Ia menyebut segala bentuk penyiksaan terhadap para jenderal adalah mengada-ada.

Bung Karno berani berucap demikian karena ia mendapatkan informasi yang didapat dari tim dokter yang memeriksa jenazah. Tim dokter mengungkap tidak ada bukti sederet jenderal itu disiksa sebelum dibunuh. Apalagi dengan cara keji.

“Sampai tadi malam saya marah! He, engkau itu dapat dari mana? Siapa yang memberi kabar kepadamu, yang memasukkan ke dalam surat kabarmu, bahwa jenderal-jenderal itu dipotong kemaluannya? Malah pada waktu itu, malam itu, saya tanya kepada Achmadi, Menteri Penerangan. Menteri Penerangan, ini kabar dari mana?”

“Saya tanya malahan kepada Jenderal Ibnu Subroto, dari mana ini kabar yang dimasukkan di dalam surat kabar ini. Saya tanyakan kepada Noor Nasution, Letkol, yang mengawasi Antara, dari mana kabar ini? Kok di dalam surat kabar dikatakan bahwa jenderal-jenderal yang mati ini dipotong kemaluannya! Sebab, akibat daripada kabar bohong ini, Saudara-saudara, lebih jahat daripada fitnah,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam buku Revolusi Belum Usai (2014).