Bagikan:

JAKARTA - Maroko acap kali mendapat predikat kuda hitam dalam gelaran Piala Dunia. Pada Piala Dunia 1986 Meksiko, misalnya. Timnas berjuluk Singa Atlas itu tampil mengejutkan. Tangan dingin pelatih asal Brasil, Jose Foria membuat Maroko mampu memulangkan Portugal.

Keberhasil itu membuat Maroko memuncaki klasemen grup F. Mereka mampu unggul atas tiga tim Eropa sekaligus: Polandia, Inggris, dan Portugal. Kemudian, Maroko menggoreskan sejarah baru sebagai tim Afrika pertama yang lolos babak 16 Besar.

Maroko pertama kali tampil di hajatan besar sepak dunia dunia di Piala Dunia 1970 Meksiko. Kala itu, Maroko jadi satu-satunya wakil Afrika di penyelenggaraan Piala Dunia 1970 Meksiko. Kepercayaan diri pemain hingga pelatih begitu tinggi.

Mereka dianggap dapat melangkah lebih jauh. Namun, harapan dan kenyataan bertolak belakang. Kehadiran Maroko di Grup D hanya dianggap pemanis. Maroko lantas dikalahkan Jerman Barat 1-2, di hajar Peru 0-3, dan hanya mampu bermain imbang 1-1 saat dijamu Bulgaria. Hasil itu membuat Maroko harus puas berada di dasar klasemen. Artinya, Maroko harus angkat koper lebih awal.

Mimpi buruk Piala 1970 tak mau diulangi Maroko pada hajatan Piala Dunia 1986 di lokasi yang sama, Meksiko. Pemerintah Maroko bahkan turun tangan membantu persiapan timnasnya berlaga di Piala Dunia 1986.

Timnas Maroko dalam Piala Dunia 1986 Meksiko. (FIFA)

Mereka bahkan, telah memilih pelatih asal Brasil, Jose Foria untuk menukangi Maroko. Pilihan itu nyatanya berhasil. Maroko jadi tim kuda hitam di grup F. Sekalipun Maroko hanya dapat bermain imbang melawan Polandia 0-0. Imbang kembali kala dijamu Inggris 0-0.

Namun, Maroko mampu unggul atas Portugal. Timnas berjuluk Sang Navigator itu harus mengakui keunggulan Maroko 1-3. Hasil itulah yang membuat Maroko secara mengejutkan menjadi pemuncak klasemen Grup F.

“Pada pertandingan kedua melawan Polandia, Portugal kalah tipis saja, 0-1. Dengan satu kali menang dan satu kali kalah, semestinya itu belum menutup peluang mereka untuk merebut satu tempat di babak berikutnya. Namun, ternyata kerusakan psikis para pemain Portugal sudah tak bisa diperbaiki. Melawan Maroko, tim paling lemah di grup, pada pertandingan ketiga, Portugal tak lagi memiliki daya.”

“Mereka digasak dengan skor telak 1-3. Portugal pun terbenam di dasar klasemen dan menjadi satu-satunya tim di grup itu yang tidak melangkah ke babak selanjutnya. Kegagalan Portugal yang memalukan di Piala Dunia 1986 Meksiko ini kemudian populer disebut dalam istilah Portugal sebagai Caso Saltillo, atau Aib Saltillo,” ungkap Owen A. McBall dalam buku Football Villains (2010).

Cetak Sejarah

Maroko melaju sebagai juara grup F dengan menantang Jerman Barat yang menjadi peringkat dua grup E di babak 16 besar. Prestasi itu membuat Maroko memecahkan dua rekor baru sekaligus. Pertama, Maroko jadi timnas pertama Benua Afrika yang lolos ke-16 Besar.

Kedua, Maroko jadi timnas Benua Afrika pertama yang dapat menjadi juara grup. Sebuah prestasi yang membuat bangga seisi Maroko. Rekor itu menjadi bahan bakar sempurna untuk menghadapi musuhnya Jerman Barat di babak 16 Besar.

Kepercayaan Maroko meninggi. Mereka dijadwalkan menjamu Jerman Barat di Stadion Universitario, San Nicolas de los Garza, León Baru, Meksiko pada 18 Juni 1986. Namun, pertandingan tak berjalan sesuai keinginan Maroko.

Jerman berhasil unggul 1-0 karena gol tendangan bebas Lothar Matthäus bersarang di gawang yang dijaga Badou Zaki pada menit 88. Kemenangan Jerman membuat Maroko harus angkat kaki dari Meksiko. Namun, segenap rakyat Maroko mengapresiasi langkah Singa Atlas karena mampu bertahan sejauh ini di Piala Dunia 1986.

Penyerang Maroko, Abderrazak Khairi beradu cepat dengan tombak sekaligus kapten Jerman Barat di Piala Dunia 1986 Meksiko, Karl-Heinz Rummenigge. (FIFA) 

“Dalam enam pergelaran terakhir Piala Dunia, selalu ada tim Afrika yang lolos ke-16 besar. Maroko pada 1986, Kamerun (perempat final) pada 1990, Nigeria pada 1998, Senegal (perempat final) pada 2002, dan Ghana pada 2006. Pada 1990 Kamerun menaklukkan Argentina yang berstatus juara bertahan. Begitu pula dengan Senegal yang menekuk Prancis, yang saat itu juga berstatus juara bertahan, pada 2002.”

“Menurut mantan kapten tim nasional Nigeria, Sunday Oliseh, seluruh Afrika turut gembira jika satu dari mereka meraih sukses. Itu yang dirasakan Oliseh ketika memenangi emas pada Olimpiade 1996. Dan kali ini, "Seandainya ada kesebelasan Afrika yang mencapai semifinal di tanah kami, saya tak ingin berada di tim yang harus melawan mereka,” terang Andy Marhaendra dalam buku Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona (2010).