JAKARTA – Sejarah hari ini, 54 tahun yang lalu, 10 November 1968, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin meresmikan kompleks pusat kesenian: Taman Ismail Marzuki (TIM). Nama itu diberikan Ali untuk mengenang sumbangsih tokoh Betawi asal Kwitang, Ismail Marzuki.
Ismail membuktikan bahwa melepas belenggu penjajahan tak melulu dengan senjata, tapi dengan musik. Karenanya, TIM yang berlokasi di Jakarta Pusat diharapkan jadi sebuah 'rumah' seniman Jakarta dalam berkarya. Sebagaimana semangat Ismail Marzuki.
Perjalanan hidup Ismail Marzuki dikelilingi oleh keberuntungan. Ia lahir dalam keluarga yang berada. Ayahnya mampu mendukung Ismail dalam banyak hal. Ia mampu menyekolahkan dan mendukung hobi anaknya dalam bermusik. Padahal di zaman itu kaum bumiputra yang mampu mengakses sekolah. Main musik apalagi.
Alat musik yang mahal adalah kendala utama. Namun, harga mahal itu tak membuat nyali ayah Ismail ciut. Ia dengan senang hati banting tulang untuk membelikan ragam alat musik untuk anaknya. Dari gitar hingga saxophone. Pucuk dicinta ulam tiba. Ismail membalasnya dengan menekuni dunia musik sampai mahir.
Keseriusan Ismail Marzuki membawakan hasil. Bakatnya bermusiknya banyak dilirik. Alih-alih memikirkan egonya untuk melulu terkenal, Ismail lebih memilih untuk berjuang membantu kaumnya untuk lepas dari belenggu penjajahan Belanda, kemudian Jepang. Segala macam kolonialisme di muka bumi harus diakhiri, pikirnya.
Lagu-lagu perjuangan pun banyak digubah olehnya. Utamanya pada masa penjajahan Jepang. Semuanya untuk membakar semangat kaum bumiputra untuk mewujudkan mimpi Indonesia merdeka. Dari lagu Bisikan Tanah Air hingga Gagah Perwira.
Bahkan, pada masa revolusi, ia enggan bekerja untuk Belanda di bawah panji Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (NICA). Ia memutuskan lebih baik melarat, dibanding bekerja sama dengan penjajah.
“Ketika tentara Inggris pulang, Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta jatuh ke tangan NICA. Stasiun radio di Gambir Barat itu dipasangi merek besar-besar: ROIO (Radio Omroep In Overgangstijd). Kantor RRI hijrah ke Solo. Ismail tak sudi bekerja pada NICA. Kuartet Empat Sekawan di bubarkan dan Ismail pun membuka kursus bahasa Inggris di rumahnya. Istrinya, Eulis Zuraidah, dengan setia membantu mencari nafkah. Ia berjualan gado-gado, mi goreng, asinan.”
“Dinas Penerangan Pemerintah (RVD: Regerings Voorlichtings Dienst) mengirimkan utusan untuk meminta Ismail bekerja kembali dengan gaji besar dan mobil baru. Namun, Ismail tidak tergiur. Ismail tidak membenci orang dan bahasa Belanda. Yang dibencinya ialah pemerintah jajahan. Dalam pergaulan sehari-hari dengan teman-temannya ia tetap berbahasa Belanda,” ungkap Ahmad Naroth dalam buku Ketoprak Betawi (2000).
Jasa-jasa Ismail Marzuki pun abadi. Ia dikenang pada tiap sanubari orang Indonesia. lagunya terus mengalun dan memotivasi kaum muda untuk berjuang demi bangsa dan negara. Semangat itu kemudian diadopsi Ali Sadikin. Ia ingin membangun suatu komplek pusat kesenian sesuai semangat Ismail Marzuki.
Ia pun memberikan nama kompleks pusat kesenian itu Taman Ismail Marzuki (TIM). TIM lalu diresmikan Ali Sadikin pada 10 November 1968. Pria yang akrab disapa Bang Ali itu ingin para seniman Jakarta punya wadah baru berkarya setelah kawasan Senen.
“Kompleks pusat kesenian yang kemudian bernama Taman Ismail Marzuki (TIM) ini, diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 10 November 1968. Dengan otonomi yang diberikan Pemerintah DKI Jakarta, TIM benar-benar tampil sebagai pusat kesenian penting, baik kesenian tradisional maupun kontemporer, yang dampak positifnya tidak hanya bagi sastrawan di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia.”
“Dalam 10 tahun sejak berdirinya TIM, berbagai cabang kesenian seperti mendapatkan tempat yang tepat untuk mengembangkan dirinya. Para seniman menikmati masa kejayaan dan kebebasannya di kompleks kesenian itu. Khusus di bidang sastra, berbagai drama eksperimental dipentaskan di sana. Berbagai diskusi, seminar, simposium, ceramah, pentas sastra, dan pertemuan-pertemuan antarsastrawan, terus berlangsung secara teratur yang memungkinkan kesusastraan Indonesia berkembang sangat semarak,” ungkap Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2008).