Sejarah Hari Ini, 11 Mei 1914: Maestro Musik Indonesia, Ismail Marzuki Lahir
Komponis terkenal Indonesia, Ismail Marzuki, yang pada tahun 2004 ditetapkan sebagai pahlawan nasional. (Wikipedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 108 tahun yang lalu, 11 Mei 1914, maestro musik Indonesia Ismail Marzuki lahir. Tindak-tanduk anak Betawi kelahiran Kwitang penuh inspriasi. Ia menjadi perwujudan sempurna bahwa perjuangan tak melulu angkat senjata. Musik pun dapat dijadikan alat perjuangan.

Lagu-lagu gubahan Ismail yang terkenal berani mampu membakar semangat pejuang-pejuang kemerdekaan untuk melawan penjajah. Jasanya itulah yang membuat ia diangkat sebagai pahlawan nasional.

Boleh jadi Ismail Marzuki akan sepakat dengan penyataan: hobi itu menular. Ayahnya, Marzuki memiliki hobi mendengarkan musik saban hari. Sang ayah bahkan memiliki “mesin ngomong” gramafon dan piringan hitam yang cukup banyak. Tak disangka hobinya mendengarkan musik menular kepada Ismail. Tiap musik diperdengarkan, Ismail senang bukan main. Namun, kesenangan Ismail tak melulu hanya mendengarkan musik. Ia justru tertantang untuk bermain musik.

Ia mencoba bermain musik secara autodidak. Kegigihan Ismail dalam bermain alat musik mendapatkan dukungan penuh dari ayahnya. Sebisa mungkin ayah Ismail membelikan ragam alat musik untuk anaknya. Dari gitar hingga saxophone. Upaya itu berhasil membuat Ismail mengembangkan bakatnya di dunia musik. Apalagi ayahnya berasal dari kalangan berada.

Ismail Marzuki dan istrinya, Eulis Zuraida. (Arsip Taman Ismail Marzuki)

Kemampuan bermusik Ismail semakin meningkat. Ia mampu mengubah lagu demi lagu dari ragam genre. Jam terbangnya jadi meningkat. Aktivitasnya bermusik mampu menembus radio, film, hingga panggung Societeit, sebuah klub eksklusif pada masanya. Pokoknya masa penjajahan Belanda dijadikan mediumnya mengembangkan bakat bermusik.

Semuanya baru berubah ketika masa penjajahan Jepang. Awalnya ia sama seperti anak Betawi lainnya yang sempat menganggap Jepang sebagai juru selamat. Akan tetapi, lama-kelamaan tabiat Jepang pun kelihatan. Ia mulai mengubah haluan musiknya. Dari alat memperoleh popularitas menjadi alat perjuangan.

“Setahun setelah Jepang menduduki Indonesia, barulah rakyat tahu bahwa penjajah baru lebih ganas. Ismail juga menyadarinya. Dengan caranya sendiri ia melawan. Digubahnya Bisikan Tanah Air, menyusul Indonesia Tanah Pusaka. Lagu itu disiarkan secara luas melalui radio. Lalu Sumitsu san, kepala Seidenbu (Badan Propaganda) melaporkan Ismail ke kempetai, sehingga Ismail dipanggil oleh polisi Militer Jepang itu untuk diinterogasi perihal lagu tersebut. Ia dilepaskan setelah diancam.”

“Ismail sudah nekat. Dibuatnya lagu perjuangan Gagah Perwira, bersama mars untuk membakar semangat kemerdekaan, khusus untuk Peta (Pembela Tanah Air). Ia tidak berjuang sendirian. Komponis heroik dan patriotis Cornel Simanjuntak menggubah Maju Tak Gentar dan Kusbini menghasilkan Bagimu Negeri. Oktober 1944, Ismail menciptakan lagu yang menyatakan cinta kasihnya kepada tanah air, yaitu Rayuan Pulau Kelapa,” ungkap Ahmad Naroth dalam buku Ketoprak Betawi (2000).

Patung Ismail Marzuki di Pusat Kebudayaan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. (Antara)

Kiprah itu yang membuat nama Ismail Marzuki melejit di antara pejuang-pejuang kemerdekaan. Gema dari Ismail Marzuki tetap terus terdengar sekalipun ia telah meninggal dunia pada 25 Mei 1958. Jasanya tak terlupakan.

Ia pun dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 2004. Meski begitu, namanya lebih dulu diabadikan oleh Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977, Ali Sadikin sebagai nama sebuah kompleks seni Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebuah tempat yang menjadi rendezvous seniman Jakarta.

“Sejumlah tokoh Betawi pernah mengusulkan pada pemerintah provinsi (Pemprov) DKI agar mengabadikan Ismail Marzuki, komponis pejuang kelahiran Betawi, menjadi nama salah satu jalan di Jakarta. Mereka beranggapan, komponis yang telah mencipta lebih 200 lagu ini memang pantas mendapatkan penghargaan. Gubernur Ali Sadikin pada awal 1970an barulah mengabadikan nama Ismail Marzuki untuk pusat kesenian dan kebudayaan di Cikini, Jakarta Pusat,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2004).

Kelahiran komponis Ismail Marzuki pada 11 Mei 1914 menjadi catatan penting sejarah hari ini di Indonesia.

Terkait