JAKARTA - Kehadiran Bisht tak melulu perihal fesyen Timur Tengah semata. Bagi seisi negeri jazirah Arab, jubah tradisional itu adalah sebuah identitas budaya. Jubah yang kerap disulam dengan benang emas dan perak bahkan telah hadir sejak dulu kala.
Alias, sejak Makkah menjelma jadi pusat kebudayaan Islam. Bisht pun menyebar ke seantero negeri. Kini, jubah tradisional itu digunakan dalam tiap momen penting. Dari perkawinan, penobatan raja, hingga momen Lionel Messi mengangkat trofi Piala Dunia 2022 Qatar.
Umat Islam di seluruh dunia menganggap Makkah sebagai tanah suci. Semua itu selaras dengan larik dari Rukun Islam ke-5: menunaikan ibadah haji, bila mampu. Ratusan ribu orang pun dari berbagai suku bangsa, utamanya mereka yang berada Timur Tengah datang ke tanah suci Makkah.
Kedatangan itu tak lain untuk melengkapi, atau menyempurnakan perintah agama. Mereka yang datang harus menyiapkan fisik, mental, dan juga dana yang besar. Sebab, perjalanan menuju Makkah tak sebentar. Kadang kala ada suku bangsa yang berminggu-minggu dalam perjalanan. Kadang pula ada yang berbulan-bulan dalam perjalanan.
Jarak yang jauh itu membuat segenap peziarah tak langsung pulang ke kampung halaman masing-masing. Mereka ingin memperdalam ilmu agama dulu di Makkah. Sekalipun beberapa di antaranya kemudian memilih menetap di Makkah untuk mencari penghidupan baru.
Nyatanya, banyak yang hidup kerasan di Arab Saudi. Sisanya, peziarah itu menyebar ke seantero Timur Tengah untuk mencari peruntungan yang baru. Keadaan tersebut membuat banyak terjadinya perkawinan antara pendatang dan warga setempat. Kemudian, budaya di antara kedua negara melebur dalam kehidupan sehari-hari.
“Penduduk asli Arab Saudi justru relatif menggunakan busana-busana dari suku bangsa lainnya. semua itu bermuara karena selama 13 abad perjalanan ziarah untuk naik haji ke Makkah jadi primadona. Banyak suku bangsa yang datang. Namun, tak semua orang pulang ke negeri masing-masing. Banyak di antaranya hidup menetap. Antara lain orang dari Indonesia, Maroko, Asia Tengah, hingga Afrika Barat. Mereka pun beranak pinak dalam percampuran budaya.”
“Di Provinsi Asir, Arab Saudi, misalnya. beberapa di antara warga Arab Saudi justru memiliki ciri-ciri fisik seperti orang Afrika. Ada juga mereka yang tinggal tampak bukan seperti orang Arab atau Afrika. Demikian pula di beberapa provinsi lainnya. segala macam orang asing yang datang dari penjuru dunia kemudian membuatnya percampuran budaya. Budaya itu terlihat dari kemunculan ragam pakaian tradisional di Saudi Arabia,” ungkap Colbert C. Held dan John Thomas Cummings dalam buku Middle East Patterns: Places, People, and Politics (2013).
Asal Muasal Tak Jelas
Alih-alih hanya tinggal dan menetap, kehadiran ragam suku bangsa di Timur Tengah turut membawa budayanya. Pun budaya itu memiliki keluwesan diadopsi oleh warga setempat. Bisht, salah satunya. Jubah tradisional itu berdasarkan sejarahnya tak murni berasal dari Arab Saudi.
Bisht awalnya dianggap dibawa salah satu suku bangsa yang menunaikan ibadah haji ke Makkah. Namun, tiada mampu mengindentifikasi secara pasti siapa yang membawa Bisht ke negeri-negeri Timur Tengah pertama kali.
Ada yang mengungkap orang Badui yang membawa Bisht. Ada pula yang menyebut orang Persia (Iran) yang mempelopori kehadiran Bisht di Timur Tengah. Di sisi lainnya, ada pendapat yang mengatakan orang Bangladesh yang membawa Bisht.
Bisht pun lalu diadopsi dan perlahan-lahan menjelma menjadi identitas bangsa Timur Tengah. Semuanya itu seiring menyebarnya suku bangsa yang menunaikan ibadah haji dan memilih menetap di Timur Tengah: Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Mesir, Lebanon, Suriah, dan lain sebagainya.
Jubah tradisional itu pun menjelma jadi busana semua kelas. Setiap orang memiliki kesempatan untuk menggunakannya. Dari jelata hingga Raja Arab Saudi. Peruntukannya pun bertambah. Bisht yang awalnya digunakan untuk melindungi tubuh dari debu dan hujan, jadi aksesoris wajib perayaan hari-hari penting dan bersejarah di negeri Timur Tengah. Antara lain acara pernikahan, penobatan raja, hingga digunakan mega bintang sepak bola dunia mengangkat trofi Piala Dunia 2022 Qatar.
“Bisht terbuat dari bahan yang sangat ringan, halus, kadang-kadang bahan yang transparan. Benang-benang yang digunakan kerap juga benang emas atau perak. Ini dikenal sebagai Bisht bordir emas atau perak.”
“Sewaktu berjalan, jubah itu dikenakan untuk menutupi bahu atau sisi-sisinya. Hal ini memungkinkan pergerakan lebih cepat. Sekalipun kerap dianggap tak praktis ketika dipadukan dengan pakaian seremonial Timur Tengah lainnya.” ujar Bruce Ingham dan Nancy Lindisfarne-Tapper dalam buku Languages of Dress in the Middle East (2014).