JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 4 Juni 2017, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei terkait kemungkinan Indonesia jadi negara khilafah atau negara Islam. Hasilnya responden yang setuju hanya 9,2 persen.
Sebelumnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dikenal sebagai ormas yang paling gencar menyatakan keinginan Indonesia sebagai negara Islam. Keinginan itu hadir dalam bentuk diskusi-diskusi. Mereka menyasar kaum muda hingga kelas pekerja. Pemerintah pun merasa terganggu.
Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia kerap mendapatkan kritik. Mereka yang bersuara paling keras tentang demokrasi adalah HTI. Mereka melihat sistem demokrasi Indonesia terdapat banyak kelemahan. Ambil contoh dalam sistem pemungutan suara.
Mereka yang berstatus kaum intelek atau ahli agama hanya mendapat satu suara saja. Suara mereka sama –setara-- dengan suara warga negara lainnya macam penjahat hingga koruptor. Kondisi itu membawa masalah karena pemimpin bentukan demokrasi bukan yang terbaik.
HTI pun memandang sudah saatnya Indonesia menggunakan sistem khilafah. Negara Islam dianggap jawaban utama dari segala macam dinamika bangsa. Perlahan-lahan pendukung HTI mulai banyak. Kalangan mahasiswa dan kelas menengah mulai gabung dengan gerakan dakwah yang dilakukan HTI.
Masalah muncul. Pemahaman HTI dianggap tak cocok dengan Indonesia. kehadiran HTI pun dirasa mengganggu stabilitas nasional. Konsep negara Islam yang dibawanya bertentangan dengan Pancasila. Indonesia multikultural. Agama di Indonesia bukan cuma Islam saja, sekalipun Islam agama mayoritas.
Paham HTI lalu mendapatkan tentangan karena bisa menyuburkan sikap intoleran. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto ambil sikap. Ia berencana membubarkan ormas tersebut di seluruh Indonesia.
HTI diyakininya tak pernah berkontribusi mengambil peran positif untuk ambil bagian dari proses pembangunan nasional. Wiranto pun menyebut jika rencana pembubaran HTI bukan sebagai bentuk alergi pada dakwah Islam. Ia menegaskan HTI harus dibubarkan karena dapat merusak persatuan dan kesatuan Indonesia.
"Ya bagaimana? Masa kita biarkan? Kita diamkan? Kan tidak bisa. Alasan apapun, tidak bisa karena walau kita negara demokrasi negara yang punya kebebasan mengekspresikan pendapat, tapi ada batasannya kebebasan dibatasi tidak mutlak, batasannya apa? hukum. Pada saat sudah melanggar hukum kita akan menyelesaikan," ungkap Wiranto sebagaimana dikutip laman liputan6.com, 13 Mei 2017.
Lembaga survei SMRC pun tertarik meneliti sejauh mana rakyat Indonesia mendukung sistem khilafah. Mereka pun melakuikan survei dan hasilnya diumumkan pada 4 Juni 2017. Hasilnya tak banyak yang setuju NKRI diganti jadi negara khilafah.
BACA JUGA:
Mereka yang mendukung Indonesia tetap dalam koridor NKRI mencapai 79.3 persen. Sedang mereka yang setuju NKRI diganti khilafah hanya 9,2 persen. Sisanya, 11,5 persen responden mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.
SMRC menyebut angka 9,2 persen memang bukan jumlah yang sedikit. Jika dikalkulasikan, angka itu setara 20 juta penduduk Indonesia.
"Jumlahnya bisa sampai 20 juta penduduk, lebih banyak dari warga Singapura. Jadi saya kira pemerintah tidak perlu khawatir, masih banyak yang mendukung dan optimis dengan NKRI," ucap pemilik survei Saiful Mujani sebagaimana dikutip laman kompas.com, 4 Juni 2017.