Seisi Hindia Belanda Terdampak Resesi Ekonomi dalam Sejarah Hari Ini, 11 Februari 1935
Aktivitas ekonomi warga Hindia Belanda awal abad ke-20. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 88 tahun yang lalu, 11 Februari 1935, surat kabar Pemandangan melaporkan seisi Hindia Belanda terdampak resesi ekonomi. Dari pejabat kaya hingga petani. Perusahaan banyak yang gulung tikar dan nasib pekerja tak menentu.

Sebelumnya, resesi ekonomi era 1930-an membuat kegemparan besar. Hajat hidup rakyat Hindia Belanda jatuh pada level terendah. Orang-orang menyebut zaman itu sebagai zaman malaise – lidah kaum bumiputra menyebutnya zaman meleset.

Resesi ekonomi adalah momok yang paling menakutkan di dunia. Tiada sektor ekonomi yang tak runtuh karenanya. Di Hindia Belanda, apalagi. Krisis ekonomi global (zaman malaise) yang terjadi di era 1930-an merembet ke Nusantara.

Kondisi itu tambah parah karena Hindia Belanda mengadalkan bisnis ekspor untuk membiayai hajat hidupnya. Akibatnya, seluruh sektor sektor di Hindia Belanda terkena dampaknya. Perusahaan-perusahaan besar milik orang Eropa mulai goyang.

Mereka mencoba melakukan siasat. Ada perusahaan yang melakukan pemotongan upah, ada pula yang harus merumahkan pegawainya. Keputusan itu membuat angka pengangguran di Hindia Belanda meningkat.

Surat Kabar Pemandangan edisi 12 April 1934. (Wikimedia Commons)

Pemerintah kolonial mencoba beragam ajian. Namun, berujung kegagalan. Dampak resesi itu membuat orang Eropa yang sebelumnya kaya raya jadi bangkrut. Beberapa di antaranya memilih untuk pulang ke kampung halaman.

“Kita hidup di zaman krisis. Begitu hebat dunia dan pergaulan hidup ditimpanya, sehingga hampir tiap-tiap orang memperkatakannya. Kata krisis tidak lagi tinggal tertutup dalam kamus ahli-ahli ekonomi, akan tetapi sampai kepada buruh-buruh kecil dan tani buta huruf tahu menyebutnya, sekalipun mereka tidak mengerti seluk-beluknya.”

“Hanya mereka merasai pada batang tubuh mereka, betapa sakit dan susahnya hidup pada waktu sekarang. Krisis dan zaman malaise –kata ahli ekonomi dan mereka turut pada menyebut kata-kata asing itu dan mempersoalkannya sebagaimana pengetahuan dan pengalaman mereka. Apalagi kata malaise mudah melekat pada pengertian umum. Disebut dengan lidah Indonesia ia menjadi meleset,” terang Bung Hatta dalam buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1935).

Kerugian tak cuma dialami oleh orang Belanda. Kaum bumiputra yang banyak bekerja sebagai buruh di perusahaan Eropa terkena imbasnya. Mereka harus puas dengan kehadiran gelombang Pemutusan Hubungan kerja (PHK) massal. Semenjak itu, kehidupan kaum bumiputra kian merana.

Kesulitan zaman malaise membuktikan bahwa tiada golongan yang dapat terhindar dari dampak besar resesi ekonomi. Alias, zaman malaise tak pandang bulu. Mereka yang kaya raya hingga miskin sama-sama merasakan sakit.

Masyarakat mengantre bantuan dari pemerintah Hindia Belanda di depan Pegadaian Surabaya pada masa resesi ekonomi 1930. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Narasi itu kemudian sampai diwartakan media massa Hindia Belanda. Surat kabar Pemandangan, misalnya. Laporannya terkait maha dahsyat pengaruh resesi ekonomi hadir pada 11 Februari 1935.

“Surat kabar Pemandangan yang terbit di Batavia 11 Februari 1935 menulis, tidak satu pun golongan penduduk yang terbebas dari tekanan malaise, dan tidak ada satu pun perusahaan yang mampu bekerja seperti masa sebelumnya.”

“Orang-orang swasta maupun pegawai pemerintah sudah merasa senang apabila penghasilan mereka tidak terpotong terlalu banyak. Namun, hal ini sulit dihindarkan karena dalam kehidupan sehari-hari ada saja pengeluaran yang ongkosnya tidak dapat dikurangi, seperti uang sekolah, langganan air minum, listrik, dan transpor.” Terang P. Swantoro dalam buku Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Jadi Satu (2002).