Letusan Merapi Penanda Resesi dan Sawah-Sawah yang Tak Berharga
Ilustrasi foto pertanian di zaman Hindia-Belanda (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Tahun 1930-an jadi salah satu masa paling berat bagi perekonomian Indonesia. Kala itu Indonesia mengalami resesi yang berujung depresi ekonomi. Masa itu bahkan dikenal dengan zaman meleset. Bahkan dipandang sebagai salah satu tragedi dalam sejarah bangsa.

Zaman meleset adalah istilah yang diambil dari kata "malaise", sebuah kata dari bahasa Prancis. Kata berakar dari istilah medis untuk menyebut sebuah keadaan sakit atau lesu. Kala itu ekonomi Hindia-Belanda sedang lesu-lesunya, terimbas kejatuhan harga saham di bursa New York Amerika Serikat (AS) pada Oktober 1929.

“Orang kemudian menamakannya 'Kamis Hitam'. Hari itu 24 Oktober 1929, di New York yang mulai dingin oleh musim gugur. Di Wall Street, sudut kecil yang jadi pusat keuangan Amerika Serikat, sesuatu yang luar biasa terjadi. Orang ramai-ramai jual saham, hampir serempak. Suara gaduh di gedung bursa yang berumur sekitar 100 tahun itu memekakan telinga. Harga saham jatuh deras, semuanya,” tulis Mohamad Cholid dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Krisis 1930, Krisis 1987? (1987).

Letusan merapi tanda resesi

Hindia-Belanda pun ikut terdampak kelesuan ekonomi AS. Resesi ekonomi 1929 dan tahun-tahun berikutnya menyebabkan keruntuhan harga hampir semua produk pertanian di bumi Nusantara. Penduduk pribumi menerima pukulan mendadak. Pendapatan mereka --dalam bentuk upah buruh atau pun harga jual pertanian-- bergantung sepenuhnya pada produk ekspor itu.

Semasa itu, kaum tani mengalami kesulitan mahabesar. Mereka terpaksa mencari penghasilan baru. Pertanian tak lagi memberi uang. Kondisi itu diperparah dengan beragam utang yang dimiliki. Mereka terpaksa melepaskan uang dan perhiasan yang menjadi harta satu-satunya.

Dikutip dari P. Swantoro dalam buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2016), saat barang dan uang menjadi langka dalam depresi ekonomi, kondisi kemudian diperburuk oleh letusan Gunung Merapi di Yogyakarta pada 18 Desember 1930.

Letusan itu seakan jadi penanda bahwa kesengsaraan rakyat akan berlanjut. Kelak, letusan gunung Merapi membuat tak kurang dari 1.500 orang tewas dan 2.500 hewan mati.

Tak hanya itu. Letusan gunung Merapi juga menyebabkan berhektar-hektar sawah hacur dan ratusan rumah terbakar atau roboh. Di kemudian hari, letusan Gunung Merapi diyakini masyarakat sebagai penanda krisi keuangan.

Pertanian di zaman Hindia Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Bukan tanpa alasan. Sebab, leutsan Gunung merapi pada 17 Januari 1997 juga jadi tanda datangnya badai krisis moneter era Soeharto.

Kondisi bahkan tak berkunjung baik setelahnya. Pemerintah Hindia-Belanda yang biasanya dapat keuntungan besar sampai 54 juta gulden pada 1928 dari produk pertanian penting Indonesia (teh, gula, kopi, kopra, dan terbakau). Namun, pada 1932 Kompeni justru mengalami kerugian 9 juta gulden.

“Tiba-tiba bangsa asing berhenti membeli produk-produk itu (teh, gula, kopi kopra, dan tembakau). Dengan memotong harga sampai minimum, pasar bisa didapatkan kembali untuk sebagian dari produksi. Tapi, sementara jumlah produk turun 50 persen, nilai ekspor berkurang menjadi 25 persen,” tulis Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Kerugian meluas ke sektor lain, sampai-sampai perusahaan Eropa yang ada di Hindia-Belanda keuntungannya bahkan terpangkas sampai menyentuh angka nol. Para pekerja dipecat dan menyebabkan kesejahteraan pemukim Eropa kemudian menjadi menurun.

Bahu membahu hadapi resesi

Saat depresi ekonomi 1930-an, pemerintah kolonial maupun kaum bumiputra tak langsung pasrah diri. Pemerintah kolonial turut menggarap beragam kebijakan untuk menekan angka pengangguran.

Salah satunya dengan melakukan survei pengangguran melalui Kantor Tenaga Kerja Hindia-Belanda untuk kemudian diberikan bantuan tunai maupun latihan keterampilan. Para petugas mendatangi kampung-kampung untuk mengambil data, baik itu di Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Lahan sawah di masa Hindia Belanda (Sumber: Commons Wikimedia)

Metode itu cenderung tak berjalan baik karena hanya menyasar golongan atas. Kompeni pun membuat program lain untuk membantu pengangguran.

Sebagaimana diungkap Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960-an (2013), ia mengungkap, berdasar penelitian Kantor Tenaga Kerja Hindia-Belanda, kehidupan buruh-buruh yang tinggal di perkampungan Surabaya cukup tertolong berkat adanya “Bank Koperasi.”

Bank-Bank Koperasi yang hadir di kampung-kampung itu menyediakan pinjaman dan mendirikan warung kebutuhan sehari-hari. Pinjaman tersebut dapat diangsur mingguan setelah mereka menerima bayaran dari tempat kerja.

Selain itu, berbagai organisasi sosial dan keagamaan milik bumiputra, seperti Muhammadiyah, juga aktif memberikan bantuan-bantuan sosial kepada warga kampung. mereka memberikan bantuan kepada orang-orang yang dirasa paling menderita karena depresi ekonomi.

“Tindakan semacam itu melindungi ribuan rakyat miskin dan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan di kota Surabaya dari situasi yang lebih buruk lagi,” tutup Purnawan.