Dampak Apokalips Letusan Gunung Krakatau 1883: Tsunami, "Awan Neraka", Turunkan Suhu Bumi
Ilustrasi (Unsplash/Yosh Ginsu)

Bagikan:

JAKARTA - Pukul 10.02 hari ini, 27 Agustus di penghujung abad 19 atau pada 1883, letusan Gunung Krakatau mencapai klimaksnya. Menimbulkan ledakan paling besar, suara paling keras, peristiwa vulkanik paling meluluhlantakkan dalam catatan sejarah manusia modern yang menewaskan lebih dari 36.000 orang.

Letusan Gunung Krakatau dianggap terbesar kelima dalam sejarah geologi planet ini. Memang masih ada ledakan yang lebih besar seperti Gunung Toba dan Tambora di Indonesia, Taupo di Selandia Baru, dan Katmai di Alaska. Namun itu semua adalah letusan yang terjadi jauh di masa lampau. 

Berbeda dengan Krakatau yang meletus di penghujung abad ke-19. Dunia sudah menjadi tempat yang sama sekali baru: zaman modern. Banyak manusia canggih bisa menyaksikan amukan gunung berapi itu.

Dalam hitungan detik orang-orang di kota-kota yang jauh dari Jawa seperti di Boston, Bombay serta Brisbane hampir semuanya mengetahui kejadian tersebut. Itu terjadi karena letusan Krakatau 1883 adalah bencana terbesar pertama di dunia yang terjadi sesudah penemuan telegraf bawah laut. 

Koran-koran ramai mewartakannya, uraian-uraian tentang kejadian itu menjadi semakin memukai karena benar-benar up to date. Frasa-frasa yang selama itu tidak begitu dikenal --Jawa, Sumatra, Selat Sunda, Batavia-- mendadak jadi buah bibir semua orang.

Nama Krakatau telah menjadi bagian dari leksikon budaya dunia. Ada sebuah film terkenal tentang tempat itu, sekalipun film itu menempatkannya di sisi yang keliru yakni sebelah timur Jawa. Ada sebuah buku anak-anak yang terkenal tentang tempat itu, sekalipun buku itu salah menempatkannya di Samudra Pasifik bukan Samudra Hindia.

Cakupan dampak ledakan Krakatau 1883 (Sumber: buku The Day the World Exploded) 

Tsunami

Ledakan Krakatau juga turut mengakibatkan munculnya gelombang Tsunami. Ombak raksasa yang terjadi jam sepuluh pagi 27 Agustus itu bergerak ke barat tanpa rintangan sama sekali dan malang melintang ke mana ia suka. 

Dua tipa gelombang terdeteksi, yang satu disebut gelombang panjang, yang bergerak maju mundur dengan periode sampai dua jam. Sedangkan yang satunya disebut gelombang pendek yang lebih curam dan dengan pengulangan yang tidak teratur serta frekuensi lebih pendek.

Iskandarsyah dkk dalam tulisannya yang bertajuk "Kronologi Kejadian Tsunami Krakatau Tahun 1883 di Semenanjung Ujung Kulon" mengungkapkan tsunami akibat ledakan Krakatau terjadi sebanyak 4 kali. Di Ujung Kulon, Banten misalnya gelombang pasang datang 30 menit setelah letusan. 

Sementara itu menurut Menurut Simon Winchester dalam bukunya Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 (2003) terjemahan dari Krakatoa: The Day the World Exploded, ombak-ombak tsunami juga menghancurkan Anyer dan Teluk Betung. Permukaan laut langsung anjlok menjadi 10 kaki di bawah permukaan normal dan kemudian naik kembali dengan tajam dan pelan-pelan turun.

Tsunami tersebut terjadi di banyak titik di pantai Jawa dan Sumatra dan menewaskan begitu banyak orang di sana. Gelombang yang sangat besar di dekat gunung berapi itu setidaknya menewaskan ribuan orang menurut Winchester.

Dampak ledakan Krakatau di Anyer (Sumber: Wikimedia Commons)

"Awan neraka"

Dampak letusan Krakatau pada kesadaran dunia amat dalam dan jauh lebih kuat daripada dampak ledakan keempat gunung berapi lain yang terjadi di masa sebelumnya. Selain yang timbul secara langsung seperti tsunami, menurut Simon Winchester (2003) ledakan gunung berapi itu juga berdampak pada iklim. 

Debu yang dilontarkan ke langit menurunkan suhu planet ini. Ia mengubah tampilan langit di seluruh dunia, membuat jarum meteran barometer dan memengaruhi gelombang pasang-surut yang jaraknya ribuan mil. 

Bencana ini bahkan membuat panik para anggota pemadam Amerika yang mengira harus memadamkan api neraka yang tengah membara. Padahal sebenarnya itu hanyalah pemandangan matahari tenggelam yang dipenuhi arak-arakan awan merah dari gunung Krakatau.

Orang-orang di Kota Poughkeepsie, New York penasaran setengah panik melihat langit berwarna merah. Bagi beberapa orang, hal itu seperti pertanda akan datangnya kiamat yang membuat mereka ketakutan. Belakangan setelah diketahui bahwa keadaan itu disebabkan debu dari sebuah gunung berapi di kejauhan, barulah mereka bisa merasa tenang dan mulai menikmati pemandangan mengerikan yang akan mereka ingat sampai lama.

Setelah diadakan penelitian pada 1900-an, letusan gunung Krakatau memang terjadi penurunan suhu di seluruh dunia. Penurunan rata-ratanya mencapai sekitar satu derajat Fahrenheit.