Gunung Anak Krakatau Meletus: Masyarakat Jangan Dibuat Bingung Soal Kemungkinan Tsunami
Gunung Anak Krakatau, pekan ini kembali meletus dan dikhawatirkan menimbulkan tsunami. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Petugas pos pantau Gunung Anak Krakatau (GAK) Andi menyatakan, bahwa status GAK di perairan Selat Sunda statusnya meningkat menjadi level lll dari sebelumnya level ll sejak Minggu 24 April pukul 18.00 WIB. Begitu berita yang dilansir Antara dari Bandarlampung, Senin 25 April. 

Dari pos pantau pada hari Minggu, dari GAK terdengar mengeluarkan suara gemuruh dan terus mengalami erupsi yang mengeluarkan sinar api. Dengan ketinggian 3.000 meter dan sinar api yang mencapai 200 meter maksimal dari puncak gunung.

Masyarakat, wisatawan, dan nelayan agar tidak mendekat GAK dalam radius 5 kilometer pada situasi level lll seperti sekarang. Namun masyarakat masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa dan tidak termakan oleh isu-isu dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Informasi yang benar hanya berasal Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat atau ke Pos Pantau GAK.

Berdasarkan rilis resmi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, terekam 21 kali gempa letusan selama 1- 24 April 2022.

Kemudian, 155 kali gempa embusan, 14 kali harmonik, 121 kali gempa low frequency, 17 kali gempa vulkanik dangkal, 38 kali gempa vulkanik dalam, dan tremor menerus dengan amplitudo 0.5 - 55 mm (dominan50mm) serta terekam 2 kali gempa tektonik lokal, 6 kali gempa tektonik jauh dan 1 gempa terasa dengan skala I MMI.

Letusan Gunung Anak Krakatau yang terlihat indah di malam hari. (Antara)

Energi aktivitas vulkanik yang dicerminkan dari nilai Realtime Seismic Amplitude Measurement (RSAM) menunjukkan pola fluktuasi dengan kecenderungan meningkat tajam sejak 15 April 2022.

Kemudian, secara visual, tinggi embusan asap selama periode 1-24 April 2022 dari arah Pos PGA Pasauran dan Kalianda serta dari CCTV umumnya jelas hingga tertutup kabut.

Saat cuaca cerah terlihat embusan asap kawah berwarna putih dengan intensitas tipis hingga tebal, tinggi kolom embusan sekitar 25-3000 meter dari atas puncak GAK, dengan angin lemah hingga kencang ke arah utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat dan barat laut.

Kemudian, terlihat letusan dengan tinggi kolom 50-2000 meter dari atas puncak gunung. Kolom abu letusan berwarna putih, kelabu hingga kehitaman dengan dominan arah angin ke tenggara dan selatan.

Walau GAK berstatus siaga lll, namun aktivitas di luas radius 5 kilometer sekitar masih berjalan biasa termasuk aktivitas kapal transportasi yang mengangkut warga dari Dermaga Canti menuju Pulau Sebesi masih beroperasi secara normal dua kali dalam sehari.

Sebelumnya Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Eko Budi Lelono dalam pertemuan pers secara daring, di Jakarta menyatakan, GAK memang mengalami erupsi, seperti dikutip dari Antara, Rabu 9 Februari 2022.

“Saat ini kami masih mengevaluasi, jadi belum menaikan status GAK, masih mengevaluasi data secara menyeluruh untuk memastikan potensi ancaman bahaya ke depannya,” ujarnya.

Eko menambahkan, tim tanggap darurat telah dikirim oleh Badan Geologi untuk mengevaluasi data di lapangan. Selain itu pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat

Laporan tertulis Badan Geologi, Senin 7 Februari lalu menyebutkan, bahwa asap kawah terlihat di ketinggian 25-50 meter. Erupsi GAK terjadi dua kali, yaitu pada pukul 07.03 WIB, di atas puncak terlihat semburan abu vulkanik 600 meter. Seismograf Badan Geologi mencatat amplitude maksimum 50 mm dan 103 detik.

Kemungkinan Tsunami

Kekhawatiran utama jika terjadi letusan pada GAK adalah tsunami. Seperti yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 ketika letusan GAK membuat bagian kaki gunung longsong sehingga menimbulkan tsunami.

Gelombang tsunami menerjang Anyer di Banten pada malam hari, dan tanpa ada peringatan dini. Terjangan tsunami tersebut menelan 473 korban tewas.

Kali ini pun BMKG memperingatkan kemungkinan munculnya tsunami pada malam hari.

“Akibat peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau seperti diinformasikan oleh Badan Mitigasi dan Bencana Geologi, masyarakat dihimbau untuk mewaspadai potensi tsunami terutama di malam hari,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati seperti dikutip Antara pada 25 April.

Tsunami Anyer 22 Desember 2018 sebagai akibat letusan Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan longsor di bawah permukaan laut. (Antara)

Namun menurut pengamat vulkanologi, Surono atau yang dikenal sebagai Mbah Rono, letusan GAK kali ini kecil kemungkinan menimbulkan tsunami. Surono beralasan bahwa tsunami Anyer 2018 bukan terjadi akibat letusan, namun longsoran tebing gunung di bawah permukaan laut.

“Kan sudah longsor kemarin saat ada tsunami, kecil kemungkinan akan tejadi longsor lagi. Tidak ada tsunami sama sekali. Tenang saja, dia meletus supaya materialnya untuk bangun supaya tubuhnya lebih besar,” kata Surono, seperti dikutip CNBC Indonesia pada Selasa 26 April.

Negara Cincin Api

Indonesia merupakan negara dalam wilayah Cincin Api Pasifik. Hal inilah menyebabkan Indonesia memiliki banyak gunung berapi. Dan gunung berapi di Indonesia adalah gunung dengan daya letusan besar dan eksplosif.

Selain Krakatau ada 18 gunung berapi lain di Indonesia dengan status waspada atau bahaya level ll. Sedangkan yang berada dalam status level lll ada empat yaitu Sinabung, Merapi, Semeru dan Ili Lewotolok. Dan yang berstatus level l atau normal sebanyak 47 gunung berapi.

Hal tersebut membuat Indonesia sebagai negara dengan potensi bencana letusan gunung berapi lebih besar daripada negara lain. Bencana lain yang timbul akibat letusan gunung berapi adalah seperti tsunami dan polusi udara.

Peta Cincin Api Pasifik, jaringan gunung berapi yang ada di sekitar Samudera Pasifik. (researchgate.net)

Namun masih ada sisi positif akibat letusan gunung berapi yaitu kawasan yang terkena dampak letusan akan memiliki tanah yang lebih subur dibandingkan yang lain yang tidak terkena letusan.

Dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya disebutkan bahwa suburnya tanah Jawa dapat menghidupi 1.200 orang per mil. Sedangkan Kalimantan hanya 4-5 orang saja dengan luas area yang sama. Hal ini karena material yang dikeluarkan oleh gunung berapi yang telah meletus di Pulau Jawa secara tidak langsung telah menyuburkan lahan tanah.

Sejarah Ledakan Krakatau

Letusan Krakatau yang sangat dahsyat pada 1883 menjadikannya dikenal dunia dan menjadi salah satu sejarah terbesar di Indonesia juga dunia. Lokasinya berada di Pulau Rakata di Selat Sunda yang memisahkan Jawad dan Sumatra. Secara administratif berada di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Sebelumnya pada tahun 1680 Krakatau pernah meletus. Lalu 1880 Krakatau mengeluarkan lava namun tidak meletus. Setelah itu tidak ada lagi aktifitas vulkanis Krakatau hingga 20 Mei 1883.

Setelah tertidur selama 200 tahun, muncul ledakan kecil pada Krakatau, yang menjadi pertanda awal letusan dahsyat di Selat Sunda, dengan puncaknya 26-27 Agustus 1883.

Lukisan letusan Gunung Krakatau pada 1883 yang menimbulkan tsunami besar. (Wikipedia/Royal Society)

Dahsyatnya letusan itu membuat sebagian besar gunung berapi yang berada di Pulau Rakata runtuh ke dalam laut. Saat itu Krakatau mengeluarkan jutaan ton batu, debu, dan magma yang berakibat tertutupnya wilayah seluas 827.000 km2. Menewaskan 36.000 jiwa akibat awan panas dan tsunami.

Suara letusan Krakatau terdengar hingga Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 km. Dahsyatnya ledakan letusan diperkirakan mencapai 30 ribu kali bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir perang dunia ll.

Meletusnya Krakatau pada saat itu memicu perubahan iklim global. Menyebabkan dunia menjadi gelap selama dua setengah hari karena debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Sinar Matahari pun meredup hingga hampir setahun.

Krakatau meletus ketika populasi manusia telah cukup padat. Era sains dan teknologi telah berkembang, telegraf telah ditemukan dan kabel bawah laut sudah dipasang. Saat itu teknologi sedang tumbuh.

Namun sayangnya pada saat itu bidang geologi belum mengalami kemajuan. Sehingga para ahli geologi ketika letusan Krakatau terjadi belum mampu memberikan pernyataan ilmiahnya.

Lahirnya Anak Krakatau

Setelah letusan dahsyatnya di pertengahan 1883. Krakatau kembali tidur beberapa tahun. Menurut Jurnal Geologi Indonesia, Krakatau mengalami letusan bawah laut pada 29 Desember 1927.

Letusan ini membuat pemandangan air tersembur seperti air mancur di area gunung Krakatau. Letusan ini terus terjadi hingga 15 Januari 1929. Menurut ahli Geologi setelah letusan bawah laut itu terdapat tumpukan material disamping Krakatau yang membentuk pulau kecil. Fenomena ini dikenal dengan kelahiran anak Krakatau.

Anak gunung ini tumbuh dengan pesat di pusat kawasan Krakatau dari kedalaman 180 meter di bawah laut dan muncul kepermukaan tahun 1929, dan beberapa kali mengalami letusan.

Pengukuran dimensi anak Krakatau ini dilakukan pada tahun 2000 dan diketahui bahwa ketinggiannya telah mencapai 315 meter di atas permukaan laut dengan volume 5,51 km3. Dapat dikatakan anak Krakatau mengalami pertumbuhan rata-rata empat meter setiap tahun.

Foto udara Gunung Anak Krakatau. (Antara)

Jurnal tersebut juga menjelaskan, melihat cepatnya pertumbuhan anak Krakatau, maka selalu ada kemungkinan akan kembali ada letusan yang menyerupai letusan pada tahun 1883.

Jika hal tersebut kembali terulang, maka kawasan Selat Sunda adalah yang paling besar menerima imbasnya.

Saat ini status Gunung Anak Krakatau adalah level lll, penting bagi semua pihak untuk mewaspadainya dan masyarakat sekitar kawasan untuk mencari informasi dari sumber yang terpecaya bukan berita bohong atau hoaks.