JAKARTA - Gunung Krakatau dikenal dunia sejak letusan terbesarnya pada 1883. Sedangkan yang saat ini aktif adalah Gunung Anak Krakatau, yang berbeda kerakteristiknya dengan Gunung Krakatau terdahulu. Gunung Anak Krakatau yang meletus Jumat 10 April, malam dan menghasilkan kolom abu dengan tinggi sekitar 500 meter.
Sebagai gunung api muda, Gunung Anak Krakatau seharusnya memang sering erupsi. Potensi bahaya dari aktivitas gunung ini adalah longsoran tubuh gunung yang dapat memicu tsunami. Namun, potensi paling bahaya tersebut sudah terjadi pada Desember 2018.
Ahli Vulkanologi Surono mengatakan, untuk membesarkan tubuhnya menjadi tinggi dan besar seperti anak-anak, Gunung Anak Krakatau harus dinamis. Dia menjelaskan, aktivitas yang terjadi di Gunung Anak Krakatau (GAK) adalah bentuk bahwa gunung api muda ini mengikuti hukum atau kodrat alam.
"Sering meletus seperti dahulu, pernah satu tahun tidak berhenti, guna membangun tubuhnya supaya tinggi dan besar. Letusan besar dan memicu tsunami? Tidak, dia bukan Ibunya, dia hanya GAK, yang tahun 2012 telah ditulis dalam jurnal ilmiah di mana longsorannya dapat memicu tsunami. Sudah terjadi," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI di Jakarta, Sabtu, 11 April.
Tak perlu dipermasalahkan
Surono justru mempertanyakan, mengapa GAK yang meletus pada Jumat malam, diributkan masyarakat. Dia merasa heran, kenapa tidak ribut saat gunung api muda ini selama satu tahun meletus tidak berhenti beberapa tahun lalu. Meski begitu, dia dapat memahami hal ini karena sisa kekhawatiran tsunami di Banten pada 2018 yang disebabkan longsoran tubuh GAK.
Menurut Surono, tidak seperti ibunya, letusan GAK dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisata dengan minat khusus, asal tahu cara menontonnya. Berbeda dengan karakteristik ibunya yang bakal dengan tsunaminya, anaknya justru dinamis dan ingin cepat besar dengan cara meletus, melontarkan material pijar, kilatan petir, dan suara seperti pesawat terbang saat akan take off.
"Itulah deferensiasi alam yang bisa dijual sebagai tontonan, bukan untuk ditakuti. Malam hari yang sepi, semua mengisolasi diri, suara dari kendaraan lenyap terimbas Corona, maka tidak salah, dentuman GAK membahana, mengusir sepi. Itulah alam," tuturnya.
Sebenarnya, kata Surono, tidak hanya malam hari, siang hari juga ada dentuman. Namun, suara tersebut tidak terdengar karena bising kendaraan dan lain-lainnya. Karena itu, dia mengingatkan, agar masyarakat tidak perlu takut.
Senada, Peneliti Madya Bidang Geofisika Terapan LIPI, Nugroho D. Hananto mengatakan, GAK adalah gunung api muda yang dahulu berada di sekitar Gunung Krakatau. Karena itu, karakternya berbeda. Sebab, Gunung Krakatau adalah gunung tunggal yang berada di satu pulau.
"Kalau zaman ibunya satu pulau kan. Kalau sekarang kan sumber-sumbernya kawah-kawah dipinggir kan. Sekarang karakternya kecil-kecil, 2018 ada, 2019 ada dan sekarang 2020 ada. Dia tipenya tidak meledak-meledak, kecil saja letusannya, jadi berbeda (dengan Gunung Krakatau)," tuturnya.
BACA JUGA:
Membangun tubuhnya
Nugroho mengatakan, saat ini GAK sedang membangun tubuhnya. Pada setiap saat kan dia akan mengeluarkan material-material seperti pasir batu dan lain-lain. Material ini yang nantinya membuat dia tumbuh dan bertambah besar. Meski begitu, potensi bahaya GAK tidak sebesar Gunung Krakatau.
"Tapi tetapi begitu dia besar ada letusan hancur lagi tubuhnya. Jadi tidak bisa besar seperti zaman dulu, jadi berbeda. Kemungkinan tsunami seperti tahun 2018 itu mungkin kalau ada longsor di bawah laut atau longsor yang sampai ke bawah laut," katanya.
Menurut Nugroho, erupsi bukan satu-satunya pertanda bahwa GAK sedang bertumbuh. Tetapi, untuk melihat gunung api muda ini tumbuh harus melihat secara keseluruhan dinamikanya.
"Itu setiap saat tidak ada erupsi pun dia sudah menambahkan material di atasnya," tuturnya.