Bagikan:

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika atau BMKG melakukan pemantauan muka laut dan seismik terkait peristiwa erupsi Gunung Anak Krakatau pada Jumat hingga Sabtu 11 April, pagi. Hasilnya, tidak didapati anomali perubahan muka laut.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, pemantauan muka laut menggunakan dua jenis alat yang tersebar di beberapa lokasi. Tide Gaude di Pantai Kota Agung, Pelabuhan Panjang, Binuangen, dan Marina Jambu. Juga Radar Wera yang berlokasi di Kahai, Lampung dan Tanjung Lesung, Banten.

"Aktivitas tide gaude yang paling dekat dengan Gunung Anak Krakatau juga tidak ada. Termasuk di Bakauheni gempa tektonal tidak ada. Jadi dari catatan tide gaude, radar wera, radar tsunami, dan automatic water level tidak ada (potensi) tsunami," katanya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Sabtu, 11 April.

Sementara itu, untuk hasil monitoring kegempaan yang dilakukan tepat pada saat terjadinya erupsi yaitu pukul 21.58 WIB dan pukul 22.35 WIB menunjukkan bahwa sensor BMKG tidak mencatat adanya aktivitas seismik.

"Sehingga erupsi Gunung Anak Krakatau kali ini berdasarkan catatan sensor BMKG lebih lemah dibandingkan erupsi yang terjadi pada 22 Desember 2018 lalu," katanya.

BMKG jusru menemukan hal lain dari hasil monitoring seismik itu, yakni gempa di Selat Sunda. Gempa terekam pada pukul 22.59 hingga 23.00 WIB beberapa sensor seismik baik eksisting dan sensor baru yang dipasang 2019 itu.

Hasil analisis BMKG terkait gempa tersebut menunjukkan telah terjadi gempa tektonik di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo 2,4. Pusat gempanya pada koordinat 6,66 LS dan 105,14 BT tepatnya di laut pada jarak 70 km arah Selatan Barat daya Gunung Anak Krakatau pada kedalaman 13 km.

Daryono mengimbau, agar masyakarat tidak perlu panik berlebihan. Sebab, BMKG telah memberikan informasi dan perkembangan mengenai kondisi Gunung Anak Krakatau (GAK).

"Sehingga masyarakat yang was-was tidak ketakutan, karena sudah kita informasikan tidak ada potensi tsunami," tuturnya.

Kemungkinan ke depan

Daryono mengatakan, sebagai gunung api aktif GAK akan menunjukan gejala-gejala vulkanik aktif. Erupsi kecil yang sekarang terjadi, kata dia, merupakan sesuatu yang lazim.

"Seperti kemarin ada gelembung air laut yang keluar dari dasar laut. Itu suatu yang wajar terjadi di gunung api aktif," katanya.

Meski begitu, Daryono mengatakan, protensi lebih buruk dari aktivitas GAK tidak akan sampai menyebabkan tsunami. Sebab, sebagian tubuh gunung api muda ini sudah longsor dan menyebabkan tsunami di akhir tahun 2018.

"Kalau untuk menyebabkan tsunami badan gunung harus besar, dan harus roboh ke laut. Sekarang kan badannya sudah kecil, udah ada longsoran 22 Desember 2018. Jadi kecil potensi longsoran yang skalanya besar. Potensi itu (tsunami) relatif kecil," ucapnya.

Gempa tak selalu gunung meletus

Peneliti Madya Bidang Geofisika Terapan LIPI, Nugroho D. Hananto mengatakan, ada dua jenis gempa bumi yaitu tektonik dan vulkanik. Keduanya adalah sesuatu yang berbeda. Gempa tektonik timbul akibat pergerakan lempeng yang menyebakan patahan. Seperti yang terjadi di Palu.

Kemudian, lanjut Nugroho, gempa bumi vulkanik itu akibat aktivitas magma di dalam tubuh gunung api. Karakteristik gempanya berbeda dari tektonik, sehingga itu bisa menandakan kematangan dari magma di bawah gunung api dapat meletus atau tidak.

"Tapi itu kadang-kadang kalau lihat gempa bumi vulkaniknya kita perkirakan mau meletus, tetapi karena ada dinamika asam di dalam tubuh gunung api tidak jadi meletus. Memang kebanyakan saat mau gempa bumi ada aktivitas gempa (vulkanik) yang lebih tinggi," katanya.

Nugroho menjelaskan, meskipun gempa vulkaniknya intensif belum tentu langsung menyebakan gunung api meletus dan bisa saja tidak meletus.