JAKARTA - Kuasa Soeharto dalam memegang kendali Orde Baru (Orba) tak tertandingi. Heroismenya dielu-elukan. Narasi Soeharto sebagai Bapak Pembangunan dan Ekonomi menggelegar ke mana-mana. Ajian itu membuat karisma The Smiling General meninggi. Pun tiada yang boleh berada di atas Soeharto.
Barang siapa pejabat pemerintah –utamanya jenderal-- yang dianggap berpotensi melakukan blunder dan melawannya akan segera disingkirkan dengan cara halus. Mereka akan diberi jabatan duta besar. Alias didubeskan Soeharto.
Kepemimpinan Soeharto sebagai orang nomor satu Indonesia penuh dinamika. Ia mampu memaksimalkan kekuatan militer untuk melanggengkan kuasanya. Dukungan itu mampu membuat Soeharto mengontrol segalanya. Dari urusan masa lalu hingga masa kini.
Penulisan sejarah hidup Soeharto dilebih-lebihkan – jika tak mau dikatakan dipolitisasi. Peranan Soeharto dalam momentum sejarah bangsa Indonesia ditulis paling dominan. Ia pun jadi dikenal luas sebagai sosok yang berperan penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Kemudian, menjadi aktor utama penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1966-1967.
Perannya pada masa Orba pun ikut ditinggikan. Narasi sejarah menuliskannya sebagai anak seorang petani yang mampu merajut mimpi sebagai seorang Presiden Indonesia. Soeharto, sebagaimana dicatatkan pemerintahan Orba juga dikenang sebagai Bapak Pembangunan dan Ekonomi.
Tiada yang meragukan hal itu. Barang siapa yang mencoba mempertanyakan, atau ingin muncul lebih menonjol dari Soeharto segera direduksi perannya. Kelihaian Soeharto dalam mempreteli jabatan atau posisi pejabat yang mengganggu kuasanya tak perlu diragukan.
“Karena itu, meski ada figur hebat, walau tidak memiliki legalitas dari birokrasi negara, akan sulit mewujudkan gagasannya untuk mempengaruhi perubahan. Semasa Orde Baru, banyak kasus menarik bagaimana Presiden Soeharto kala itu melumpuhkan figur kuat yang tidak disenangi dengan cara dipreteli legalitas jabatannya.”
“Apalagi, mengingat legalitas akan melahirkan otoritas, dan otoritas jika ada di tangan orang yang cakap bisa melahirkan gerakan dahsyat. Agar tidak tersaingi, secara sistematis Soeharto ‘membunuh’ figur-figur yang dianggap membahayakan posisi dirinya dari jabatan formal yang melekat pada dirinya,” ungkap Komaruddin Hidayat dalam buku Politik Panjat Pinang (2006).
Didubeskan Soeharto
Figur-figur pejabat pemerintahan yang mengganggu kuasa Soeharto muncul satu persatu-satu selama perjalanan panjang Orba. Kemunculan itu segera cepat diantisipasinya. Ia tak ingin bermain kasar seperti tindakan yang dilakukan kepada mahasiswa atau aktivis.
Soeharto menyingkirkan pejabat pemerintah secara halus. Ajian Soeharto yang kesohor kala itu adalah mengangkat mereka menjadi duta besar (Dubes). Pun jadi Dubes dari negara yang cukup jauh dari Indonesia. Tujuannya supaya figur tersebut tak lagi ikut campur dalam peta perpolitikan Indonesia.
Upaya didubeskan jadi senjata ampuh. Apalagi untuk membungkam pejabat atau jenderal yang kurang disukainya. Sebab, menjadi Dubes dianggap Soeharto tak memiliki kekuatan politik yang kuat. Narasi itu karena upaya didubeskan Soeharto tak ubahnya sebagai upaya pengasingan.
Sederet pejabat pun pernah mendapat tawaran jabatan Dubes. Ada yang menolak dan yang menerima. Jenderal Sarwo Edhie Wibowo (kemudian jadi Mertua Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono) dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso, misalnya. Keduanya yang notabene petinggi militer dan kepolisian telah menebak posisinya dalam pemerintahan Orde Baru tidak aman.
Bukan karena kinerja mereka yang buruk, tapi karena keduanya dianggap tak sejalan dengan keinginan Soeharto. Sarwo Edhie kala itu dianggap Soeharto ingin melakukan kudeta terhadap kuasanya. Sedang Hoegeng sebagai Kapolri sering kali merepotkan karena sosok tersebut tak pernah pandang bulu menegakkan keadilan. Bahkan, sampai mengganggu bisnis yang digarap keluarga Soeharto.
Sarwo Edhie dan Hoegeng pun sempat meramal siapa yang akan duluan didubeskan Soeharto. Sarwo Edhie menyebut dirinya. Sedang Hoegeng menyebut namanya sendiri. Hoegeng jadi pemenangnya. Bedanya, Sarwo Edhie menerima jadi dubes pada 1975. Hoegeng memilih untuk menolak dua kali tawaran jadi dubes. Ia lebih memilih pensiun dari kepolisian pada 1971.
“Dalam banyak hal Mas Sarwo lebih hebat dari saya. Tapi dalam ramal-meramal di Jayapura itu ternyata ramalan saya lebih jitu dari ramalan Sarwo Edhie. Sejarah membuktikan bahwa saya memang dulu kehilangan peran di kepolisian ketimbang Mas Sarwo di kemiliteran Indonesia. Hal yang sama juga berlaku dalam keterlibatan kami dalam pemerintahan.
“Ya, sebab saya menolak didubeskan, sedang Jenderal Sarwo Edhie menerima jadi Dubes Korea Selatan dan sehabis itu ia masih memikul tugas anggota lembaga legislatif. Tak siapa pun yang menggugat kedudukan atau jabatannya itu, kecuali ia sendiri. Ia mengundurkan diri dari lembaga legislatif karena merasa tak ada kerja atau tidak ada yang bisa diperjuangkannya di sana. Hati nuraninya tidak tenteram sebagai anggota MPR,” kenang Hoegeng sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).