Awal Presiden Soeharto Dianggap Menyalahgunakan Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 27 Maret 1980
Presiden Soeharto bersalaman dengan para petinggi militer dan kepolisian Republik Indonesia. (Perspusnas)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 43 tahun yang lalu, 27 Maret 1980, Presiden Soeharto dianggap segenap rakyat Indonesia menyalahhgunakan Pancasila untuk memukul mundur lawan politik. Semuanya bermula dari pidato Soeharto pada Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, Riau.

Soeharto meminta ABRI untuk waspada kepada kelompok yang tak percaya Pancasila. Pergerakan mereka harus dihambat. Narasi itu kemudian berkembang dengan menyatakan seluruh penyerangan ke pemerintah sama dengan serangan terhadap Pancasila.

Soeharto dan militer adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya dapat bersatu padu dan saling mengisi. Apalagi kala Soeharto menjadi orang nomor satu Indonesia. Ia mampu memimpin era Orde Baru (Orba) dengan percaya diri.

Kepercayaan diri itu muncul karena militer jadi instrumen Orba yang paling setia. Soeharto kerap menggunakan militer tiap ada gejolak masyarakat. Sekalipun tindakan yang diambil militer justru membuat kepercayaan rakyat ke Orba jatuh pada titik terendah.

Kondisi itu membuat segenap nyali mereka yang mengkritik pemerintahan Orba jadi ciut. Barang siapa yang melakukan kritik niscaya akan segara diamankan oleh Orba. Entah kalangan pejabat atau mahasiswa.

Presiden Soeharto memeriksa barisan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam sebuah acara.

Semuanya akan segera ditindak tegas Orba yang anti kritik. Kalangan pejabat bisa saja diasingkan, sedang mahasiswa bisa jadi mendekam dalam penjara dalam waktu yang lama. Ada atau tanpa peradilan.

Ajian teror menggunakan militer itu bertahan dalam waktu yang amat lama. Keberhasilannya tiada dua. Semuanya jadi tunduk kepada Orba .

“Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.”

“Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang etisien menyebarkan ketakutan, Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian,” terang Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Herman (2009).

Seiring berjalannya waktu, Soeharto dan Orba tak lagi sembarang dalam memukul mundur lawan politik dengan langkah barbar. The Smiling General butuh alasan yang kuat. Akhirnya, Orba memilih menyalahgunakan Pancasila untuk maksud jahat itu.

Narasi itu di utarakan Soeharto kala menyampaikan amanat tambahan dalam Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru pada 27 Maret 1980. Soeharto menuturkan banyak kelompok yang tak mau Pancasila jadi falsafah hidup Indonesia. Ia mengimbau kepada ABRI untuk waspada kepada kelompok itu.

Berlatar belakang tentara berpangkat jenderal, Presiden Soeharto memang dikenal sangat dekat dan disegani di kalangan militer. (Perpusnas) 

Rakyat pun menilai Soeharto telah menyalahgunakan Pancasila. Penilaian itu terbukti benar. Sebab, Orba belakangan lalu menyebut segala macam serangan terhadapnya, sama artinya dengan menyerang Pancasila.Kaum oposisi – Ali Sadikin, A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santoso-- pun berang. Mereka pun mengecam presiden yang ingin memukul mundur lawan politiknya dengan gerakan Petisi 50.

“Pada tanggal 27 Maret 1980, presiden menyampaikan amanat tambahan pada pembukaan Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, Riau. Dalam amanatnya, presiden menyinggung soal proses penyusunan RUU Partai Politik dan Golongan Karya. Menurut presiden, UU ini masih mencantumkan adanya asas pokok dan asas ciri.”

“UU itu menunjukkan masih ada partai politik yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila sebagai ideologi. Ini merupakan bukti bahwa mereka masih ragu-ragu terhadap Pancasila. Presiden kemudian mengajak ABRI untuk berhati-hati memilih kawan karena terbukti masih ada golongan yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila,” terang M. Natsir sebagaimana ditulis Thohir Luth dalam buku M. Natsir, Dakwah, dan Pemikirannya (1999).