JAKARTA - Soeharto adalah figur penuh kontroversi. Kepemimpinannya banyak melahirkan diskusi. Termasuk langkahnya memanfaatkan Pancasila untuk mengancam lawan politik pada 1980. Ia mendapat kecaman dari 50 tokoh nasional akibat itu. Kecaman itu langgeng dikenal sebagai Petisi 50.
Gaung mesin pemerintahan Orde Baru (Orba) yang antikritik sudah rahasia umum. Segala bentuk perbedaan pendapat tak lagi dianggap sebagai suatu masukan. Padahal, kritikan adalah sebentuk vitamin dalam kehidupan bernegara.
Lebih lagi, mereka yang memberikan kritik --di mata rezim-- dianggap sebagai musuh negara. Bahkan rezim senantiasa mengeluarkan jurus menyebar ketakutan supaya membungkam suara sumbang.
Buahnya, kekuatan para penentang, kalaupun ada, menjadi lemah, bahkan kusut. Upaya menyebar ketakutan itu juga muncul pada pembukaan Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru, Riau pada 27 Maret 1980.
Dalam acara tersebut Soeharto dianggap telah menyalahgunakan ABRI dengan mengatakan serangan terhadap dirinya berarti serangan terhadap pancasila. Dengan sikap itu, Soeharto telah menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara, Pancasila.
"Dalam amanatnya, presiden menyinggung soal proses penyusunan RUU Partai Politik dan Golongan Karya," ungkap Mohammad Natsir dikutip Thohir Luth dalam buku M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya (1999).
"Menurut presiden, undang-undang ini masih mencantumkan adanya asas pokok dan asas ciri, menunjukkan masih ada partai politik yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila sebagai ideologi. Ini merupakan bukti bahwa mereka masih ragu-ragu terhadap Pancasila ... Presiden kemudian mengajak ABRI untuk berhati-hati memilih kawan karena terbukti masih ada golongan yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila.”
Pandangan menyalahtafsirkan Pancasila itu kemudian berlanjut. Tercatat, Soeharto mengulang narasi yang sama dalam pidato tanpa teks pada peringatan hari jadi ke-28 Komando Pasukan Sandhi Yudha --sekarang Korps Pasukan Khusus-- di Cijantung, Jakarta, 17 April 1980.
Akan tetapi, kali ini pidato bersifat lebih personal. Soeharto mengajak semua prajurit Angkatan Bersenjata untuk melawan usaha mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk menjaga wibawanya sebagai kepala negara dari penentang kebijakan.
"Daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang dari pada dua pertiga (anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang ingin mengadakan perubahan," ungkap Soeharto dalam pidatonya.
Lahirnya Petisi 50
Pernyataan Soeharto lalu menghadirkan banyak kecaman. Kecaman yang paling diingat dalam sejarah adalah pernyataan keprihatinan dari 50 tokoh nasional, yang kemudian dikenal luas dengan nama kelompok Petisi 50. Kelompok itu adalah peleburan dari dua kelompok yang eksis seperti Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang berdiri pada Juni 1978, serta Forum Studi dan Komunikasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
“Di lembaga pertama, ada tokoh seperti Mohammad Hatta, Jenderal Abdul Harris Nasution, Akhmad Subarjo, Jenderal Hoegeng Iman Santosa, Sabam Sirait, Mochtar Lubis, Chris Siner Key Timu, dan Marsillam Simandjuntak. Kelompok kedua dipimpin Mayor Jenderal Achmad Soekendro, Jenderal A.Y. Mokoginta, dan sederet purnawirawan jenderal,” tulis Wahyu Dhyatmika dkk dalam tulisan di Majalah Tempo berjudul Sejumlah Tindakan dan Cermin (2008).
Secara garis besar, kelompok Petisi 50 dihuni ragam kalangan. Mulai dari politisi, birokrat, pensiunan jenderal, para pengusaha, intelektual, hingga para dai. Bersamaan dengan itu mereka menyusun pernyataan keprihatinan (petisi) terhadap pemerintahan Orba di bawah panji kuasa Soeharto.
Petisi itu dibuat dengan tujuan supaya Soeharto tak lupa diri. Selebihnya, agar rezim Soeharto tak bertindak sesuka hati dalam menyebar ketakutan. Petisi tersebut berisikan enam poin penting. Pertama, berprasangka ada polarisasi di kalangan rakyat antara yang ingin “melestarikan Pancasila” dengan mereka yang ingin “mengganti” Pancasila.
Kedua, Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan untuk mengancam lawan-lawan politiknya. Ketiga, membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana pembatalan UUD 1945.
Keempat, meyakinkan ABRI untuk memihak berdasarkan pertimbangan penguasa. Kelima, memberikan kesan bahwa ia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.
Keenam, melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada berbagai rencana perbuatan jahat dalam menghadapi pemilu yang akan datang. Alhasil, 30 orang tokoh dari kelompok Petisi 50 mendatangi Gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta pada 13 Mei 1980.
Mereka menginginkan supaya konstitusi dijalankan dengan jujur dan adil. Pun dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Alhasil, Kepada DPR mereka menyampaikan dan menandatangani Petisi 50.
Petisi tersebut dipahami sebagai bentuk kritik atas Soeharto yang menodai Pancasila. Sebab, Pancasila dijadikan upaya paten membungkam lawan politiknya dan melanggengkan kuasa Orba. Yang mana, hal itu sudah jauh dari muruah Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
“Kalau tadinya Pancasila berfungsi sebagai titik temu dan pemersatu, berjiwakan Bhinneka Tunggal Ika, sekarang justru sebaliknya. Diberi fungsi untuk menyingkirkan ciri-ciri khas yang telah dihayati dari zaman ke zaman oleh golongan-golongan sebangsa, jauh sebelum Pancasila dirumuskan,” ujar Adian Husaini dalam buku Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2009).
Soeharto yang terlampau kuat
Melihat kritik dari kelompok Petisi 50, pemerintah Orba laksana orang kebakaran jenggot. Sebagaimana biasanya, Orba yang kurang siap menerima kritik langsung menyikapi dengan membatasi ruang gerak tokoh-tokoh dari kelompok Petisi 50.
Dalam artian, anggota-anggota dari Petisi 50 diperlakukan bak nonperson oleh rezim Soeharto. Mereka dicekal ke luar negeri, tidak boleh hadir dalam acara sosial, pemikiran, hingga ucapannya tak boleh muncul di media massa.
Tak hanya itu, sejak 1980 media massa telah dilarang memuat atau memberitakan Petisi 50. Kebencian Soeharto pada anggota kelompok Petisi 50 juga ditunjukkan jika ada orang yang mengundang Soeharto ke pesta perkawinan.
Rezim Orba akan meminta empunya acara memastikan ketiadaan anggota Petisi 50 dalam hajatan tersebut. Akibatnya, ada bertahan dalam kelompok Petisi 50 dengan terus memberikan kritik sebagai oposisi, ada pula yang berbalik mendukung pemerintah karena tak kuat dicekal.
“A.H Nasution, kemudian dengan bantuan B.J. Habibie, berusaha menghilangkan pencekalan berpergian ke luar negeri terhadap dirinya dengan mengubah sikapnya terhadap pemerintah Soeharto. Akibatnya, Nasution diangkat menjadi Jenderal Besar berbintang lima. Hal seperti itu tidak terjadi dengan Aziz Saleh dan lainnya yang secara konsisten berpegang kepada prinsip Petisi 50,” tutup Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 5 (2012).
*Baca Informasi lain soal SOEHARTO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.