Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 43 tahun yang lalu, 5 Mei 1980, segenap tokoh bangsa menandatangani pernyataan keprihatinan ke Gedung DPR RI. Penyataan keprihatinan itu dikenang luas dengan istilah Petisi 50.

Mereka yang tergabung dalam Petisi 50 –dari A.H. Nasution hingga Ali Sadikin-- menentang keras langkah Soeharto menyalahgunakan Pancasila untuk tujuan politik. Sebelumnya, Soeharto kian terang-terangan memukul mundur seluruh lawan politik. Ia ingin semua yang menentangnya segera dibereskan. Tanpa terkecuali.

Eksistensi Soeharto dan Orde Baru (Orba) tiada dua. Kekuatannya mengendalikan militer ada di baliknya. Kekuatan militer dijadikan Soeharto sebagai instrumen penting untuk melanggengkan kekuasaan. Segala bentuk pergolakan massa mampu dilumpuh dengan terukur. Apalagi hanya sekedar suara sumbang mengkritik pemerintah.

Semua itu dapat dibereskan. Karenanya, tiada yang mampu menggoyang kuasa Soeharto. Betapa pun keras gebrakannya, Orba selalu punya cara. Sekalipun lawan politik yang menentang Orba mulai bermunculan. Soeharto kemudian muncul ke khalayak dan mengecam siapa saja yang melawannya.

Pada rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru pada 27 Maret 1980, misalnya. Soeharto menuturkan bahwa banyak kelompok yang tak mau Pancasila jadi falsafah hidup Indonesia. ABRI pun diminta untuk waspada kepada mereka.

Tiga tokoh Petisi 50, dari kiri: Ali Sadikin, A.H Nasution, dan H.R Dharsono. (Wikimedia Commons)

Narasi itu kemudian berulang kali diungkap Soeharto. Bahkan, Soeharto secara terang-terangnya menyebut untuk segera membereskan mereka yang ingin mengganggu eksistensi pancasila. Sebab, Pancasila sudah tak dapat diganggu gugat. Mereka yang mengganggunya sudah pasti dianggap makar.

“Pada tanggal 27 Maret 1980, presiden menyampaikan amanat tambahan pada pembukaan Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, Riau. Dalam amanatnya, presiden menyinggung soal proses penyusunan RUU Partai Politik dan Golongan Karya. Menurut presiden, UU ini masih mencantumkan adanya asas pokok dan asas ciri.”

“UU itu menunjukkan masih ada partai politik yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila sebagai ideologi. Ini merupakan bukti bahwa mereka masih ragu-ragu terhadap Pancasila. Presiden kemudian mengajak ABRI untuk berhati-hati memilih kawan karena terbukti masih ada golongan yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila,” terang M. Natsir sebagaimana ditulis Thohir Luth dalam buku M. Natsir, Dakwah, dan Pemikirannya (1999).

Segenap rakyat Indonesia tak merespons omongan Soeharto sebagai bentuk bela negara. Alih-alih menjaga Pancasila, narasi yang dilontarkan Soeharto justru dianggap sebagai bagian penyalahgunaan Pancasila.

Soeharto hanya ingin memukul mundur lawan politiknya belaka. Jadi, ia hanya butuh pembenaran. Penyalahgunaan itu kemudian diprotes banyak pihak. Segenap tokoh bangsa melakukan gebrakan.

Berlatar belakang tentara berpangkat jenderal, Presiden Soeharto memang dikenal sangat dekat dan disegani di kalangan militer. (Perpusnas)

Mereka membuat pernyataan keprihatinan. Petisi 50 namanya. Penyataan itu berisi kecaman kepada Soeharto yang menyalahgunakan Pancasila untuk tujuan politiknya. Petisi 50 pun ditandatangani sederet tokoh bangsa pada 5 Mei 1980. Dari A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santoso, hingga Ali Sadikin.

“Kelompok Petisi 50 yang anggotanya berjumlah 50 orang pertama tercetus pada 5 Mei 1980. Bertepatan dengan tanggal tersebut, ke-50 anggota yang tergabung dalam kelompok ini bersepakat menandatangani sebuah Pernyataan Keprihatinan. Surat pernyataan bersama dan sebutan kelompok itu, kemudian lebih dikenal dengan Petisi 50.”

“Pada intinya, seperti yang sering dinyatakan Pak Nas maupun Ali Sadikin yang turut menandatangani pernyataan Petisi 50 bahwa kelompok mereka hanya menginginkan adanya pembaruan politik yang lebih kondusif dan demokratis sejalan dengan konstitusi yang berlaku. Namun, dalam perkembangannya kelompok ini dekat dengan sebutan kumpulan orang-orang oposan atau yang antipemerintah,” terang A. Makmur Makka dalam buku Mr. Crack dari Parepare (2018).