Soeharto Kerepotan Hentikan Kritik Jenderal Hoegeng
Jenderal Hoegeng mengisi acara di TVRI (Sumber: Perpusnas.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Kisah Jenderal Hoegeng Imam Santoso bukan melulu tentang polisi jujur. Ia dikenal pula sebagai polisi berani. Keberaniannya sering bikin gerah pejabat korup era Orde Baru (Orba), bahkan Soeharto.

Sederet kasus kriminal besar telah diungkap meski jabatannya terancam. Hoegeng tetap berani. Pun setelah berhenti menjadi Kapolri. Segala bentuk kritikan kepada penguasa rezim sering dilontarkannya, terutama lewat kelompok Petisi 50.

Kritikan itu dibalas Soeharto dengan “mematikan” langkah Hoegeng secara terang-terangan. Sebagai Kapolri, Hoegeng Imam Santoso terkenal ngotot memecahkan kasus kriminal besar.

Pada masa itu Jenderal Hoegeng tak segan memeriksa oknum pejabat pemerintah yang diisukan terlibat kejahatan. Termasuk ketika memecahkan kasus Robby Tjahyadi, legenda penyelundup mobil mewah kelas kakap yang jadi salah satu konglomerat tekstil di Indonesia.

Akan tetapi bagi Hoegeng kasus tersebut tak ubahnya seperti kasus lainnya yang harus segera diusut. Kasus Robby Tjahyadi berhasil dipecahkan oleh Kepolisian. Tercatat, dalam melakukan aksi penyelundupan Robby Tjahyadi menggunakan modus operandi canggih.

Robby Tjahyadi yang hanya jebolan SMA dapat menyelundupkan 228 mobil mewah ke Indonesia. Bahkan sebelumnya telah ada sekitar 3 ribu mobil mewah yang berhasil menjadi selundupan. Antara lain Alfa Romeo, Fiat, Quick, BMW, Marcedes Benz, Ford, Continental, Roll Royce, dan sebagainya.

“la juga menggemparkan karena faktor lain. Kendati tim inti penyelundupan itu hanya tiga orang, penyelundupan itu sendiri melibatkan puluhan pejabat tinggi di bea cukai dan kepolisian. Setelah kasus ini disidangkan di pengadilan yang melibatkan 27 orang saksi, Robby dihukum 10 tahun,” ungkap Ramadhan K.H. dalamm tulisannya di Majalah Tempo berjudul Dialah Polisi Teladan Kita (2014).

Jenderal Hoegeng (Sumber: Wikimedia Commons)

Lurusnya tindakan Hoegeng menjadikan sosok Kapolri yang berasal dari keluarga ningrat itu sebagai media darling, seseorang yang menjadi sumber berita. Tak berselang lama Hoegeng kemudian sesumbar menjanjikan kepada wartawan akan ada berita besar lagi.

Oleh Hoegeng, berita tersebut dianggap sebagai sebuah kejutan. Lantaran kasus yang akan diungkap oleh Hoegeng adalah kasus besar pembongkaran penyelundupan mobil mewah ratusan juta rupiah di Tanjung Priok.

Namun jauh dari panggang api. Sebelum sempat mengumumkan ‘big news’ itu Hoegeng lebih dulu diberhentikan lebih cepat oleh Soeharto dengan embel-embel ingin menjadikan Hoegeng sebagai Duta Besar (Dubes) Belgia.

Meski begitu ia sempat mengungkapkan pada Soeharto jika ada lowongan untuk bekerja di Indoensia, Hoegeng siap menerimanya. Apapun itu. Soeharto menyebut tak ada lagi lowongan di pemerintahan. Tawaran bekerja sebagai Dubes ditolak Hoegeng. Ia lalu memilih mundur sebagai Kapolri.

“Bagi saya sendiri kasus penyelundupan Robby rupanya memiliki arti khusus yang tak saya ketahui. Konon seperti dilansir oleh mingguan Tempo, maka diisukan bahwa kasus penyelundupan Robby merupakan salah satu alasan kenapa saya tak disukai atau dipecat sebagai Kapolri."

"Logikanya, konon, karena saya berusaha membongkar kasus lebih dini, jauh sebelum Badan Kordinasi Pelaksanaan (Bakolak) pimpinan Sutopo Juwono, atau Bakolak bagian pemberantasan penyelundukan pimpinan Jaksa Agung Ali Said SH turun tangan! Tapi saya tak tahu apa-apa tentang itu,” ungkap Hoegeng dikutip Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Aktif kritik Soeharto

Presiden ke-2 RI Soeharto (Sumber: Wikimedia Commons)

Meski selepas jabatannya sebagai Kapolri Hoegeng menjauh dari kekuasaan, tapi bukan berarti dirinya diam saja ketika korupsi merajalela. Di sela-sela rutinitas bernyanyi dan berbincang di Radio Elshinta dalam acara Obrolan Mas Hoegeng, The Singing General itu aktif kritik Soeharto.

Acara di radio bahkan jadi medium Hoegeng dalam memberikan kritik yang membangun kepada pemerintahan Orba. Alhasil acara yang disiarkan radio Elshinta tiap minggu pagi, mulai pukul 07.30–10.00 WIB banjir pendengar.

Kritik yang dibawakan Hoegeng dalam acara Obrolan Mas Hoegeng terasa segar. Bukan karena Hoegeng mantan Kapolri tapi karena Hoegeng terlampau kreatif dalam mengemas pokok bahasan yang aktual dipadukan gaya bahasa yang menyenangkan.

Hoegeng mengenangnya: Katakanlah itu obrolan dalam gaya bahasa model capjay, biarpun dicampur aduk dalam bahasa Indonesia, dialek daerah, bahasa Belanda, Inggris, atau Jerman, tetapi rasanya enak dan udah dicerna orang.

Sasaran utama kritiknya antara lain berfokus pada sederet pejabat dalam pemerintahan Orba yang mulai kehilangan jati diri dan tujuan hidup. Sebab gaya hidup para pejabat itu kebanyakan tak sesuai dengan anjuran Presiden Soeharto yang menuntut pejabat hidup sederhana.

Jika dibiarkan, maka perilaku foya-foya pejabat akan mengancam banyak hal. Perihal ini bukan pertama kalinya “dilagukan” Hoegeng. Jauh sebelum dirinya menjadi Kapolri, Hoegeng sering menasihati sekretarisnya Soedharto Martopoespito saat menjadi Menteri Menteri Iuran Negara.

Hoegeng selalu berpesan agar sebagai pejabat penting untuk mengedepankan kebenaran dibanding 'kebeneran' (kebetulan). Karena jika hidup sudah tak jujur, maka pejabat tersebut akan mengancam keberlangsungan kehidupan bangsa dan bernegara.

“Meski demikian Mas Dharto, janganlah menjadi orang yang selalu kebeneran atau kebetulan, tetapi jadilah orang yang benar. Karena, selain kebeneran itu sesaat, juga adakalanya berdampak negatif di kemudian hari bagi orang tersebut. Kebeneran itu belum tentu kebenaran,” ucap Hoegeng dikutip Suhartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013).

Hoegeng, yang menikmati masa pensiun dengan menghibur masyarakat melalui grup musik The Hawaiian Seniors makin keras. Lewat lagu Hoegeng semakin meningkatkan intensitas kritikannya. Karena itu Hoegeng menjadi bagian dari Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) bentukan Jenderal A.H. Nasution dan mantan Wakil Presiden RI Pertama, Mohammad Hatta.

Lembaga itu aktif mengoreksi Orba yang dinilai menyimpang dari cita-cita kemerdekaan. Tak hanya itu. Ketika Soeharto memanfaatkan Pancasila mengancam lawan politik pada 1980, Hoegeng segera bergabung dengan bersama 50 tokoh nasional lain untuk menandatangani penyataan sikap mengecam pemerintahan Orba di bawah Soeharto.

Kehadiran Hoegeng sebagai bagian dari kelompok petisi 50 semakin mengukuhkan pendapat bahwa Indonesia sedang tak baik-baik saja. Sederet tokoh terkenal lainnya dari Petisi 50 adalah Ali Sadikin, Jenderal Abdul Harris Nasution, Akhmad Subarjo, Sabam Sirait, Mochtar Lubis, Chris Siner Key Timu, dan Marsillam Simandjuntak.

Orba matikan langkah Hoegeng

Imbasnya, kritikan itu dibalas oleh Soeharto dengan memberikan gelar musuh politik kepada seluruh tokoh Petisi 50. Soeharto kemudian menjatuhkan “hukuman kematian perdata” tanpa proses pengadilan kepada kelompok Petisi 50, termasuk Hoegeng yang sering kali ikut diskusi kelompok Petisi 50 di Rumah Ali Sadikin dengan naik Bajaj.

Wujud “kematian perdata” tersebut, beberapa di antaranya tak lain dicekal berpergian ke luar negeri, diisolasikan oleh publikasi media massa, tidak mendapatkan kredit dari bank, dan lainnya.

“Hoegeng, seperti juga umumnya para penandatangan Petisi 50, menghadapi ‘Hukuman Kematian Perdata’ tanpa proses pengadilan ini dengan sikap ksatria tanpa keluhan karena disadarinya sepenuhnya bahwa hal tersebut menjadi bagian dari konsekuensi logis perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, dan demokrasi,” cerita Ali Sadikin dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).

Hoegeng dalam acara The Hawaiian Senior (Sumber: Perpusnas.go.id)

Lebih lagi, Hoegeng harus menerima risiko acaranya di TVRI, Hawaiian Senior dihentikan. Lalu, TVRI menggantinya dengan siaran musik nasional dengan alasan musik Hawaiian dianggap musik asing.

Senada dengan acaranya di TVRI, acara Obrolan Mas Hoegeng di Radio Elshinta mulai dibatasi. Padahal, sebelum penandatanganan Petisi 50, Hoegeng masih bebas malang-melintang di layar kaca maupun radio.

“Alumnus PTIK tahun 1952 ini lebih senang jadi orang bebas, ia tampil dengan grup musik Hawaian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu. Tetapi musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai "kepribadian nasional" oleh Menteri Penerangan, Ali Moertopo sehingga ia tidak boleh tampil lagi,” tutup Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

 

BERNAS Lainnya