Megawati Soekarnoputri Dipanggil Presiden Soeharto karena Mengkritik Orba dalam Sejarah Hari Ini, 5 Februari 1994
Megawati Soekarnoputri saat bertemu Presiden Soeharto pada 5 Februari 1994. (Dok. Kepustakaan Presiden)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 29 tahun yang lalu, 5 Februari 1994, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Megawati Soekarnoputri menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta. Kedatangannya karena langkah politik Megawati dianggap mengganggu Orde Baru (Orba).

Sebelumnya, kemunculan Megawati dalam peta politik Indonesia begitu mengejutkan. Ia mampu memperoleh dukungan dari segenap rakyat Indonesia. Ia jadi simbol perlawanan terhadap tirani Orba. Puncaknya, ia mampu menjadi pimpinan tertinggi PDI.

Kuasa Soeharto dan Orba mampu meredam keinginan trah Soekarno untuk masuk politik. Bahkan, trah Soekarno -utamanya laki-laki- sampai membuat konsensus yang berisi kesepakatan tak akan masuk ke partai politik dan berdiri atas seluruh golongan pada 1982.

Artinya, tiada kesempatan lagi bagi trah Soekarno untuk muncul ke panggung politik Indonesia. Sekalipun kesempatan trah Soekarno masuk politik terbuka lebar. Kuasa itu tak lain bermuara dari legasi yang dibuat Soekarno masih berada dalam sanubari segenap rakyat Indonesia.

Kondisi adem ayem itu membuat Soeharto nyaman jadi orang nomor satu Indonesia. Semuanya berubah kala anak kedua Soekarno, Megawati Soekarnoputri melenggang masuk politik pada 1987. PDI yang kala itu dipimpin Soerjadi dan Nico Daryanto kehadiran Megawati.

Megawati Soekarnoputri, menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru. (Istimewa)

Mereka ingin Megawati dikenal sebagai simbol perlawanan sekaligus pendulang suara. Ajian itu berhasil. Megawati dan PDI yang jadi paling diperhitungkan dalam peta politik Indonesia. Bahkan, Megawati mampu menjadi orang nomor satu PDI. Ia didukung oleh segenap kadernya pada Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya pada 1993.

“Waktu berdetak berpacu dengan akhir izin kongres. Aparat polisi sudah bersiap-siap menunggu dentang pukul 00:00. Pada pukul 00.00 itulah ijin KLB berakhir, dan polisi mengambil alih ajang KLB. Di kegelisiahan malam itu, ketika pukul 00:00 kurang 10 menit, Megawati tiba-tiba keluar dari kamar. Pekik gemuruh membelah keheningan menyambut kemunculan Megawati. Ia gunakan pengeras suara suaranya, Megawati melancarkan pidatonya.”

“Dan ini yang paling tidak terduga oleh siapa pun, Megawati menyatakan diri secara de facto sebagai Ketua Umum DPP PDI. Pekik sorak pun tak tertahankan. Dan pada bagian akhir pidato pendeknya tanpa teks itu Megawati mengutip karya pujangga besar India, Swami Vivekananda: Tegakkan mukamu menjadi manusia sejati untuk menegakkan kebenarannya,” tertulis dalam buku Tragedi Megawati: Revisi Politik Massa di Indonesia (2000).

Megawati lalu menyampaikan pidato politik pertamanya pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) PDI pada 10 Januari 1994. Megawati memberikan kritik kepada Orba. Ia menyebut Orba kerap tak sejalan dengan UUD 1945 dan abai terhadap Pancasila.

Ia bahkan menyebut Indonesia tak boleh dimainkan dengan budaya politik diktator. Pidato itu membuat Orba berang. Empunya kuasa pun mengundang Megawati untuk berjumpa Soeharto dan wakilnya, Try Sutrisno pada 5 Februari 1994.

Potret Megawati Soekarnoputri semasa muda. (Perpusnas)

Megawati pun diminta untuk bertindak menjaga persatuan dan kesatuan, bukan malah memecah belah. Nyatanya, itu tak cukup membuat Megawati jera. Nyalinya melawan pemerintah Orba semakin menjadi-jadi. Perlawanan itu terus dilakukan sampai Soeharto lengser pada 1998.

“Akhirnya Megawati diterima oleh Presiden Soeharto pada Sabtu, 5 Februari 1994 di Bina Graha dan kemudian diterima Wakil Presiden, Try Sutrisno, di Istana Wapres Merdeka Selatan. Megawati tampil dengan baju merah lengan panjang dan bawahan hitam.”

“Soeharto meminta Megawati segera melakukan konsolidasi organisasi, sedangkan Try Sutrisno berpesan kepada Megawati agar menjaga stabilitas nasional serta persatuan dan kesatuan. Normatif sekali memang,” ungkap Budi Setiawanto dalam buku Megawati dalam Catatan Wartawan: Bukan Media Darling Biasa (2017).