Kisah Kusni Kasdut, dari Pejuang Kemerdekaan Menjadi Perampok Museum Gajah
Kusni Kasdut (kiri) dibawa polisi (Foto: Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA - Kusni Kasdut pernah tercatat sebagai pejuang kemerdekaan. Ia berperan aktif melawan Belanda. Nyalinya tinggi. Penjara dan peluru tak membuatnya gentar. Sayang, revolusi tak menjanjikan kesejahteraan. Jasanya tak digunakan lagi sejak Indonesia merdeka. Ketidakadilan itu menguat sampai kemiskinan menderanya. Jalan pintas pun diambil. Kusni mulai menjajal dunia shadow. Karier kriminalnya mentereng. Apalagi kala Kusni memimpin perampokan fenomenal ke Museum Gajah.

Proklamasi kemerdekaan begitu berarti bagi segenap rakyat Indonesia. Momentum itu dianggap sebagai penanda Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Nyatanya fakta dilapangan berlainan. Proklamasi kemerdekaan justru hanya awal cerita.

Ngototnya Belanda merebut kembali Indonesia buat rakyat Indonesia kembali dipaksa angkat senjata. Mempertahankan kemerdekaan jadi ajiannya. Perjuangan itu dikenal sebagai masa revolusi. Tiada pemuda yang tak terbakar semangatnya membela panji Merah Putih. Termasuk Kusni Kasdut.

Kusni lalu menyerahkan seluruh hidupnya untuk perang kemerdekaan (1945-1949). Ia ikut bergerilya melawan Belanda. Kusni bergabung dengan gerakan rakyat dari Front Jawa Timur. Tugas Kusni Kasdut tak melulu mengenteng senjata. Ia dituntut pula untuk menggunakan otaknya mencari dana revolusi. Apapun caranya, termasuk merampok harta tuan tanah.  

Ketekunan mencari dana revolusi itu membuatnya dijuluki Si Kancil. Konon, dalam aksinya mencari dana, Kusni laksana “Robin Hood.” Harta yang didapat tak seluruhnya diberikan untuk revolusi, tapi juga untuk membantu kaum miskin.

“Kisahnya begini. Ketika perang kemerdekaan lelaki asal Blitar ini bergerilya bersama gerakan rakyat di daerahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia yang di zaman Jepang sempat belajar sampai kelas dua Sekolah Teknik itu, bergabung dengan Tentara Pelajar pimpinan Mas Isman (sekarang Mayjen) tokoh Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro). Satu waktu pemerintah mengadakan rasionalisasi angkatan bersenjata. Nasib sial menghadang Kusni. Dia termasuk seorang di antara 500 eks TP yang harus bèrhenti,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Dijual: Mebel Buatan Kusni Kasdut (1977). 

“Alasannya tak diberitahu, pokoknya saya jadi susah, urainya. Beberapa kali Kusni mondar-mandir ke Jakarta menghubungi instansi yang tugasnya memang menyalurkan tenaga bekas pejuang. Tapi hasilnya kosong. Yang ada cuma janj-janji saja, padahal waktu itu saya sudah berkeluarga. punya anak satu. Habis akal, bersama beberapa kawannya melakukan pemerasan di Surabaya. Beberapa kali nasibnya mujur.”    

Malang harus diterimanya. Ia ditolak masuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Alasannya karena Kusni  tak terdaftar resmi dalam suatu kesatuan. Terlebih lagi, bekas tembakan serdadu Belanda di kakinya jadi alasan lain penolakan. Karenanya, dalam kasus Kusni Kasdut, revolusi nasional justru tak dapat menjamin kesejahteraan banyak pihak.

Tiada pekerjaan yang layak mampu diusahakan olehnya. Kusni Kasdut pun jatuh dalam kubangan kemiskinan. Dunia hitam lalu ditempuhnya. Dari mencuri hingga menculik. Demi menyelamatkan marwahnya sebagai kepala keluarga. Pun hal itu dilanggengkan ketika dirinya mengadu nasib Jakarta.

Di Jakarta, Ia bermaksud merampok dan menculik seorang keturunan Arab kaya-raya, Ali Badjened untuk mendapatkan uang. Tapi rencananya tak berjalan mulus. Ali Badjened melakukan perlawanan hingga mati terkena peluru Kusni Kasdut. Kejahatan pembunuhan semacam itu langsung menghebohkan seisi Ibu Kota. Nama Kusni Kasdut mendadak terkenal kali kedua. Bukan sebagai pejuang kemerdekaan, tetapi sebagai penjahat kelas kakap.

Ilustrasi (Foto: Unsplash)

“Di Kebon Sirih inilah Kusni Kasdut sebelum melakukan perampokan emas di Museum Nasional, pernah membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali, anak Cikini,“ tulis Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Banjir (2009).

“Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan dari jeep oleh penjahat ini. Peristiwa itu sangat menggemparkan ketika itu karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang.”

Merampok Museum Gajah

Kegagalan rencana Kusni Kasdut merampok Ali Badjened membuatnya memikirkan rencana perampokan besar nan fenomenal lainnya. Museum Nasional jadi target berkutnya. Bagi Kusni Museum yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah ini menyimpan kekayaan yang tak sedikit. Bahkan, tak ternilai harganya.

Kusni Kasdut mengetahui hal itu karena dirinya telah lama melakukan riset terkait isi museum. Semua benda pusaka yang terbuat dari emas, berlian, hingga permata menggiurkannya. Rencana perampokan itu dimatangkan olehnya. Tujuannya tak lain supaya belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.

“Di bawah terik matahari Jakarta yang sedang dimabuk revolusi, Kusni terseok-seok dari Harmoni sampai ke Merdeka Barat, dan melihat orang banyak di depan gedung yang ada patung gajahnya. Ia membaca: museum, dan iseng ikut masuk sekedar melepaskan lelah, pikirnya.”

“Ia melihat-lihat arca-arca tanpa minat sedikit pun. Tapi ketika sampai Ruang Pusaka, darahnya bergerak dan kegairahan meliputinya. Sekeliling dinding, di pajangan terletak harta yang tak ternilai harganya; pedang, keris, cincin, bros, gelang, kalung, semuanya dari emas, berlian, atau permata,” cerita Parakitri T. Simbolon dalam buku Kusni Kasdut (1979).

Ilustrasi (Foto: Unsplash)

Aksi perampokan itu dilangsungkan pada 31 Mei 1961. Kusni Kasdut bersama koleganya –Herman, Budi, Sumali—melakukan aksi dari sebuah rumah di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Strategi yang mereka buat adalah mencoba menyamar sebagai polisi.

Demi mendukung aksinya, mereka menyiapkan sebuah jeep curian dengan plat nomor yang dipalsukan. Tak lupa, masing-masing membekali diri dengan sejata api dan belati.

Kasdut dan kawan-kawan lalu bertandang ke Museum Gajah pagi hari. Petugas museum memberikan jalan kepada petugas polisi, sekalipun heran dengan kedatangan polisi ke museum. Mereka pun mencoba bertindak layaknya pengunjung biasa. Segala macam benda-benda bersejarah diamatinya dengan seksama. Akhirnya pun tiba. Penjagaan yang lengah oleh petugas museum menjadi peluang kelompok Kusni Kasdut beraksi dan mengambil ragam koleksi dari Ruang Pustaka.

Rencana itu nyaris berantakan karena di dalam Ruang Pustaka terdapat dua petugas yang curiga dengan aktivitas mereka. Senjata pun ditodongkan. Setelahnya, Kusni Kasdut dengan sigap segera membobol lemari pajangan tempat emas dan berlian. Konon, barang bersejarah dari cincin, berlian, dan subang itu mencapai Rp2,5 miliar.

Kedua penjaga tadi tak tinggal diam. Mereka berteriak ketika ada kesempatan. Akibatnya, ada seorang petugas yang terkena tembakan komplotan Kusni Kasdut. Setelah itu, mereka berhasil melarikan diri sebelum polisi tiba di Museum Gajah. Berita perampokan di Museum Gajah lalu menjadi topik hangat di ragam media. Sekaligus menjadi perampokan paling fenomal pada zamannya.

“Nama Kusni Kasdut makin berkibar dan dikenal pencuri benda seni. Pada 31 Mei 1961 Kusni Kasdut merampok Museum Nasional yang akrab disebut Museum Gajah. Dalam melaksanakan aksinya itu, Kusni Kasdut menyamar dengan mengenakan seragam polisi, lalu masuk ke museum.”

“Kemudian menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Ia lalu membawa lari 11 Permata koleksi museum. Kusni kemudian ditangkap saat menjual hasil jarahannya itu di Semarang,” tutup Hukman Reni dalam buku Heboh Bali Nine: Eksekusi Sindikat Narkoba Australia (2015).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya