JAKARTA - Kereta kuda pernah jadi penanda kekayaan di era kongsi dagang Belanda, VOC. Barang siapa yang memiliki kereta kuda, sudah pasti ditandai sebagai orang kaya. Kalangan pejabat Kompeni dan orang kaya yang menggunakannya akan mendapat penghormatan.
Kondisi itu membuat Kompeni melirik kereta kuda bukan hanya transportasi belaka. Kereta kuda termasuk dalam jajaran barang mahal. Narasi itu membuat Kompeni kepincut memasukan kereja kuda ke dalam pajak barang mewah.
Zaman dulu punya standarnya sendiri terkait barang mewah. Di era Kompeni, misalnya. Kompeni yang berbisnis dagang rempah mulai merumuskan sendiri terkait standar barang mewah. Apa saja bisa dijadikannya simbol kekayaan.
Kondisi itu terlihat kala melirik kehadiran kereta kuda mewah di Batavia sedari 1619. Kehadiran kereta kuda bukan cuma jadi solusi kelangkaan transportasi darat belaka. Kereta kuda –sado hingga bendi—dianggap penjajah Belanda selah salah satu penanda kekayaan.
Mereka belum dikatakan kaya raya jika tak punya kereta kuda. Pemeran kekayaan itu dihadirkan dalam tiap hajatan penting. Kereta kuda kerap digunakan untuk beribadah ke gereja dan segala macam hajatan pesta -- pesta pernikahan, pesta naik jabatan, hingga pemakaman.
Intinya apa saja momentumnya dapat digunakan sebagai ajang pamer kekayaan. Kehadiran mereka yang menggunakan kereta kuda sudah pasti jadi pembicaraan hangat. Tren kereta kuda sebagai barang mewah bukan tanpa alasan.
Dulu kala, orang Belanda yang didatang ke Nusantara rata-rata dari keluarga biasa saja. Bukan orang kaya. Bukan pula orang terpelajar. Hasilnya uang yang didapat dari perdagangan dan korupsi untuk foya-foya.
Mereka berlaku seperti orang kaya baru (OKB) yang norak dan boros. Mereka selalu ingin dipandang. Perilaku itu terus dipertahankan karena kelas Gubernur Jenderal VOC saja melakukan yang sama.
BACA JUGA:
Gubernur Jenderal VOC memiliki kereta kereta kuda dua pintu yang ditarik enam kuda. Sedang anggota dewan keretanya ditarik empat kuda. Mereka pejabat lainnya jadi termotivasi untuk hidup foya-foya.
“Pamer kekayaan di depan publik juga mewarnai pemerintahan di Batavia. Hal ini muncul bukan karena ketidaksukaan satu sama lain, bukan juga masalah dengan para pelancong, tetapi masalah kesamaan hak antara sesama anggota pemerintahan.”
“Dengan model hirarki Jawa dan Jepang sebagai model mereka. Para pejabat Batavia mengemukakan pangkat dan keterangan prestasi mereka untuk menaiki tangga masyarakat VOC ataupun masyarakat umum yang bebas,” ujar Sejarawan Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Pajak Barang Mewah
Kompeni tak tinggal diam melihat eksistensi kereta kuda yang kian berkembang. Mata duitan penjajah pun keluar. Kereta kuda dianggapnya sebagai barang mewah. Kondisi itu membuat Belanda membuat serangkaian aturan yang mengatur terkait kereta kuda.
Barang siapa yang ingin memiliki kereta kuda diharuskan mendapatkan persetujuan dari Gubernur Jenderal VOC. Mereka para warga terkemuka dengan cepat mendapatkan izin. Sedang mereka di luar etnis eropa sukar mendapatkan – etnis China, Melayu dan lainnya.
Produk hukum itu kemudian mengharuskan pemilik kereta kuda harus membawa pajak barang mewah kepada Kompeni. Pajak yang dibayarkan tak sedikit. Pajaknya saja bisa menyumbang sampai 9 ribu ringgit tiap tahun.
Istimewanya pejabat tinggi Kompeni tak diharuskan membayarkan pajak kereta kuda. Mereka yang membayar hanya pejabat rendah, orang kaya, atau pensiunan pejabat. Namun, tak semua orang dapat membayar pajak yang besar. Banyak yang mencoba mengelabui pajak.
Ada juga yang memilih opsi penyewaan. Banyak orang melihat bahwa menyewa kereta kuda justru lebih murah dibanding memiliki kereta kuda. Mereka tak dibebankan biaya perawatan dan pajak. Mereka pun bisa tampil bak pesohor negeri dengan kereta sewaannya.
“Pada pergantian abad ke-17 dan ke-18. Batavia cukup makmur dan sebenarnya dapat menampung lebih dari 140 aneka ragam kereta kuda Eropa, tetapi hal itu tidak terjadi antara lain karena untuk memiliki kereta kuda seseorang perlu mendapatkan izin pribadi dari Gubernur Jenderal dan para pemilik kereta kuda harus membayar pajak tahunan kepada lembaga pengelola.”
“Oleh sebab itu banyak penduduk yang lebih suka menyewa kereta kuda. Pihak yang dikecualikan dari keharusan membayar pajak kereta adalah pejabat tinggi Kompeni, anggota dewan, pejabat kehakiman serta pejabat yang ditunjuk pemerintah seperti para direktur dan gubernur yang ditugaskan di luar Jawa dan di Batavia,” ujar Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).