Bagikan:

JAKARTA - Kongsi dagang Belanda, VOC menganggap penting kehadiran Dewan Gereja. Kehadiran para pemuka agama digadang-gadang sebagai penjaga moral orang Eropa di Batavia (kini: Jakarta). Kondisi itu membuat status pemuka agama jadi prestise. Bisa rangkap jabatan pula.

Masalah muncul. Kadang kala kuasa Dewan Gereja justru sering mengganggu kebijakan petinggi VOC. Kompeni pun bersiasat dengan mengontrol pemuka agama. Penguasa turun tangan menggaji pendeta dan membatasi gerak-geriknya.  

Eksistensi Batavia sebagai pusat kekuasaan Kompeni di Nusantara tak dapat diganggu gugat. Penjajah Belanda bahkan mencoba membangun pemukiman orang Eropa di Batavia. Tujuannya untuk mempertahankan aktivitas dagang dan monopoli rempah.

Mulanya Kompeni mulai kelimpungan dengan aktivitas pegawai dan pejabat VOC yang jauh dari tuhan. Kebanyakkan mereka justru melupakan standar moral sebagai bangsa Eropa. Perzinahan menjamur.

Bentuk gereja tua Belanda (De Hollandsche Kerk) di Batavia yang sudah direnovasi. (Wikimedia Commons)

Kondisi itu membuat praktek pelacuran dan pergundikan kian masif. Jan Pieterszoon Coen ambil sikap. Gubernur Jenderal VOC yang menjabat dua periode --1619-1623 dan 1627-1629— mulai bersiasat. Ia mulai bergerak bak polisi moral.

Segala macam tindakan asusila segera ditindaknya dengan tegas. Ia tak segan-segan menerapkan hukuman mati. Coen pun tak sendirian. Ia menginisiasi hadirnya Kerkenraad (Majelis/Dewan Gereja) pada 1621.

Dewan Gereja kemudian berkerja sama dengan Coen untuk menegakkan standar moral orang Eropa supaya beradab. Kesungguhan Coen memperkuat Dewan Gereja pun tiada dunia. Ia sampai memilih mendatangkan jauh-jauh guru-guru injil dan pendeta-pendeta dari Belanda.

Mereka ditugaskan untuk memberi panduan supaya pejabat Kompeni jauh dari kegiatan merusak moral. Kompeni pun ngotot mendanai seluruh kegiatan Dewan Gereja. Mulai dari penyebaran agama hingga membiayai terjemahan Alkitab.

Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, penginisiasi Kerkenraad pada 1621. (Wikimedia Commons)

Kompeni tak ingin para pemuka agamanya dipusingkan dengan kegiatan mencari pundi-pundi pendapatan. Kesempatan itu membuat posisi pemuka agama jadi prestise. Mereka juga ditempatkan dalam dewan peradilan. Tujuannya untuk menentukan mana hal yang baik dan buruk.

“Yang paling jelek ialah bahwa orang-orang yang memimpin gereja tidak bisa berdiri sendiri terhadap VOC. Secara formal, sistem presbiterial berlaku di gereja di Nusantara juga. Tetapi VOC telah menentukan bahwa pendeta-pendeta yang ada tidak boleh dipanggil oleh jemaat-jemaat, tetapi diangkat oleh pemerintah.”

“Tentu saja pemerintah itu membayar gaji mereka, tetapi bisa saja mereka dipecat, kalau mereka berbuat sesuatu yang tidak disukai oleh pemerintah. Anggota-anggota majelis hampir semua menjadi pegawai-pegawai Kompeni, sehingga bagi mereka pun sulit untuk mengambil keputusan yang melawan kehendak pemerintah,” terang Thomas van Der End dalam buku Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (2008).

Kontrol Pendeta

Fondasi yang dibangun Coen untuk Dewan Gereja nyatanya dapat melemahkan pengaruh pemuka agama. Kompeni bak menjadikan gereja sebagai alat untuk memuluskan kekuasaan, bukan sebaliknya. Upaya itu terlihat dari sikap VOC yang justru ngotot menggaji pendeta-pendeta.

Coen boleh jadi pernah menegakkan urusan moral jadi yang paling utama di Batavia. Ia bahkan menghukum anak angkatnya yang terbukti melakukan perzinahan, Sara Specx dan pasangan. Sara sendiri adalah anak pejabat tinggi Kompeni, Jaques Specx yang kebetulan pulang ke Belanda dan menitipkan anaknya kepada Coen.

Coen pun tak pandang bulu. Hukuman pun dijalankan. Dewan Peradilan memberikan hukuman kepada Sara berupa pakaian dilucuti dan dipaksa melihat pasangannya melaksanakan hukuman mati. Peristiwa itu nyatanya membekas sekali bagi Jaques.

Peristiwa anaknya dilecehkan oleh pejabat Dewan Peradilan yang notabene dari kalangan Dewan Gereja tak dapat begitu saja dimaafkan. Momentum Jaques balas dendam pun tiba. Kala itu Jaques diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC era 1629-1632. Ia mengganti Coen yang meninggal dunia karena sakit.

Gubernur Jenderal Jaques Specx. (Historisch Niewsblad)

Jaques tanpa basa-basi mulai menargetkan pejabat gereja yang mencoreng kehormatan keluarganya. Pendeta-pendeta yang kerap rangkap jabatan mulai dilucuti pengaruhnya. Mereka tak diberikan kesempatan untuk melakoni aktivitas pemerintahan.

Jaques ingin menunjukkan bahwa Gubernur Jenderal adalah satu-satunya orang yang harus ditaati oleh pemuka agama di Dewan gereja. Beda Jaques, beda lagi Johannes Camphuys. Gubernur Jenderal VOC era 1684-1691 itu juga acap kali menolak saran dari Dewan Gereja. Apalagi, urusannya mengganggu toleransi agama.

Camphuys secara terang-terangan menolak usul merobohkan kelenteng hingga masjid di Batavia. Camphuys bak menegaskan Dewan Gereja tak lebih besar dari Gubernur Jenderal.

“Sudah bisa diduga marahnya Specx terhadap para anggota dewan pengadilan (Raad van Justitie) yang memutuskan hukuman berlebihan dalam kasus anaknya. Ia paksa Dewan Gereja Batavia melarang tiga anggota Dewan pengadilan tersebut untuk mengikuti perjamuan suci di gereja. Suatu sikap yang menunjukkan dominasi pejabat tinggi VOC terhadap pejabat gereja.”

“Bisa dimengerti, karena para pendeta itu masuk dalam daftar penerima gaji VOC, sehingga dapat diartikan mereka juga pegawai VOC. Apa mau ketiga anggota Dewan pengadilan itu, juga adalah anggota Dewan Hindia. Dari peristiwa ini terlihat jelas bahwa kekuasaan Gubernur Jenderal tak tertandingi, sekalipun ada banyak perangkapan jabatan di kalangan anggota Dewan Hindia, tetapi kata akhir tetap ada di tangan Gubernur Jenderal,” ungkap sejarawan Mona Lohanda dalam buku Sejarah para Pembesar yang Mengatur Batavia (2007).