Bagikan:

JAKARTA - Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 18 April 2017, Mantan Presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri menginginkan Indonesia hadirkan Konferensi Asia-Afrika (KAA) jilid dua. Keinginan itu dilandasi karena dunia Asia dan Afrika mulai dilanda ragam konflik.

Sebelumnya, KAA jadi hajatan internasional pertama yang membuat Indonesia kesohor dunia. Indonesia yang baru merdeka nyatanya mampu mengumpul puluhan negara Asia-Afrika dalam satu waktu. Pun hajatan itu jadi bukti bahwa dunia Asia-Afrika menentang keras praktek kolonialisme modern.

Kebanggaan Indonesia dapat menyelengggarakan hajatan kelas dunia KAA di Bandung tiada dunia. Hari pembukaannya 18 April 1955 jadi hari bersejarah. Mereka yang datang ke KAA terdiri dari perwakilan 29 Negara merdeka dan hampir merdeka.

Topik yang disuarakan pun beragam. Suatu topik yang pada intinya mendukung perjuangan negara Asia-Afrika untuk berjuang melawan kolonialisme. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, katanya. Kondisi itu membuat negara Asia-Afrika memiliki tanggung jawab untuk bersatu melawan perpecahan.

Salah satu foto jepretan Paul Tedjasurja menangkap momen ketika Presiden Sukarno menengok persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. (Bandung 1955: Moments of Asian African Conference)

Persatuan itu nantinya mulai diisi dengan kegiatan kerja sama di segala bidang. Antara lain bidang politik, budaya, sosial, dan ekonomi. Hasilnya menggelegar. Ragam kesepakatan dari KAA mulai dirumuskan dalam Dasasila Bandung.

Intisari dari Dasasila Bandung adalah berjuang untuk perdamaian dunia. Selebihnya, tiap negara mulai mencoba membuka keran kerja sama antara satu dan lainnya. Kehadiran KAA membuktikan bahwa negara Asia-Afrika tak dapat dianggap remeh dalam peta dunia.

Kebersamaan negara itu justru jadi kekuatan poros baru. Suatu kekuatan yang menginginkan tiada lagi penjajahan di era modern. Negara-negara yang masih belum merdeka akan dibantu. Mereka terus bersatu padu hingga kolonialisme dapat dihancurkan.

"Kalau barongsai dari China bekerja sama dengan lembu Nandi dari India, dengan Spinx dari Mesir dengan burung merak dari Burma, dengan gajah putih dari Siam, dengan ular hidra dari Vietnam, dengan harimau dari Filipina dan dengan banteng dari Indonesia, maka pasti hancur kolonialisme internasionalisme," pekik Soekarno sebagaimana dikutip Roeslan Abdulgani dalam buku The Bandung Connection (1981).

Potret pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika pada 1955 di Bandung. (Wikimedia Commons)

Semangat KAA terus bergaung di era modern. Peringatan KAA pada 18 April terus digulirkan. Namun, tak semua orang menganggap KAA masih memiliki kekuatan besar. Peringatan KAA dianggap hanya memiliki nilai seremonial belaka.

Narasi itu diungkap oleh Megawati Soekarnoputri dalam acara 62 Tahun Konferensi Asia Afrika di Istana Negara pada 18 April 2017. Mantan Presiden Indonesia itu menginginkan pemerintah Indonesia tak melulu menggelar peringatan, tapi ikut membuat KAA jilid dua.

Urgensi KAA jilid dua sudah tinggi. Megawati menganggap negara-negara yang dulu jadi peserta KAA banyak yang terlibat konflik. Karenanya, kehadiran KAA Jilid dua dapat menjadi wadah mempersatukan keinginan Asia-Afrika sebagai satu kekuatan besar di dunia.

"Saya berhadap suatu saat Bapak Presiden bertemu kembali bukan untuk perayaan seremonial KAA. Sudah saatnya serius Konferensi Asia Afrika yang disebut kedua. Betapa teririsnya saya melihat saat ini terjadi perpecahan dan konflik di Timur Tengah.”

“Bagaimana Irak, Suriah dan Yaman. Di Afrika, Tunisia, Sudan, Nigeria, dan Somalia. Jangan menjadi kaum yang memunggungi sejarah, bahkan meninggalkan sejarah persaudaraan dan perdamaian pendiri bangsa," kata Megawati sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 18 April 2017.