Bagikan:

JAKARTA - Tanah Abang adalah salah satu kawasan bersejarah di Jakarta. Selain pasarnya, kawasan ini juga dikenal dengan tanah kuburan sejak Masa pemerintahan Kolonial Belanda. Warga Belanda menyebut tanah makam khusus orang Belanda (Kristen) itu dengan sebutan Kerkhoflaan. Sederet pesohor di Batavia banyak dikebumikan di Kerkhoflaan. Dari sanalah istilah “Terug naar Tanah Abang” jadi populer. Artinya yakni: kembali ke Tanah Abang, masuk liang kubur.

Kehadiran Kerkhoflaan di Tanah Abang tak lepas dari tingginya angka kematian di Batavia pada akhir abad ke-18. Lingkungan tidak sehat menjadi penyebab. Tak main-main, tingkat kematian orang Eropa kala itu sampai mencapai 25 persen. Saking parahnya, tak mengherankan jika seseorang yang terlihat baik-baik saja pada hari kemarin, esoknya bisa meninggal. Alhasil, ketersediaan kuburan di sekitar Oud Batavia (Kota Tua) menjadi terbatas.

Kompeni bergerak cepat. Dengan segala kesigapannya, Kompeni berencana membuat taman makam untuk orang Belanda (Kristen) yang baru. Akan tetapi, Kompeni sengaja tak memilih lokasi di Oud Batavia. Ketakutan itu karena mereka yang berziarah memiliki potensi terserang wabah penyakit kudis, malaria, kolera, dan disentri. Singkat cerita, terpilih kawasan tanah Abang di pinggir Batavia sebagai lokasi baru.

Dikutip Nirwono Yoga dan Yori Antar dalam buku Komedi lenong: satire ruang terbuka hijau (2007), pemakaman yang beralamat di Jalan Tanah Abang I dibangun oleh kompeni pada tahun 1795. Orang yang berjasa dalam mencari lahan makam baru adalah W.V Halventius, seorang putra dari mantan Gubernur Jenderal VOC, Jeremias van Rimsdijk (1775-1777). Halventius kemudian menghibahkan tanahnya di Tanah Abang seluas 5.5 hektar kepada pemerintah Kota Batavia. Lantas, era taman pemakaman umum yang juga dikenal dengan nama pemakaman Kebon Jahe Kober pun dimulai.

Makam di Museum Prasasti (Sumber: Commons Wikimedia)

“Lokasi makam jauh dari tembok Batavia, tetapi letaknya cukup strategis, yakni dekat Kali Krukut. Pada 1798, VOC melarang pemakaman di dalam dan di luar gereja di kota dan di sekitar Gereja Portugis di luar Kota. Mulai 1799, warga Batavia dapat membeli atau menyewa makam di Kerkhoflaan, Pemakaman resmi pertama adalah pemakaman seorang bayi berunur tujuh bulan bernama Karel Pieter Mettenbrink,” tulisnya.

Kala itu, Kerkhoflaan dibatasi oleh tembok disekelilingnya. Kerkhoflaan Tanah Abang semakin menarik saat empunya kuasa mulai membangun beberapa bangunan. Beberapa di antaranya penambahan bangunan ialah bangunan induk berupa balairung bergaya Doria dengan 18 pilar kokoh baru dibangun pada 1844. Pada bagian belakang, terdapat dua ruangan persemayaman jenazar berdasarkan jenis kelamin, laki-laki di sebelah kiri dan perempuan di sebelah kanan.

Keberadaan makam ini menjadi populer di antara mereka yang berkunjung ke Batavia pada awal abad 20. Serdadu Belanda, H.C.C Clockener Brousson adalah salah satunya. Dari awal kedatangannya ke Batavia, anak Amsterdam tersebut banyak menghabiskan waktu untuk mengelilingi tempat-tempat menarik di Batavia. Uniknya, Kerkhoflaan menjadi lokasi yang sempat dilaluinya di Batavia.

“Penerangan cukup baik disambungan Jalan Rijswijkstraat sampai di Tanah Abang. Jalan agak gelap oleh rimbunan pohon dan bercabang ke kanan yang disebut kerkhoflaan, tempat pemakaman orang Eropa serta lapangan garnisun di belakangnya,” ungkap Clockener dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2004).

Pindahan makam dari gereja Belanda

Seiring perkembangannya, Kerkhoflaan mulai kesohor menjadi pemakaman umum setelah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811) memerintahkan pemimdahan pusat kekuasaan dari Oud Batavia ke Nieuw Batavia (kawasan Lapangan banteng) pada 1808. Pemindahan itulah membuat semua bangunan di Oud Batavia, termasuk Hollandsche Kerk (Gereja belanda) –yang kini lokasinya diganti Museum wayang—turut dihancurkan.

Akhirnya, tanah Hollandsche Kerk dijual pada 1829. Karena itu, Sebagian nisan dari keluarga terkemuka dijual. Ada pula sisanya kemudian dipindahkan ke Kerkhoflaan. Beberapa dipasang pada tembok luar maupun dalam Kerkhoflaan lengkap dengan kode HK (Hollandsche Kerk) atau Gereja Belanda.

“Makam-makam dipindahkan beserta dengan prasasti dan batu nisannya. Pada 1844 batu-batu nisan tersebut dipasang di dinding depan Nieuw Kerkhof sebanyak 34 buah. Salah satu dari prasasti dan batu nisan itu adalah batu nisan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743–1750). Batu nisan van Imhoff ini banyak dibicarakan pakar sejarah karena banyak mengandung pesan-pesan non-verbal yang sangat kompleks,” ujar Abdul Chaer dalam buku Tenabang Tempo Doeloe (2017).

Dijadikan Museum Taman Prasasti

Museum Taman Prasasti (Sumber: Commons Wikimedia)

Selepas kemerdekaan Indonesia, tetapnya pada tahun 1975 Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk menutup pemakaman Kebon Jahe Kober untuk pembangunan gedung perkantoran, inventarisasi, dan sosialisasi. Saat itu pula, 4,7 hektar lahan kuburan digusur oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk kemudian dijadikan gedung kantor Wali Kota Jakarta Pusat.

Sisanya kuburan yang tinggal 1,2 hektar kemudian di tata ulang penempatan makamnya. Juga di pugar. Puncaknya, Gubernur Ali Sadikin menjadikan Kerkhoflaan sebagai Museum Taman Prasasti pada juli 1977. Alwi Shahab dalam buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), mencatat museum tersebut sungguh kaya akan koleksi benda bersejarah.

Tercatat, Museum Taman Prasasti memiliki koleksi benda bersejarah sebanyak 1.409. Benda bersejarah itu terdiri dari jenis prasasti bentuk nisan, tugu, monumen, piala, lempeng batu persegi replika, miniature, dan berbagai bentuk lainnya.

“Di taman prasasti terbuka ini, kita akan mendapati beberapa nama dan tokoh yang pernah dimakamkan di sini. Kita seolah dapat merasakan apa yang pernah terjadi ratusan tahun yang lalu itu. Ada tokoh pendidikan, seniman, ilmuwan, rohanian, dan mereka yang dianggap tokoh pejuang masa itu,” cerita salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab.

Untuk mengurangi rasa kehilangan warga Jakarta terhadap Kerkhoflaan yang digusur, Gubernur Ali Sadikin merasa menjadikan sisa lahan makam sebagai museum adalah langkah yang tepat. Sebagai bentuk kehilangan, Ali menuliskan kalimat manis pada peresmian Museum Taman Prasasti:

“Di Taman ini terlukis peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Disini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan. Taman Prasasti Kebon Jahe.”