Meja Pengaduan Segala Urusan di Balai Kota Batavia pada Masa VOC
Gedung Balai Kota Batavia pada masa VOC, yang kini digunakan sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah di kawan Kota Tua. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kuasa maskapai dagang Belanda VOC di Batavia penuh dinamika. Mereka membangun Batavia menyerupai kota di Belanda. Bahkan, coraknya hampir sama. Pembangunan Balai Kota VOC yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta, misalnya.

Balai kota dibuat menyerupai Istana Dam di Amsterdam. Bangunan yang megah dan ikonik itu jadi pusat segala urusan dan pengaduan. Rakyat Batavia pun dapat berjumpa dengan pejabat di meja pengaduan. Karenanya, Balai Kota VOC kerap dijuluki Gedung Bicara.

Ambisi VOC merebut Jayakarta tiada dua. Kota itu telah diincar sejak lama. Lokasi yang strategis jadi keunggulannya. Kompeni pun mencoba memainkan siasat merangkul. Ragam kerja sama dilakukan. Penguasa setempat, Pangeran Jayakarta kepincut dengan keuntungan bejibun dengan kehadiran Belanda. Siasat pun dimainkan ketika Pangeran Jayakarta mulai terlena.

Mereka mencoba mengumandangkan perlawanan. Pangeran Jayakarta tak gentar. Kehadiran Inggris di pihaknya dianggap cukup membantu. Belanda tak menyerah. Opsi kekurangan pasukan membuat pemimpin VOC bertolak ke Maluku untuk membawa armada perang tambahan. Jayakarta pun jatuh di tangan VOC pada 1619. Mereka pun mengubah Jayakarta menjadi Batavia.

Balai Kota Batavia pada masa VOC yang sering disebut sebagai Gedung Bicara. (Wikimedia Commons)

Empunya kuasa ingin membangun Batavia serupa kota di Belanda, Amsterdam. Penuh kanal dengan barisan rumah indah. Pusat kekuasaan pun dibuat: Kasteel Batavia dan Balai Kota VOC. Bangunan balai kota pertama terletak dekat Kali Besar. VOC membangunnya pada 1620. Namun, kehadiran balai kota itu tak maksimal.

Balai kota pun dibongkar karena terjadi serangan dari Kerajaan Mataram. Sebagai gantinya, balai kota kedua di dekat Kali Besar dibangun. Namun, bangunan itu tak kokoh. Akhirnya, Balai Kota VOC ketiga dibangun di lokasi yang sama (lokasi yang kini jadi Museum Sejarah Jakarta). Bangunannya dirancang menyerupai Istana Dam di Amsterdam.

“Gedung balai kota ketiga bercorak sederhana dengan proporsinya yang selaras dengan gaya neo-klasik. Rancang bangunan dikerjakan oleh kepala tukang di galangan kapal W.J. van de Velde. Gedung dibangun dalam waktu lima tahun (1707-1712) oleh kontraktor J. Kemmer dari Brandenburg (Jerman). Ia anemer dan pemilik enam rumah, 13 kavling dan 26 budak belian. Ia memenangkan tender karena berpengalaman dan harga agak murah.”

“Batu alam untuk ambang pintu diimpor dari China dan Koromandel, besi dari Jepang, kaca jendela dari Prancis dan paku serta bahan besi dari Belanda. Biaya ditutup oleh pajak baru. untuk wayang potehi, sabung ayam, rumah, serta pekarangan (vaste goederen) dalam kota dan setiap gilingan tebu di ommelanden. Pendapatan uang banyak, sehingga memadai untuk membangun kedua sayap yang lebih rendah,” terang Sejarawan Adolf Heuken dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).

Gedung Bicara

Kehadiran balai kota memiliki arti penting bagi tumbuh kembang VOC. Bangunan itu jadi pusat administrasi di Batavia. Kadang pula digunakan juga untuk segala urusan. Balai kota kadang kala menjelma sebagai pusat pemerintahan, pengadilan, catatan sipil, penjara, dan bahkan gereja di hari libur.

Inti paling penting dari kehadiran balai kota tak lain sebagai pusat perjumpaan. Suatu perjumpaan antara masyarakat Batavia (orang Eropa, bumiputra, China, hingga orang Arab) yang memiliki urusan dengan pejabat setempat. Mereka masuk ke balai kota dan segera merapatkan diri ke meja pengaduan.

Meja pengaduan biasanya ditempatkan pada ruangan khusus. Masyarakat Batavia dapat melanggengkan apa saja, termasuk meminta izin membangun hingga urusan pajak. Fungsi itu buat balai kota dijuluki oleh warga setempat sebagai Gedung Bicara. Sebuah bangunan di mana rakyat dapat berbicara langsung dengan pejabat.

Perihal julukan Gedung Bicara terus kesohor seiring majunya kota Batavia. Apalagi, pembukaan lahan yang masif dilakukan. Intensitas rakyat Batavia berkunjung ke Gedung Bicara semakin meningkat. Namun, kesempatan mendengar keluhan rakyat acap kali dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri oleh pegawai VOC.

Bekas Balai Kota Batavia pada masa VOC kini digunakan sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua. (Antara/Hendri Sukma Indrawan)

Mereka kerap melanggengkan pungutan liar. Sebagai pelicin urusan, pikirnya. Korupsi itu langgeng turun-temurun. Kebanyakkan yang berurusan di Gedung Bicara ogah pusing. Mereka  memberikan saja uang pelicin supaya urusan lancar. Gaung itu bahkan masih terasa hingga awal abad 20. Serdadu Belanda asal Amsterdam H.C.C. Clockener Brousson mengamininya.

“Ke Gedung Bicara, begitu perintah Abdullah dan setelah beberapa cambukan, kuda-kuda itu pun berjalan. 15 menit kemudian, kami pun tiba Stadhuisplein dan di sanalah terdapat Gedung Bicara, begitu para penduduk Batavia menamakannya. Dinamakan rumah bicara karena di tempat itu bumiputra dan Vreemde Oosterlingen dapat berbicara dengan para pejabat. Bangunan itu bergaya Belanda. Di dinding depan bangunan , di pojok sebelah kanan tertulis awal pembangunan, yaitu pada 25 Januari 1707 dan dilanjutkan pada tahun 1710.”

”Nama Stadhuis berasal pada saat Batavia diperintah oleh College van Schepenen (Pengurus Pemerintah Kota) di masa Belanda lama. Sekarang menjadi kantor Binnenlandsch Bestuur (Pemerintah Dalam Negeri Kota) dan kantor polisi. Bangunan itu merupakan bangunan besar bercat putih dengan dua tingkat dan memiliki jendela besar dengan penutup bercat hijau. Tapi bukan itu yang menimbulkan kesan indah. Tepat di depan gedung ada panggung tempat pelaksanaan hukuman mati dan kadang-kadang dibuka bagi para pembunuh yang melakukan kejahatannya,” cerita H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2017).