Resensi Buku <i>Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta</i>–Ajakan Mengenal Sejarah Sebuah Kota
Buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Selain berhasil membawa rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, Presiden Soekarno juga telah berhasil mengubah imej Jakarta. Atas insting seninya, Jakarta yang awalnya dikenal sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda, kemudian menjelma jadi sebuah kota yang berciri khas dengan dibangunnya Monumen nasional (Monas) sebagai lambang dari mercusuar perjuangan bangsa.

Berkat jerih payah Soekarno, geliat ketenaran dan megahnya Monas hingga kini mampu mengundang orang-orang dari pelosok negeri untuk berkunjung. Alhasil, tiap kali orang-orang berbicara terkait Jakarta, maka nama Monas selalu terbawa-bawa. Padahal, jikalau melirik sejarah, Jakarta tak melulu tentang Monas dan mimpi-mimpi Bung Karno.

Bagaimana tidak, Jakarta sudah sedari dulu jadi salah satu pusat perdagangan penting di Asia. Atas dasar itu, banyak hal-hal menarik yang dapat ditelusuri dari Jakarta selain Monas. Sebagai bukti, seorang pastor asal Jerman yang lama tinggal di Indonesia, Adolf Heuken pun telah menulis sebuah buku berjudul Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta.

Dalam buku tersebut, Adolf ingin menegaskan kepada khalayak jikalau Jakarta itu sangat kaya akan bangunan dan peristiwa bersejarah, baik yang muncul dari era penjajahan Portugis, Belanda, maupun Jepang. Untuk itu, empunya tulisan secara lihai membuat siapa saja yang membaca karyanya, niscaya akan bernostalgia kembali ke dalam masa jaya sebuah kota yang pernah mendapat julukan sebagai Koningen van het Oosten (Ratu dari Timur).

Plesiran ke tempat bersejarah

Salah satu bentuk nostalgia terletak pada muatan sejarah panjang perubahan nama Jakarta. Hal itu sengaja dilampirkan olehnya agar pembaca dapat mengenal lebih jauh Jakarta, khususnya saat Ibu Kota masih bernama Batavia.

Nama Batavia disinyalir baru muncul setelah pasukan VOC berhasil menaklukkan Jayakarta pada 1619. “Mereka menamai benteng mereka Batavia, sebagai kenangan akan suku-bangsa Batavier, nenek moyang bangsa Belanda. Sejak saat itu, Jayakarta disebut Batavia selama tiga ratus tahun lebih,” tulis Adolf di halaman 31.

Setelah rangkuman sejarah Batavia, pembaca diajak berjalan-jalan menikmati ragam tempat bersejarah. Ambil contoh saat pembahasan ditekankan pada kawasan Oud Batavia --Kota Tua— yang jikalau melirik sejarah, di sanalah pusat pemerintahan VOC hadir kali pertama.

Lantas, itulah yang membuat kawasan Oud Batavia memiliki ragam tempat bersejarah, yang bahkan sampai hari ini masih dapat dikunjungi. Beberapa di antaranya, ada nama Menara Syahbandar, Gudang Rempah VOC --kini Museum Bahari, Toko Merah, Gelanggang Kapal VOC, serta Stadhuis (Balai Kota) yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta.

Penjelasan paling menarik hadir saat menjelaskan bangunan yang kini difungsikan sebagai Museum Sejarah Jakarta. Adolf menjelaskan, tempat ini dulunya pernah mendapat julukan sebagai Gedung Bicara oleh segenap warga yang hidup dalam Kota Benteng Batavia.

Museum Sejarah Jakarta (Wikimedia Commons)

Julukan itu hadir karena di sanalah tempat seseorang warga kota dapat berbicara kepada empunya kekuasaan. Obrolan bisa macam-macam, mulai dari urusan pajak maupun untuk urusan lainnya.

“Balai Kota dimanfaatkan untuk banyak keperluan selama sejarah yang panjang itu. Untuk itu, banyak pembicaraan penting dilakukan dalam ruang-ruang balai ini, maka disebut orang Gedung Bicara atau Bichalo dalam ucapan orang Hokien,” tertulis di halaman 63.

Sayangnya, pusat pemerintahan kala itu sempat berpindah karena penyakit tropis, seperti malaria, kolera, maupun disentri yang mulai menyerang seisi kota. Atas dasar itu, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels (1808–1811), dirinya pun kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Nieuw Batavia Weltevreden –-kawasan sekitar Lapangan Banteng— supaya warganya terbebas dari penyakit tropis.

Bersamaan dengan itu, Adolf mengajak pembaca menikmati Nieuw Batavia, mulai dari Lapangan Banteng, Gedung Kesenian, Gedung Pancasila, istana-istana kepresidenan, hingga Museum Nasional. Semuanya dijelaskan lengkap dengan sejarah sembari memberi gambaran kepada pembaca berbentuk ilustrasi yang memikat di tiap halamannya.

Bahkan, peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi tak lupa dituliskan oleh Adolf. Antara lain, seperti penyerangan Mataram ke Batavia, geger pacinan pada 1740, hingga eksekusi mati Pieter Erberveld. Selebihnya, Adolf melampirkan banyak informasi terkait rumah ibadah, baik itu masjid, klenteng maupun gereja yang sudah hadir sejak masa kolonial.

Sebuah harapan

Uniknya, sembari menulis, Adolf juga menyelipkan harapan dalam bukunya ini. Harapan tersebut tak lain agar banyak orang yang terbantu oleh informasi yang diberikan sehingga dapat mengenal Jakarta dengan lebih baik, supaya dapat memahami, mencintai, dan ikut memelihara ibu kota negara Indonesia.

“Suatu kota yang warganya tidak mengenal dan menghargai sejarahnya, maksudnya genius loci-nya, dihuni oleh suatu masa mengambang. Dalam iklim seperti ini semangat solidaritas antarawarga untuk menjaga ketertiban, kebersihan, keamanan, lingkungan dan miliki bersama sukar tumbuh,” tertulis.

Untuk itu, sejarah faktual suatu kota atau negara dapat berperan sebagai pembina identitas. Seperti yang pernah diungkap Sejarawan Indonesia Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo:

"Sejarah nasional berfungsi sebagai simbol identitas nasional, sehingga berbicara tentang identitas bangsa tanpa mengacu kepada sejarah nasional adalah omong kosong."

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo

Detail:

Judul Buku: Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta

Penulis: Adolf Heuken SJ

Terbit Pertama Kali: 1982

Penerbit: Cipta Loka Caraka

Jumlah Halaman: 460