Bagikan:

JAKARTA - Laju pekembangan Melayu Betawi sebagai sebuah etnis cukup menarik untuk disimak. Usut punya usut, etnis yang dikenal luas berkat pembentukan Perkumpulan Kaum Betawi (Jong Betawi) oleh Tabri Thamrin –Ayah Tokoh Bangsa MH Thamrin—pada 1923, disinyalir telah ada jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia.

Bahkan diyakini etnis keturuan langsung dari etnis Melayu Betawi masih ada di Kampung Warakas. Di mana perancang-pendiri Kerajaan Salakanegara itu tinggal di kawasan Condet dan telah berdiri sejak tahun 130 Masehi.

Karena itu bila terdapat perbedaan pandangan, yang menyebutkan etnis Betawi sebagai kuturunan budak yang dibawa oleh kongsi dagang Belanda dari pelosok negeri. Maka siap-siap saja akan banyak di antara warga Betawi langsung naik pitam.

Sebagai contoh ketika seseorang Peneliti berkebangsaan Australia, Lance Castles mengemuka pandangan tersebut lewat tulisannya berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” yang dimuat pada jurnal Indonesia terbitan Cornell University (1967).

Pada awalnya, tulisan tersebut tak begitu dipermasalahkan. Namun, ketika banyak tokoh sejarah, antropolog dari Universitas Indonesia, dan beserta mahasiswa didiknya mengutip tulisan Castles dalam setiap bahasan etnis Betawi. Bisa jadi masyarakat Betawi akan langsung memberikan reaksi keras.

Salah satu yang pernah melakukan protes ialah Tokoh Betawi, Ridwan Saidi. Dirinya tak hanya melakukan protes belaka. Terlebih, Ridwan Saidi langsung membalas tuduhan tersebut dengan membuat buku berjudul Babad Tanah Betawi (2002), sebagai sanggahan atas tulisan yang dibuat Castles.

Tak pelak, protes kemudian bermunculan dari orang Betawi lainnya yang mengatakan tak setuju. Padahal, seperti yang dikatakan Sejarawan JJ Rizal, sedikit sekali di antara orang Betawi itu yang pernah membaca studi akademis dari Castles yang diributkan.

Oleh karenanya, JJ Rizal yang juga empunya penerbitan buku Masup Jakarta, lalu izin kepada Castles untuk membukukan karyanya. Supaya khalayak luas khususnya orang Betawi dapat mengetahui sejauh mana analisa yang dilakukan Castles. Alhasil, munculkan buku berjudul Profil Etnik Jakarta (2007). Yang mana lewat karya inilah mereka yang tadinya geram dapat mengetahui duduk perkara yang dikumandangkan oleh Castles.

Profil Etnik Jakarta

Di dalam buku tersebut, persoalan asal-usul Betawi yang dikemukakan oleh Castles hanya salah satu bagian dari studinya saja. Disitu, Castles menengarai bahwa unsur utama yang membentuk orang Betawi ialah budak, dengan metode berdasarkan sejumlah data demografis dari 1673-1945 di Batavia (Jakarta).

Lantas, Castle tak menduga jikalau penelelitiannya dapat menggusarkan orang Betawi. Sebab, dalam kesimpulannya Castel nyatanya mengagungkan etnis Betawi dan Jakarta. bahkan, lewat data-data yang disajikan Lance tak lupa memberikan kritik kepada etnis Betawi. Oleh sebab itu, kami bantu merincikannya. 

Pertama, penulis membanggakan Jakarta. Membaca dari lembar pertama tulisan Castles, pembaca akan mendapatkan fakta bahwa Jakarta begitu diagung-agungkan oleh penulis. Castles menyatakan kesimpulannya jikalau dari ribuan pulau yang ada di tanah air,  tanah air orang Betawi lah yang dipilih sebagai tempat “Tuhan membuat orang Indonesia.”

“Meski demikian, secara paradoks Jakarta juga merupakan satu-satunya kota yang paling Indonesia. Zangwill di Israel merupakan metafora paling tepat bagi Jakarta karena Jakarta adalah sebuah melting pot (panci pelebur), dimana orang Sunda, Jawa, Tionghoa, dan Batak melebur jadi satu,” tertulis di halaman 2.

Kedua, demografi data-data yang menarik. Castles tak hanya berfokus membahas asal-usul orang Betawi. Melainkan dirinya banyak membahas karakteristik penduduk-penduduk Jakarta pada tahun lampau hingga 1960 yang multi-etnik. Pendekataan tersebut terbilang sering dilakukan oleh buku-buku sejarah lain yang berbicara terkait Jakarta.

Disini, Castles mengulasnya secara panjang lebar, mulai dari kebijakan sang penakluk Jayakarta Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang mendorong migrasi besar-besaran orang Tionghoa, dan orang Banda yang baru saja ditaklukkannya untuk menetap di Batavia (Jakarta). Selebihnya, tentara-tentara bayaran dari Jepang juga merupakan unsur penting penduduk Batavia sampai 1636.

Tak hanya itu, kongsi dagang Belanda VOC juga mendatangkan penduduk bebas lainnya dari ragam daerah lain. Ada orang Moor (muslim dari India Selatan), Melayu, Bali, Bugis, dan Ambon. “Meski demikian, jumlah penduudk bebas di Batavia lama secara umum jumlahnya kalah besar jika dibandingkan dengan para budak,” hadir di halaman 7.

Ketiga, karya ilmiah yang mudah dimengerti. Sekalipun tulisan Castles terlihat kaku karena berangkat dari karya ilmiah yang memainkan paparan data, tetap saja tulisannya ini mudah dimengerti. Dirinya menampilkan tabel-tabel yang berisi sensus penduduk, kemudian memberikan penjelasan setelahnya. Tak heran, tulisannya ini menjadi karya yang dapat dimengerti dalam sekali membaca.

Keempat, kritikan Castles kepada etnis Betawi. Tak hanya memainkan paparan data belaka. Pada bagian akhir, Lance menyayangkan perihal etnis Betawi yang cenderung terlupakan dalam proses sejarah bangsa. Padahal, ragam peristiwa bersejarah termasuk berdirinya Indonesia lewat proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dilakonkan di Jakarta.

Ironinya, orang Betawi sendiri, kurang terwakili di kalangan elite, baik di lokal maupun nasional. Pun melihat realita kekinian etnis Betawi seakan asing di tanah sendiri karena telah berdiaspora kemana-mana.

“Perlu dicatat, bahwa orang Sunda dan orang Betawi kurang terwakili di kalangan elite tidak hanya dalam hubungannya dengan populasi Jakarta, tetapi juga dengan populasi Indonesia secara keseluruhan,” ujar Castles di Halaman 81.

Detail

Judul Buku: Profil Etnik Jakarta

Penulis: Lance Castles

Terbit Pertama Kali: 1967 (Versi Indonesia: 2007)

Penerbit: Masup Jakarta

Jumlah Halaman: 108