Bagikan:

JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan setara.

Peneliti Perludem Haykal mengatakan, penghapusan presidential threshold merupakan tonggak baru dalam demokrasi Indonesia lantaran dengan putusan tersebut, setiap partai politik memiliki hak setara untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

"Langkah ini diharapkan tidak hanya memperkuat prinsip kesetaraan, tetapi juga membuka ruang kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif, menghindarkan masyarakat dari polarisasi, serta memperluas alternatif pilihan bagi rakyat Indonesia," ucap Haykal seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis 2 Januari, disitat Antara

Namun, kata dia, tantangan implementasi tetap harus diantisipasi dengan baik.

Menurutnya, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan seluruh pemangku kepentingan harus memastikan bahwa perubahan aturan itu dapat diintegrasikan ke dalam sistem pemilu yang diakomodasi melalui revisi Undang-Indang (UU) Pemilu yang saat ini telah masuk ke Program Legislasi Nasional (prolegnas).

Dengan revisi UU Pemilu yang telah masuk dalam Prolegnas 2025, ia berharap DPR dan Pemerintah menjadikan putusan MK tersebut sebagai dasar dalam merancang aturan pemilu yang baru.

"Perludem percaya bahwa keputusan ini membuka jalan bagi terciptanya demokrasi yang lebih sehat, kompetitif, dan inklusif di Indonesia," tuturnya.

Untuk itu, sambung dia, Perludem mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung implementasi putusan tersebut serta mendorong Pemerintah dan partai politik untuk berkomitmen menciptakan sistem politik yang menjunjung tinggi hak memilih dan dipilih sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Dengan demikian, dirinya menegaskan bahwa putusan tersebut bukan hanya sebuah akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang menuju demokrasi yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

MK melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Artinya putusan tersebut secara resmi menghapus ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi DPR untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Putusan itu menandai langkah bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia, memberikan peluang lebih besar bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden tanpa batasan ambang suara yang selama ini dinilai problematik.

Ketentuan presidential threshold telah diuji materi ke MK lebih dari 30 kali dalam kurun waktu satu dekade terakhir, namun selalu ditolak meski disertai perbedaan pandangan di antara hakim MK.

Dalam berbagai putusan sebelumnya, mayoritas hakim cenderung mendukung keberlanjutan aturan ini sebagai open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk UU.

Tetapi hari ini, terjadi pergeseran posisi pandangan hakim yang mempertimbangkan situasi demokrasi terkini.

MK kini menilai bahwa mempertahankan ambang batas pencalonan presiden tidak konstitusional karena bertentangan dengan hak politik warga negara.