JAKARTA - Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengungkap modus korupsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta berupa kegiatan fiktif menggunakan stempel palsu.
Dalam kasus ini, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Iwan Henry Wardhana (IHW), Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud DKI Mohamad Fairza Maulana (MFM), dan pihak swasta selaku pemilik EO bernama Gatot Arif Rahmadi (GAR).
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Patris Yusrian Jaya menguraikan, dalam menjalankan aksi ini, Iwan dan Fairza bekerja sama dengan Gatot sebagai EO kegiatan-kegiatan Disbud DKI. EO bernama GR-Pro yang didirikan Gatot pun fiktif dan tidak terdaftar secara resmi.
"Kemudian EO ini membuat beberapa perusahaan, membuat vendor-vendor yang selanjutnya kegiatan-kegiatan di pemprov itu, seolah-olah dilaksanakan oleh EO ini, dan bekerja sama dengan vendor-vendor di bawahnya," ungkap Patris, Kamis, 2 Januari.
Kegiatan yang dikerjasamakan dengan GR-Pro dilancarkan dengan dua variasi, yakni kegiatan yang sepenuhnya fiktif, lalu kegiatan yang sebagian dilaksanakan dan sebagian lagi difiktifkan.
Dalam menjalankan kegiatan yang bersumber dari APBD perangkat daerah seperti Disbud harus membuat pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Untuk menutupi celah itu, Iwan dan Fairza membuat surat pertanggungjawaban atau SPJ dengan menggunakan stempel-stempel palsu dan meminjam beberapa perusahaan-perusahaan dengan imbalan 2,5 persen. Perusahaan itu pun tak melaksanakan kegiatan seperti yang dibuat di SPJ Dinas Kebudayaan.
"Salah satu kegiatannya itu pagelaran seni dengan anggaran Rp15 miliar. Modus manipulasi di antaranya mendatangkan beberapa pihak kemudian diberi seragam sebagai penari," jelas Patris.
"Selanjutnya foto-foto di panggung dan diberi judul seolah-olah foto ini setelah melaksanakan kegiatan tarian tertentu, Tapi tariannya tidak pernah ada. Dan ini kemudian dibuat pertanggungjawaban. Itu juga sudah dilengkapi dengan stempel-stempel palsu dari pengelola," tambahnya.
Saat ini, Gatot selaku pemilik EO fiktif telah ditahan di Rutan Cipinang selama 20 hari, usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Kemudian, Kejati DKI menjadwalkan pemanggilan kepada Iwan dan Fairza selaku pemeriksaan tersangka pada pekan depan.
Penindakan korupsi ini dimulai saat Kejati DKI menggeledah kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta pada Rabu, 18 Desember 2024.
Dasar penggeledan tersebut yakni dugaan penyimpangan dana kegiatan yang bersumber dari Anggaran Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta tahun anggaran 2023 dengan nilai kegiatan kurang lebih sebesar Rp150 miliar. Nilai kegiatan yang dikorupsi masih akan berkembang seiring penyelidikan.
Yang jelas para pihak ini memang sudah mengaku bahwa mereka yang menyiapkan stempel stempel palsu tersebut dan telah mereka gunakan, bahkan sebagian sudah berhasil dimusnahkan sebelum pengeledahan.
Untung waktu pengeledahan belum semuanya, tapi pemusnahan stempel, pemusnahan dokumen, serta langkah-langkah lain berhasil kami dapatkan rinciannya waktu pengeledahan tersebut.
BACA JUGA:
Kejati DKI menyita uang Rp1 miliar dari penggeledahan itu. Disita juga ratusan stampel palsu yang digunakan untuk membuat kesan adanya penyelenggaran suatu kegiatan. Sebagian stempel palsu sebelumnya telah dimusnahkan oleh tersangka.
Tindakan Iwan, Fairza, dan Gatot melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI No 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kemudian, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pedoman Swakelola.
Adapun pasal yang disangkakan untuk para tersangka adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.