JAKARTA - Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Patris Yusrian Jaya mengungkap pengembangan penyelidikan kasus korupsi kegiatan fiktif Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Korupsi ini melibatkan pihak swasta selaku event organizer (EO) fiktif dan tak terdaftar secara resmi bernama GR-Pro.
Demi melancarkan aksinya, Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Henry Wardhana (IHW) sampai menyediakan ruang kerja khusus untuk GR-Pro. Mereka telah beroperasi selama dua tahun.
"EO ini dibuatkan ruangan di Dinas Kebudayaan, serta mempunyai beberapa orang staf yang juga ikut berkantor di situ," kata Patris di Kantor Kejati DKI Jakarta, Kamis, 2 Januari.
Dalam pemeriksaan awal, Kejati memprediksi nilai kegiatan Dinas Kebudayaan DKI yang dikorupsi sebesar Rp150 miliar. Patris menyebut ada kemungkinan nilai tersebut bisa lebih besar seiring pengembangan penyelidikan.
"Dalam perkembangannya tentunya akan kita kembangkan kegiatan-kegiatan lain. Termasuk kegiatan di 2024, belum termasuk yang Rp150 miliar yang kita proses ini. Jadi masih terus dikembangkan," ungkap Patris.
BACA JUGA:
Dalam kasus ini, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Iwan Henry Wardhana (IHW), Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud DKI Mohamad Fairza Maulana (MFM), dan pihak swasta selaku pemilik EO bernama Gatot Arif Rahmadi (GAR).
Saat ini, Gatot selaku pemilik EO fiktif telah ditahan di Rutan Cipinang selama 20 hari, usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Kemudian, Kejati DKI menjadwalkan pemanggilan kepada Iwan dan Fairza selaku pemeriksaan tersangka pada pekan depan.
Kegiatan yang dikerjasamakan dengan GR-Pro dilancarkan dengan dua variasi, yakni kegiatan yang sepenuhnya fiktif, lalu kegiatan yang sebagian dilaksanakan dan sebagian lagi difiktifkan.
Dalam menjalankan kegiatan yang bersumber dari APBD perangkat daerah seperti Disbud harus membuat pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Untuk menutupi celah itu, Iwan dan Fairza membuat surat pertanggungjawaban atau SPJ dengan menggunakan stempel-stempel palsu dan meminjam beberapa perusahaan-perusahaan dengan imbalan 2,5 persen. Perusahaan itu pun tak melaksanakan kegiatan seperti yang dibuat di SPJ Dinas Kebudayaan.
"Salah satu kegiatannya itu pagelaran seni dengan anggaran Rp15 miliar. Modus manipulasi di antaranya mendatangkan beberapa pihak kemudian diberi seragam sebagai penari," jelas Patris.
"Selanjutnya foto-foto di panggung dan diberi judul seolah-olah foto ini setelah melaksanakan kegiatan tarian tertentu, Tapi tariannya tidak pernah ada. Dan ini kemudian dibuat pertanggungjawaban. Itu juga sudah dilengkapi dengan stempel-stempel palsu dari pengelola," tambahnya.