JAKARTA - Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti mendukung penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 0 persen.
Menurutnya, ada 4 dampak negatif yang terjadi di negara ini akibat adanya presidential threshold yang diatur di UU Pemilu.
Pertama, hanya akan muncul dua pasangan calon yang head to head. Meskipun di atas kertas bisa memunculkan 3-4 paslon, tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Terbukti dalam pemilu lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua paslon.
"Dampaknya kita menyaksikan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput dan masih kita rasakan hingga detik ini. Dan sangat tidak produktif lagi bagi perjalanan bangsa dan negara ini," ujar La Nyalla dalam seminar di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, yang disiarkan secara daring, Selasa, 8 Juni.
Kedua, presidential threshold (PT) mengerdilkan potensi bangsa karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya.
"Semakin sedikit kandidat yang bertarung akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik," kata mantan ketua umum PSSI itu.
BACA JUGA:
Ketiga, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih.
"Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi karena calon terbaik, menurut mereka, tidak mendapat tiket untuk maju sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat," jelas La Nyalla.
Keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di depan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama. Padahal sejatinya parpol didirikan adalah untuk mengusung kadernya agar bisa tampil memimpin nasional.
"Tetapi dengan aturan ambang batas pencalonan presiden itu maka peluang politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya parpol besar atau gabungan parpol yang dapat mengusung capres dan cawapres," kata ketua KADIN Jawa Timur itu.
Apalagi, lanjut La Nyalla, dalil bahwa presidential threshold ini dikatakan untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balance menjadi lemah.
Karena partai politik besar dan gabungan parpol menjadi pendukung presiden terpilih, akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator bagi kebijakan pemerintah.
"Ini lah persoalan yang ada di hulu bukan di hilir. Terus terang selama ini yang terus diperdebatkan dan didiskusikan di masyarakat adalah persoalan di hilir bukan hulu. Karena berkongsi dalam politik adalah sesuatu yang lumrah namun menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendesign dengan hanya agar ada 2 pasang kandidat capres dan cawapres yang bisa benar-benar berlawanan dan memecah bangsa. Atau sebaliknya, bisa seolah-olah berseteru," papar La Nyalla.
Menurutnya, aturan presidential threshold bisa membuka peluang menuju dua kemungkinan itu. Terlebih ketika oligarki semakin menguat didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur permainan politik di dua kubu bersebelahan.
Karena siapapun terpilih pada akhirnya tetap menguntungkan cukong. Syukur-syukur keuntungan itu bisa dibuat berlipat dengan mengkondisikan semua kandidat.
"Karena itu saya mengajak anggota DPD untuk memantik diskusi konstitusi agar pada akhirnya pemerintah dan DPR RI seiris membahas dan menangkap presidential threshold secara rasional," tegas senator Jawa Timur itu.
Tetapi daripada menunggu, sambungnya, DPD RI memilih bergerak cepat. Agar rakyat tidak dihadapkan terhadap dua pilihan sehingga rakyat bisa menetapkan pilihan dan demokrasi semakin sehat.
"Karena itu saya berpendapat presidential threshold terbaik adalah 0 persen. Sehingga partai peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan capres dan cawapres semakin banyak kandidat yang muncul, semakin besar peluang menghasilkan pemimpin berkualitas," tandas La Nyalla Mattalitti.