JAKARTA - Ketua DPD, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengatakan sudah saatnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan sikap mendukung konstitusi terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan Presiden yang kini tengah menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu disampaikan La Nyalla di sela Musyawarah Wilayah (Muswil) ke-VIII Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila Provinsi Jawa Timur di Hotel Grand Empire Palace Surabaya, Kamis 26 Mei.
Menurut La Nyalla, saat ini DPD tengah mengajukan judicial review terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Kita sedang berjuang di MK. Kita harus sadar bahwa MK saat itu didirikan untuk menegakkan dan menjaga konstitusi tidak dilanggar oleh Undang-Undang," kata La Nyalla dalam keterangan tertulisnya, Kamis 26 Mei.
Dia menambahkan, dalam pasal 6A UUD NRI 1945 sama sekali tak diatur mengenai ambang batas 20 persen pencalonan Presiden. Namun, di pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, diatur ambang batas 20 persen untuk mencalonkan sebagai Presiden
"Ini tugasnya MK untuk menghapus pasal 222 itu, karena mengada-ada atau tidak derivatif dari Konstitusi. Kalau MK tak mau menghapus, timbul pertanyaan, ada apa dengan MK? Ini yang menggugat DPD RI secara kelembagaan. Ini sudah menjadi sengketa antar-lembaga," ujar La Nyalla.
Senator asal Jawa Timur itu menilai, pada titik itulah Presiden Jokowi harus turun tangan mengambil langkah positif dengan sikap kenegarawanan beliau sebagai kepala negara. Salah satunya adalah dengan menunjukkan sikap yang tegas bahwa presiden ikut menjaga Konstitusi ditegakkan dan dilindungi dari Undang-Undang yang tidak sesuai.
"Saat ini dibutuhkan sikap yang tegas dan jelas dari Presiden sebagai kepala negara. Di sinilah Presiden dan MK diuji untuk menegakkan kebenaran. Sekali lagi saya tegaskan, di konstitusi kita tidak ada ambang batas 20 persen pencalonan Presiden. Kedaulatan rakyat harus kita tegakkan. Kita harus kembalikan semua kepada relnya," tegas La Nyalla.
BACA JUGA:
Sebab, presidential threshold terbukti menghasilkan keterlibatan oligarki ekonomi dalam penentuan pimpinan nasional bangsa ini. Akibatnya, oligarki ini semakin menggurita dan memasuki lingkar kekuasaan untuk menentukan kebijakan.
Secara keseluruhan, La Nyalla menilai amandemen konstitusi yang dilakukan dari tahun 1999-2002 harus dibenahi kembali. Sebab, sejak amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam, kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah negara ini semakin tergerus.
"Yang dirugikan adalah rakyat. Yang harus diingat juga bahwa bangsa ini merdeka atas jasa civil society, ulama, utusan golongan dan lainnya. Lalu, kenapa sekarang mereka tidak bisa menentukan arah perjalanan bangsa? Semua direduksi di tangan partai politik," tandasnya.