Resensi Buku <i>Hidup di Luar Tempurung</i>-Mendalami Kebesaran Benedict Anderson
Buku Hidup di Luar Tempurung (Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menuangkan segala cerita terkait kehidupan pribadi tidaklah mudah. Proses berpikir menentukan awalan, mengumpulkan data, mengemas kisah, menyelipkan pelajaran hingga mengatur bahasa, menjadi bukti proses panjang yang harus ditempuh untuk menjadi suatu biografi. Untuk itu, setiap orang yang memberanikan diri membuat semacam biografi terkait kehidupannya, layak diberi apresiasi.

Apalagi, jikalau yang menulis cerita tersebut ialah dirinya sendiri, dan bukan orang lain. Maka, buku tersebut secara paripurna memiliki nuansa yang otentik. Beberapa contoh buku biografi yang ditulis sendiri adalah biografi pemimpin Revolusi Oktober Rusia, Leon Trotsky berjudul My Life (1929); biografi tokoh pendidikan Indonesia, Butet Manurung berjudul Sokola Rimba (2007), dan biografi seorang jurnalis kenamaan tanah air, Muhamad Radjab berjudul Semasa Kecil di Kampung 1913-1928 (1974).

Tiap karya yang disebutkan di atas mengandung muatan menarik nan otentik karena mereka berkisah sendiri. Lantas, jikalau ada yang menganggap buku biografi kebanyakan membosankan dan bikin mengantuk, boleh jadi mereka belum membaca buku karya seorang profesor dan peneliti hebat bidang Asia Tenggara, Benedict Anderson yang menulis biografi hidupnya berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016).

Hidup di luar tempurung

Biasanya kita sering mendapati biografi yang terbatas pada kalangan tokoh seperti politisi, seniman, pengusaha ataupun pemimpin negara. Oleh sebab itu, kehadiran genre biografi yang mengungkap kehidupan pribadi, latar belakang keluarga, siapa yang memotiviasi seorang peneliti, amat jarang. Beruntung, lewat buku ini Ben –sapaan akrabnya— berhasil menjadi salah satu peneliti yang membuat biografi.

Lewat biografinya, penulis dengan karya-karya hebat seperti Imagined Communities (1983), Java in A Time of Revolution (1972), Kuasa Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia (1990) dan Under the Three Flag (2005) membuktikan bahwa karya seorang peneliti tak cuma menarik dari segi temuan-temuannya di lapangan, melainkan perjalanan hidupnya juga dapat memotivasi orang banyak untuk berani hidup di luar tempurung.

Melihat realitas yang ada, lazimnya seorang peneliti merasa betah dengan posisi mereka pada satu disiplin, jurusan, universitas dan tak berani melihat di luar daripada itu. Ben berbeda. Dirinya jauh melampaui itu. Dalam istilahnya, seseorang harus memiliki kesiapan dalam mencari dan mengikuti arah angin. Dengan kata lain, Ben berani belajar segala hal yang sama sekali tak ada kaitan dengan bidangnya. 

Alhasil, buku ini begitu menarik dibaca sewaktu senggang. Saking menariknya, pembaca jadi dapat mengetahui alasan Ben menulis biografi, masa-masa bersekolah, berkunjung ke Indonesia, jatuh cinta pada karya sastra Indonesia, hingga kritiknya pada era kekinian. untuk memberikan gambaran atas hal itu, kami merangkum beberapa di antaranya.

Pertama, alasan membuat biografi. Pria berkebangsaan Irlandia yang lahir di Kunming, Tiongkok pada 1936 ini, mengungkap alasan membuat buku biografi dikarenakan ingin menjawab permintaan mahasiswa Jepang terkait bagaimana bayangan kontek sosial politik, budaya tempat para ilmuwan anglo-saxon lahir. Ben merasa supaya ada bayangan terkait cara kerja dan alam berpikir seorang professor Amerika Serikat, maka muncullah buku satu ini.

Awalnya, buku tersebut diberi judul “Yashigarawan no soto e”. Dalam perjalanannya, Ben kemudian didorong oleh sang adiknya, Perry Anderson untuk membuat versi inggrisnya. Kebetulan, saat itu adiknya bekerja pada penerbit Verso di inggris.

Pada awalnya ben sempat menolak karena merasa kisah hidupnya tak begitu menarik, sampai akhirnya melunak. Naskahnya itu lalu diterbitkan dalam bahasa inggris dengan judul  “A Life Beyond The Boundaries,” dan terjemahan bahasa Indonesia menyusul setelahnya. Setali dengan itu, Ben membuktikan bahwa kehidupannya cukup menarik untuk menjadi bahan pembelajaran bagi pembaca.

Kedua, masa-masa Ben bersekolah. Kerja keras ibunya Ben dalam menyekolahkan anaknya sungguh patut diteladani. Hidup menjanda dan hanya mengandalkan uang pensiun suaminya, membuatnya terus memotivasi sang anak untuk terus belajar agar mendapat beasiswa supaya masuk sekolah elite di Inggris.

Akhirnya, dari total 13 anak yang menerima beasiswa di Eton, Tenggara London, Ben berada diurutan nomor dua dari paling akhir. Namun, Ben cukup puas. Ben pun awalnya sempat merasa sekolah tersebut tempat yang aneh. Sebab, anak-anak yang berseolah relatif berasal dari kalangan berada maupun berkuasa. Sehingga tak jarang dirinya dan penerima beasiswa lainnya dicap sebagai kutu buku.

Meski begitu, lama-kelamaan Ben mulai kerasan. Hingga akhirnya karena bersekolah di Eton, Ben lalu mendapatkan kesempatan menghabiskan masa-masa serunya bersekolah sambil mencicipi kesempatan jalan-jalan ke luar negeri, baik ke paris, Belanda, Swiss, Austria, dan Italia.

Entah itu pergi bersama tantenya maupun dengan teman-teman sekolahnya. Sampai akhirnya, Ben mendapatkan beasiswa untuk masuk ke Universitas Cambridge dan perlahan-lahan sampai ke Benua Amerika, tepatnya di Universitas Cornell.

Ketiga, Masa-masa di Indonesia. Ben yang mulai tertarik dengan kajian Asia Tenggara mulai mengunjungi satu demi satu negara yang menjadi fokus penelitiannya. Uniknya, salah satu negara yang paling banyak diulas dan paling berkesan dalam buku ialah saat melangsungkan kunjungan ke Indonesia.

“Saya tiba di Jakarta akhir Desember 1961 dan menetap hingga April 1964. Saat pesawat mendarat di tengah gelap. Musim hujan sudah dimulai, dan sata ingat jelas perjalanan ke kota dengan taksi yang jendelanya dibuka semua. Hal pertama yang menyentak saya adalah bau-bauan – dari pepohonan dan semak-semak segar, bau kencing, dupa, lampu minyak, sampah, dan terutama, aroma masakan dari warung-warng kecil yang berjajar sepanjang jalan,” tertulis pada halaman 63.

Di kalangan pengkaji Indonesia Ben memang dikenal sebagai seseorang yang penuh totalitas dalam bekerja di lapangan. Bahasa lokal dia pelajari, berteman dengan Ong Hok Ham –yang kemudian menjadi sejarawan terkenal—dilakoni, hingga mulai belajar sedikit-sedikit budaya Indonesia karena sering kali mendapati geger budaya. Mulai dari mencoba makanan pedas, menggunakan sarung untuk tidur, dan melihat bagaimana orang Indonesia begitu membebaskan anak laki-laki dalam beraktivitas.

Melalui kunjungan Ben inilah, khalayak dapat mengenali Indonesia lewat kacamatanya. Termasuk perihal alasan penyebutan kata ‘bule.' Menurut Ben, asal-usul populernya kata Bule merupakan murni atas perannya yang meminta sahabat-sahabatnya untuk memanggilkan seperti itu karena merasa ucapan tuan yang lazim disebut oleh orang Indonesia agak aneh terdengar.

“Saya juga memeberitahukan bahwa sayalah yang mempopulerkan makna baru bagi istilah itu pada 1962 atau 1963. Teman saya ogah memercayai saya, maka saya bilang, 'Kau kan sejarawan, ahli sejarah Indonesia yang berpengalaman. Berani taruhan 100 dolar, kau tak akan bisa mendapati kata bule dalam arti orang kulit putih, dalam dokumen apapun sebelum 1963. Ia tak berani bertaruh,” tertulis pada halaman 77.

Selebihnya, Ben banyak bercerita terkait kesukaannya dengan sastra Indonesia. Saking cintanya, Ben kemudian ikut-ikutan menelusuri karya-karya dari seorang penulis kenamaan Indonesia Kwee Thiam Tjing yang memiliki nama pena Tjamboek Berdoeri.

Menurut Ben, dari sekian banyak karya satra Indonesia yang dibacanya, tulisan Tjamboek Berdoeri inilah yang paling menggetarkan hatinya, sehingga Ben tergerak untuk menyusun karya-karya penulis tersebut yang berserakan. Atas dasar itu, buku berjudul Menjadi Tjamboek Berdoeri (2010) dapat dinikmati oleh orang banyak hingga hari ini.

Detail: 

Judul Buku: Hidup di Luar Tempurung

Penulis: Benedict Anderson

Terbit Pertama Kali: 2009 (versi Indonesia: 2016)

Penerbit: Marjin Kiri

Jumlah Halaman: 205

Terkait