JAKARTA - Wawancara Oprah Winfrey bersama Pangeran Harry dan Meghan Markle mengguncang kerajaan Inggris. Mata dunia kembali menyoroti isu rasisme yang membudaya di lingkungan kerajaan, termasuk bagaimana keluarga kerajaan dididik. Eton College dan sederet sekolah eksklusif lain jadi akar penting budaya 'inklusif' kerajaan.
Juni tahun lalu, aksi solidaritas ‘Black Lives Matter’ (BLM) meluas ke Inggris. Berbagai institusi milik pemerintah dan swasta di Inggris berkaca kembali melihat dosa masa lalu. Mereka yang memiliki sejarah melanggengkan perbudakan dan rasisme secara serentak mengeluarkan permintaan maaf resmi ke publik.
Eton College jadi salah satu yang paling disorot. Kepala Sekolah, Simon Henderson menyatakan Eton College hari ini telah berkomitmen menghapus rasisme. Namun Henderson menyadari sejarah panjang rasisme di Eton College. Dikutip Reuters, Henderson bahkan menyampaikan permintaan maaf terbuka atas dosa masa lalu sekolah eksklusif itu.
"Kita harus memiliki kerendahan hati dan secara pribadi untuk mengakui bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi," katanya kepada wartawan, Selasa, 23 Juni 2020.
Tentang Eton College
Eton College berdiri tahun 1440. Sejak itu Eton College telah didirikan secara eksklusif atas perintah Raja Inggris Henry VI. Eton College didirikan dengan tujuan memersiapkan calon siswa untuk King's College, Universitas Cambridge, yang juga didirikan Henry VI satu tahun kemudian.
Arsip abad ke-16 mengisahkan bagaimana rutinitas harian siswa Eton College. Para pria muda itu terbiasa bangun di pukul 5 pagi untuk mengucap doa bersama. Kemudian, di pukul 6 pagi mereka akan berada di kelas. Selanjutnya, pada jam 8 malam, para siswa akan kembali ke kamar untuk tidur, setelah sebelumnya beribadah dan berdoa bersama.
Sepanjang sejarah, hubungan Eton College dan kerajaan Inggris tak terpisahkan. Ini terjadi karena fakta tak terhindarkan, bahwa Eton College dilindungi secara khusus oleh keluarga kerajaan. Lainnya adalah karena sekolah ini terletak hanya beberapa langkah dari Istana Kerajaan Windsor.
Mayoritas siswa Eton College adalah kalangan ningrat Inggris dan keluarga pengusaha. Penjaringan berdasar sistem kelas itu bahkan dimulai sejak biaya sekolah. Di Eton College, biaya pendidikan mencapai 34 ribu poundsterling atau sekitar Rp700 juta per tahun.
Memang, Eton College menyediakan beasiswa bagi siswa dari kelas menengah dan bawah. Masalahnya, beasiswa yang dibuka sangat terbatas. Sebagaimana diungkap Nick Fraser dalam The Importance of Being Eton (2006), mereka yang merasa kaya jadi begitu berkuasa sehingga sering meremehkan siswa lain.
Mereka yang berkulit cokelat dari bekas-bekas wilayah koloni dan protektorat-protektorat yang masih berdiri jadi sasaran perundungan. Nick juga menggambarkan bagaimana budaya bergosip, tak sopan, dan penuh kesombongan sebagai salah satu warisan lingkungan Eton College.
“Perilaku itu kemudian menjadi hal buruk berbentuk sikap arogan dan eksklusivitas," tulis Nick. Hal ini menjadi semacam pelarian bagi mereka karena tak memiliki banyak bakat. Tetapi tak semuanya buruk. Pada akhirnya, mereka hanya memilih di antara kedua pilihan: menjadi Etonian yang bodoh atau Etonian yang jahat,” tulis Nick.
Pengalaman terkait Eton College juga ditulis peneliti terkenal, Benedict Anderson. Ia adalah salah satu 'Etonian', sebutan untuk Siswa Eton College. Dalam bukunya berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016), Ben menceritakan keistimewaan-keistimewaan yang didapat siswa mayoritas di Eton College. Ia menuturkan, siswa-siswa istimewa itu tinggal di griya-griya mewah. Mereka hanya dapat dijumpai di dalam kelas.
“Anak-anak ini, yang latar belakangnya menjamin masa depan yang nyaman atau berkuasa, tidak melihat perlunya bekerja keras. Dan secara terang-terangan merendahkan anak-anak beasiswa sebagai ‘kutu buku’ yang kelas sosialnya jauh di bawah mereka. Mereka sebenarnya juga punya keangkuhan (intelektual) mereka sendiri, dan ikatan antar mereka sangat erat. Belum pernah saya berada satu kelas dengan begitu banyak anak cerdas,” ucap Ben.
Surat dari kulit hitam
Nama Dillibe Onyeama jadi salah satu catatan sejarah penting bagi Eton College. Lewat bukunya, Nigger at Eton (1972), Onyeama menulis berbagai kisah rasisme di Eton College. Dalam buku itu Onyeama menceritakan rasisme yang ia terima di sepanjang masa sekolah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Berapa banyak belatung yang ada di rambutmu, Onyeama?", "Pernahkan kamu makan daging manusia?" atau "Apakah ayahmu seorang dukun?" kerap kali ditujukan pada Onyeama. Dan itu karena warna kulit serta bentuk fisik Onyeama.
“Setiap kali mendengar itu, aku hampir selalu meledak. Sampai-sampai rasa emosi kemudian memuncak sehingga tiba-tiba aku memberi mereka beberapa pukulan keras di wajah dan perut. Hal itu membuat beberapa di antaranya menangis, yang kemudian mengajak teman-temannya untuk selalu berteriak dengan nada kebencian dan kegetiran yang tinggi kepada ku,” cerita Onyeama.
Onyeama, yang lulus pada 1969 mengaku rasa sakit akibat perilaku rasis di Eton College masih bisa ia rasakan betul. Kala Eton College mengungkap keinginan meminta maaf langsung kepadanya, Onyeama tak merespons. Ia mengatakan permintaan maaf Eton tak diperlukan.
Eton College dan sekolah eksklusif keluarga kerajaan
Seperti telah kita bahas, Pangeran William dan Pangeran Harry adalah Etonian. Pangeran Harry bersekolah di Eton College ketika dirinya berusia 13 tahun.
Sebelumnya, saat berusia delapan tahun, Pangeran William bersekolah di Sekolah Ludgrove. Pangeran William bahkan tinggal di asrama Ludgrove saat itu.
Di Eton College, Pangeran William lulus dalam level bergengsi, yakni unggulan di bidang geografi, seni, dan biologi. Di jenjang pendidikan tinggi, Pangeran William memilih St Andrew University.
Seperti Pangeran William, Pangeran Harry pun lebih dulu sekolah di Ludgrove, sebelum melanjutkan pendidikan di Eton College. Tak sama dengan William, Pangeran Harry tak menorehkan prestasi cemerlang. Harry kemudian melanjutkan pendidikan militer.
Putra William, Pangeran George juga menempuh pendidikan formal nan eksklusif. Pangeran George bersekolah di Wastrace Montessori School. Sekolah yang terletak di Nofolk itu menjadi sekolah pertamanya.
Pangeran George menghabiskan waktu sekitar 18 bulan di sana. Pangeran George kemudian melanjutkan pendidikan dasar di Thomas Battersea, sekolah elite yang tak jauh dari Istana Kensington di London. Sekolah Thomas Battersea berbiaya 350 juta rupiah per tahun.
Berbeda dengan cucu-cucunya yang bersekolah di institusi pendidikan formal, Ratu Elizabeth II justru belajar di dalam Istana Buckingham. Perempuan bernama lengkap Elizabet Alexandra Mary itu hanya memiliki satu teman, yaitu Putri Margaret.
Keduanya dididik oleh tutor dan pengasu pribadi. Konon, istri dari Philip Mounbatten itu mengalami masalah sosialisasi di masa mudanya.
Sejarah serta kebesaran Eton College, bagaimana sekolah itu mencetak banyak elite Inggris pernah kami bahas dalam kanal Memori: Melihat Rasisme di Eton College: Sekolah Keluarga Kerajaan yang Lahirkan 20 Perdana Menteri Inggris.