Ki Hajar Dewantara Pernah Dipecat dari Apotek karena Salah Meramu Obat
Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Masa mahasiswa Soewardi Soerjaningrat  atau Ki Hajar Dewantara penuh dinamika. Ia lebih memilih untuk aktif berpolitik, dibanding berkuliah di Sekolah Dokter Bumiputra, STOVIA. Karenanya, ia menyia-nyiakan kesempatan jadi dokter. Alias beasiswanya dicabut dan tak lulus.

Soewardi pun putar otak untuk bertahan hidup. Ia pulang kampung. Karier sebagai ahli Kimia di apotek dipilihnya. Namun, karier itu harus pupus. Sebab, Soewardi melakukan kesalahan fatal. Ia salah meracik obat-obatan untuk pasien.

Soewardi tumbuh sebagai anak muda yang radikal. Jiwanya kerap bergejolak kala melihat seorang Belanda mencoba melanggengkan diskriminasi terhadap kaum bumiputra. Tak jarang Soewardi naik pitam dan perkelahian tak terhindarkan. Menang-kalah bukan masalah bagi Soewardi, asal Belanda tak menganggap remeh kaumnya.

Nyali Soewardi laksana tak pernah padam. Apalagi ketika ia mendapatkan beasiswa bersekolah di STOVIA. Masa-masa kuliah itu digunakan Soewardi untuk mengasah pikirannya. Di STOVIA pula, ia mulai aktif berpolitik. Pikirannya terbuka luas. Soewardi pun dianggap sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional.

Akan tetapi, Soewardi bukan pribadi yang dapat mendiamkan diskriminasi. Ia kerap melanggar larangan tertulis yang berlaku di STOVIA. Apalagi sebuah larangan yang mengadung diskriminasi seperti tidak boleh merayakan Hari Raya Idulfitri di STOVIA.

Ki Hajar Dewantara (kiri) bersama Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang dikenal luas sebagai Tiga Serangkai. (Wikimedia Commons)

Soewardi justru sebaliknya. Ia merayakan Hari Lebaran dengan suka cita. Soewardi membunyikan petasan di lorong STOVIA. Akibatnya ia mendapat hukuman. Belakangan, keaktifan Soewardi di dunia politik harus dibayar mahal.

Kuliah Soewardi jadi tak beres. Ia tercatat sering absen. Semuanya karena Soewardi lebih menentingkan urusan perjuangan, dibandingkan sekolah. Beasiswanya pun dicabut. Kemudian, keinginan Soewardi jadi dokter terpaksa kandas.

“Di sekolah ini pun ia tidak sampai lulus, hanya menjalaninya selama lima tahun. Karena alasan sakit selama empat bulan membuatnya tidak naik kelas karena alasan politis, beasiswanya pun dicabut. Pencabutan beasiswa terjadi setelah dalami suatu pertemuan Soewardi membacakan sajak karya Multatuli, yang menggambarkan kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, panglima perang Pangeran Diponegoro.”

“Keesokan harinya, ia dipanggil oleh Direktur STOVIA, dan dimarahi habis-habisan dengan tuduhan telah membangkitkan semangat pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dengan kedua alasan itu. Soewardi keluar dari STOVIA,” ungkap Yudi Latif dalam buku Pendidikan yang Berkebudayaan (2020).

Salah Meramu Obat

Soewardi tak banyak ambil pusing kuliahnya putus di tengah jalan. Ia lebih mementingkan upaya melanjutkan hidup sembari melanggengkan perjuangan. Pulang kampung ke Yogyakarta jadi opsinya. Ia memilih bekerja untuk menyambung hidup sebagai ahli kimia di Apotek Rathkamp, Yogyakarta.

Ia menganggap opsi bekerja sebagai ahli kimia adalah yang paling masuk akal. Sebab, Soewardi jadi dapat memiliki banyak waktu untuk pergerakan. Ia merasa dapat mengimbangi antara bekerja dan berjuang. Ia pun melakukan kedua pekerjaan itu dengan senang hati.

Nyatanya, apa yang dipikirkan Soewardi tak berjalan mulus. Perihal membagi waktu adalah hal tersulit. Keaktifannya dalam dunia politik membuat Soewardi sering kurang tidur. Apalagi Soewardi kerap menulis artikel hingga tengah malam.

Mau tak mau, kerjanya sebagai ahli kimia di apotek jadi terganggu.Kesalahan Soewardi yang paling fatal adalah salah meracik obat buat pasien apotek. Kepala apotek yang mengatahui kesalahan itu tak tinggal diam. Soewardi pun dipecat karenanya.

Patung Ki Hajar Dewantara di Sekolah Pawiyatan Taman Siswa, Yogyakarta. (Wikimedia Commons)

Pemecatan itu buat Soewardi akhirnya hijrah ke Bandung dan berjumpa kembali dengan rekan seperjuangan Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Kelak, ketiganya dikenal luas sebagai Tiga Serangkai.

“Sikap yang penuh gejolak dan perasaan yang belum menentu kemudian memengaruhi Soewardi. Dia berpindah dari Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, sebagai ahli kimia, ke Apotek Rathkamp, Yogyakarta. Soewardi pun mengikuti pelajaran yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan bermaksud untuk menjadi seorang apoteker yang ahli dalam meramu obat.”

“Akan tetapi, kegiatannya berkorespondensi dengan berbagai surat kabar, terutama De Expres terlalu menyita waktunya, sehingga Kepala Apotek pun merasa harus memecatnya. Selain itu, ada alasan lebih penting yang rasanya tidak akan termaafkan. Soewardi pernah salah dalam meramu obat. Kita semua dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika obat yang diharapkan menyembuhkan si sakit malah menyebabkan musibah dalam suatu keluarga,” ungkap Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (2019).