Penggunaan Bahasa Indonesia Dianggap Bahaya oleh Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 1 Juli 1938
Anggota Volksraad sedang bersidang. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 85 tahun yang lalu, 1 Juli 1938, Raad van Indie menulis surat untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Badan penasihat gubernur itu mengungkap kekhawatiran terkait gebrakan anggota Volksraad (kini: semacam DPR) Mohammad Husni (M.H) Thamrin.

Pejuang kemerdekaan itu jadi orang pertama yang melanggengkan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad. Langkah itu dianggap bahaya dan mengganggu eksistensi Belanda di Nusantara. Sebelumnya, popularitas Bahasa Indonesia kian meningkat setelah Sumpah Pemuda.

Nyali pemuda bumiputra membawa perubahan telah hadir sejak zaman penjajahan Belanda. Mereka yang memiliki akses pendidikan tak melulu sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Sebab, pendidikan justru membuka kepekaan mereka kepada nasib segenap kaum bumiputra yang diperlakukan tidak adil oleh Belanda.

Mereka pun mencoba menyatukan pikiran. Hasilnya gemilang. Pemuda dari berbagai macam wilayah berhasil dikumpulkan di Batavia pada 30 April hingga 2 Mei 1926. Momentum itu kemudian dikenang luas sebagai Kongres Pemuda I.

Pikiran terkait persatuan Indonesia mulai mengemuka. Mereka pun mulai melanggengkan ide-ide kemerdekaan. Segenap pemuda ingin menindaklanjuti perjuangan secara serius. Ide melanggengkan Kongres Pemuda II pun hadir.

Suasana sidang Volksraad yang diwarnai bermacam gaya berpakaian. (Wikimedia Commons)

Hajatan itu bergulir pada 27 dan 28 oktober 1928. Segenap pemuda Indonesia pun melanggengkan hasil kongres yang penting. Sumpah Pemuda, namanya. Ikrar Sumpah Pemuda mengajak seluruh kaum muda bumiputra untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Pesan itu kemudian diikrarkan seluruh pemuda di segala penjuru Nusantara.

“Dengan jalan demikian banyak bahan keterangan yang dapat dikirimkan pulang‐pergi melalui samudra luas. Pada tanggal 28 Oktober tahun 1928 Soekarno dengan resmi mengikrarkan sumpah khidmat: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.”

“Di tahun 1928 untuk pertama kali kami menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Dan di tahun 1928 itu pulalah aku didakwa di depan Dewan Rakyat,” terang Bung Karno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).

Pengaruh dari Sumpah Pemuda cepat menyebar ke kaum pergerakan bumiputra. Pejuang kemerdekaan dari tanah Betawi, Thamrin apalagi. Ia yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan jalur kooperatif melihat Sumpah Pemuda sebagai peluang mempersatukan kaum bumiputra.

Utamanya, untuk meluaskan pengaruh bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ia pun mulai mempergunakan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Keberaniannya memancing perhatian Belanda.

Penggunaan bahasa Indonesia dianggap mampu membuat eksistensi kuasa Belanda jadi terganggu. Puncaknya, Raad van Indie kemudian bersurat kepada Gubernur Jenderal Tjarda pada 1 Juli 1938. Mereka takut keadaan makin gawat dan berbahaya karena bahasa Indonesia mulai digunakan terus hadir dalam sidang Volksraad.

“Di dalam Volksraad (Dewan Rakyat), Fraksi Nasional di bawah pimpinan M.H. Thamrin mengumumkan akan mempergunakan bahasa Indonesia di dalam sidang-sidang. Maksud Fraksi itu telah mendapatkan perhatian Raad van Indie (Dewan Penasehat Gubernur Jenderal), yang dalam suratnya, 1 Juli 1938 kepada Gubernur Jenderal memperingatkan, bahwa maksud Thamrin akan menimbulkan kesulitan-kesulitan politik.”

“Kesulitan itu dapat menjurus ke arah keadaan gawat Penggunaan bahasa Indonesia (dalam teks surat tersebut tertulis het Maleis), karena sifatnya menurut Raad van Indie akan mempunyai arti propaganda bagi pergerakan nasional dan hal itu akan merupakan langkah pertama ke arah penggunaan bahasa itu secara luas di dalam Volksraad,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008).