JAKARTA - Brasil pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia 1950. Timnas sepak bola egeri Samba tak ingin menyia-nyikan kesempatan. Mereka mencoba membuktikan bahwa trofi piala dunia takkan kemana. Alias menetap di Brasil.
Optimisme itu menjalar ke mana-mana. Elemen perayaan besar sudah disiapkan. Jauh panggang dari api. Brasil justru dipermalukan Uruguay di final dan jadi aib. Seisi Brasil pun mengecam seluruh pemain timnas. Mereka dianggap memalukan, utamanya sang penjaga gawang, Moacir Barbosa.
Tiada yang mampu membendung kebahagiaan warga Brasil karena negaranya jadi tuan rumah Piala Dunia 1950. Seisi Brasil bak melupakan sementara kemiskinan yang merajalela. Mereka menganggap Piala Dunia adalah pestanya rakyat dan bukan waktu mengasihi diri.
Kebahagiaan rakyat Brasil kian lengkap dengan hadirnya stadion baru yang menjadi kebanggaan Negeri Samba. Stadion Maracana, namanya. Orang Brasil yakin negaranya akan memenangkan hajatan sepak bola kelas dunia.
Racikan pelatih Flavio Silva dianggap jadi jaminan timnas Brasil angkat trofi. Piala Dunia 1950 pun dimulai. Perjalanan timnas brasil mulus-mulus saja. Brasil hanya ditahan imbang oleh Swiss di fase grup. Brasil pun melaju dengan percaya diri sebagai juara grup satu.
Format final itu dikenal dengan nama round-robin. Suatu format turnamen ketika setiap timnas sepak bola bersaing dengan semua peserta. Brasil pun akan menghadapi masing-masing juara grup lainnya: Spanyol, Swedia, dan uruguay.
Swedia dan Spanyol mampu digilasnya dengan skor besar. Brasil menang atas Swedia 7-1, Brasil menang pula dari Spanyol 6-1. Dua kemenangan itu membawa Brasil ke puncak klasemen. Sedang lawannya Uruguay berada di peringkat dua dengan satu kali menang, satu kali seri.
Brasil pun percaya diri akan memenangkan pertandingan penentuan melawan Uruguay. Media-media setempat justru telah memberitakan Brasil bak pemenang. Apalagi, penyerang andalan timnas Brasil Ademir Marques de Menezes jadi pencetak gol terbanyak dengan delapan gol.
Seisi Brasil pun mulai menyiapkan ajian untuk pesta. Stadion Maracana pun sampai penuh sesak. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba pada 16 Juli 1950. Timnas Brasil percaya diri akan menang. Mereka mendominasi jalannya pertandingan dengan gol dari Friaca pada babak kedua menit 47. Brasil unggul 0-1.
Namun, Uruguay dengan pemain andalannya Alberto Schiaffino, Alcides Ghiggia, dan Obdulio Varela main ngotot. Mereka tak ingin pulang dengan wajah murung ke bawah. Hasilnya gemilang. Uruguay mampu menyarangkan dua gol ke gawang Brasil.
BACA JUGA:
Masing-masing dicetak Juan Schiaffino pada menit 66, dan Alcides Ghiggia pada menit 79. Skor akhir jadi 2-1. Uruguay terpilih sebagai pemenang Piala Dunia 1950. Kemanangan itu membawa banjir tangis dan serangan jantung di Brasil. Tragedi kekalahan itu terkenal dengan sebutan Maracanazo (Tamparan Maracana).
“Piala Dunia 1950 telah usai. Bagi Brasil, semuanya sudah berakhir. Pemain Uruguay bergantian memeluk wasit Reader. Presiden FIFA, Jules Rimet diantar ke lapangan oleh polisi yang menangis histeris. Jules membiarkan kapten Uruguay dan pemain terbaik laga, Varela mengangkat trofi tersebut, meskipun ia disarankan untuk tidak mengangkatnya.”
“Varela puas dengan pergi minum-minum di Rio malam itu. ia berasa bak raja Uruguay, raja Brazil, raja dunia. Tidak ada tarian samba yang dilakukan di Brasil. Di tempat lain di Rio, terjadi kasus bunuh diri. Negara ini, hampir seperti satu kesatuan, pasrah pada kenyataan bahwa mereka tidak akan memenangkan piala dunia di kampung halamannya,” terang Scott Murray dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul World Cup Stunning Moments: Uruguay's 1950 Triumph in Brazil (2018).
Kecaman Berdatangan
Kekalahan memang amat menyakitkan bagi seisi Brasil. Apalagi, kekalahan itu dialami di final dan di negara sendiri pula. Tawa bahagia seakan-akan jadi hal langka di Brasil. Rakyat Brasil bak tak dapat melupakan kekalahan memalukan yang dialami timnas kebanggaannya.
Rasa bangga akhirnya berubah jadi benci. Kekalahan memang jadi alasan paling mundah untuk mengecam mereka yang dianggap bersalah. Seluruh skuad timnas dikecam oleh seisi Brasil. Mereka dipandang bak aib bagi negara.
Namun, kecaman yang paling keras justru diarahkan kepada penjaga gawang Brasil, Moacir Barbosa. Barbosa dianggap sosok bertanggung jawab atas kekagagalan Brasil menang Piala Dunia. Barbosa yang gagal mengantisipasi gol Alcides Ghiggia tak henti-hentinya disalahkan hingga dikucilkan.
Hidup Barbosa jadi merana. Kariernya tak gemilang. Kehidupannya jatuh ke titik terendah. Ia mengandaikan sakitnya hati rakyat brasil kepadanya berlangsung puluhan tahun. Jika narapidana di Brasil dihukum paling lama 30 tahun penjara, maka dirinya merasakan dihukum warga Brasil selama 50 tahun.
Kehidupannya pun mulai dihantui rasa bersalah. Ia tak mampu melangkah dengan bebas. Aroma kebencian hadir di seisi Brasil. Kecaman kepada skuad timnas Brasil, utamanya Barbosa jadi bukti bahwa sepak bola bagi orang Brasil bukan cuma permainan belaka, sepak bola adalah kehidupan itu sendiri.
“Barbosa tak berlebihan soal hukuman 50 tahunnya itu. Bahkan, cukup pantas jika disebut bahwa dia, meskipun tak pernah merasakan jeruji penjara, lebih menderita daripada narapidana mana pun di dunia. Meskipun baru benar-benar pensiun dari sepakbola pada usia 42 tahun, karier Barbosa tak pernah lagi pulih ke level semula.”
“Dia kemudian melewati 20 tahun berikutnya bekerja sebagai petugas administrasi di Stadion Maracana. Sejak kekalahan di Maracana itu, Barbosa mesti mengisi hari harinya--hingga menjelang kematiannya--dalam kondisi dilupakan, diremehkan, dibenci, dan diasingkan oleh hampir seisi negeri,” ungkap Owen A. McBall dalam buku Football Villains (2010).