Bagikan:

JAKARTA - Penjajahan Jepang punya andil besar dalam perkembangan sejarah Indonesia. Empunya kuasa melanggengkan politik merangkul kaum bumiputra. Wadahnya disiapkan. Pusat Tenaga Rakyat (Putera), namanya. Ragam tokoh bangsa diajak bergabung. Dari Bung Hatta hingga Dipa Nusantara Aidit.

Di dalam organisasi itulah kedekatan Hatta dan Aidit terjalin. Aidit kagum dengan pemikiran Bung Hatta. Begitu pula sebaliknya. Karenanya, Aidit pernah disebut-sebut sebagai anak emas Bung Hatta di Putera.

Kehadiran Jepang sebagai penjajah baru tak melulu membawa luka. Penguasa dari Negeri Matahari Terbit nyatanya menjadi ‘jembatan’ untuk terwujudnya Kemerdekaan Indonesia. Mereka mencoba merangkul para tokoh bangsa. Kehadiran Putera jadi contohnya.

Organisasi yang dibuat pada 16 April 1943 dipimpin oleh tokoh bangsa yang kesohor: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Keempatnya pun dikenal sebagai Empat Serangkai. Penjajah Jepang berpikir kehadiran Putera dapat menjadi corong dukungan kepada kepentingan perang.

D.N. Aidit dan Bung Hatta. (Perpusnas)

Kenyataan justru sebaliknya. Alih-alih menjalankan perintah Jepang, Putera justru banyak jadi corong kaum nasionalis untuk memerdekaan bangsa. Ruang gerak kaum nasionalis semakin meningkat. Bahkan, lebih bebas bersuara dari zaman Belanda.

Putera jadi kendaraan politik tokoh bangsa dalam memobilisasi kaumnya bersiap melepas diri dari belenggu penjajahan. Atensi publik pun didapat. Orang-orang mulai membicarakan narasi kemerdekaan di mana-mana. Apalagi kaum bumiputra telah gerah dengan penjajahan, terutama bagian diperas bak sapi perah.

“Sementara bagi para pemimpin nasionalis, Putera terutama merupakan sarana untuk menyebarkan dan menginisiasi ide-ide nasionalis di kalangan rakyat serta mengusahakan kesepakatan yang dibuat dengan Jepang yang mengarah kepada pemerintahan mandiri. Signifikansi Putera yang berikutnya bagi para pemimpin nasionalis, meskipun yang ini kurang begitu penting, adalah sebagai organisasi yang didedikasikan untuk membantu tujuan-tujuan perang Jepang, tetapi sebatas tujuan minimum saja yang diperlukan demi mencapai tujuan-tujuan nasionalis jangka panjang.”

“Orang-orang yang aktif di dalam Putera adalah sejumlah besar kaum oportunis yang benar-benar mencari keuntungan bagi dirinya sendiri dan sejumlah kecil simpatisan Jepang. Akan tetapi, mayoritas pemimpin maupun anggota yang aktif terutama memandang Putera sebagai sarana untuk mendukung perjuangan jangka panjang menuju kemerdekaan. Untuk tujuan akhir tersebut Putera bukanlah instrumen yang sempurna dan sama sekali tidak tepat. Putera memang membangkitkan nasionalisme Indonesia dan memajukan alasan untuk kemerdekaan Indonesia,” ungkap George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (2013).

Hatta Punya Anak Emas

Kehadiran banyak tokoh bangsa membuat gerakan Putera semakin efektif. Namun, bukan berarti antar tokoh bangsa tak terjadi konflik. Perbedaan pendapat kerap menjadi masalah di internal Putera. Konflik antara Soekarno dan Aidit (yang kemudian dikenal sebagai Petinggi Partai komunis Indonesia), misalnya.

Bung Hatta menuturkan hubungan Soekarno dan Aidit sempat menempati fase tidak baik-baiknya. Padahal, pada era 1960an hubungan keduanya mencapai taraf paling mesra. Keduanya kerap berseberangan paham, termasuk masalah kecil. Aidit pernah tak berdiri memberikan salam ketika Soekarno masuk.

Bung Karno pun geram. Ia mencoba menanyakan langsung kepada Aidit. Jawaban yang didapat tak memuaskan. Aidit menjawab seperlunya. Aidit menuturkan ia tak berdiri karena Soekarno yang lebih dulu datang tanpa mengucap salam terlebih dahulu.

Soekarno pun dianggapnya terlalu mematuhi kebiasaan Jepang. Sedang kaum bumiputra tak begitu. Aidit lalu mencontohkan apa yang dilakukan oleh Bung Hatta. Ia menganggap Bung Hatta kerap menyampaikan salam terlebih dahulu, baru seisi kantor berdiri membalas salam.

D.N. Aidit dan Bung Karno. (Antara)

Soekarno tambah geram. Namun, tidak demikian dengan Bung Hatta. Ia membela yang dilakukan Aidit. Hatta tak pernah punya masalah dengan Aidit. Malahan keduanya acap kali saling mengagumi. Hatta lalu mencoba mengantisipasi konflik antara Bung Karno dan Aidit. Ia mencoba mengambil jalan tengah. Memisahkan keduanya jadi solusi. Hatta memilih memindahkan Aidit ke kantor Putera cabang Bandung.

Pemindahan itu dilakukan supaya konflik antara Aidit dan Soekarno tak tersulut kembali. Tindak-tanduk itu membuat Aidit disebut-sebut sebagai anak emas Hatta. Penyataan itu diamini banyak orang. Sebab, Aidit digadang-gadang tengah mewarisi semangat juang Bung Hatta.

“Rupanya Utuy telah berkenalan dengan Aidit pada zaman pendudukan Jepang ketika keduanya bekerja di Kantor Putera (Pusat Tenaga Rakyat) cabang Bandung. Di situ Aidit disebut sebagai "anak emas Bung Hatta". Agak aneh, karena tidak pernah didapat keterangan dari sumber lain bahwa Aidit dekat dengan Bung Hatta yang pada waktu itu menjadi salah seorang "Empat Serangkai" di samping Bung Karno, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mas Mansur.”

“Utuy sendiri tidak pernah menceritakan kepada saya bahwa ia sudah berkenalan dengan Aidit pada zaman Jepang, walaupun ia sering menceritakan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain pada berbagai kesempatan,” terang Sastrawan Utuy Tatang Sontani dalam memoarnya Di Bawah Langit Tak Berbintang (2018).