JAKARTA - Kejatuhan Dinasti Manchu atau Qing di China tak pernah diramalkan sebelumnya. Kekaisaran yang memimpin China ratusan tahun itu dianggap terlalu kuat. Namun, semua berubah ketika kelompok komunis China muncul.
Kehadiran Mao Zedong dan Partai Komunis China (PKC) ada di baliknya. Partai yang dekat dengan Uni Soviet itu mendapatkan restu dari segenap Rakyat China. Utamanya kaum tani. Mereka menjelma sebagai penguasa China. Apalagi setelah runtuhnya dominasi Kuomintang (Partai Nasionalis China).
Kekuasaan Dinasti Qing begitu kental di China. Bahkan, kepemimpinan monarki itu telah berlangsung sangat lama. Rakyat China pun tunduk dengan kempemimpinan kaisar. Kuasa itu sangat kuat. Tiada yang mampu meramalkan keruntuhan Dinasti Qing.
Semua berubah ketika rakyat China mulai memupuk kekecewaan kepada penguasa. Utamanya, penyerahan wilayah Hong Kong kepada Inggris. Belum lagi keadilan dan kesejahteraan adalah sesuatu yang mahal langka di Dinasti Qing. Perlawannya pun digelorakan oleh kelompok nasionalis. Komunisme jadi alat utama mereka meraih kemerdekaan. Sun Yat Sen dan alat politiknya Kuomintang jadi pelopor gerakan perlawan.
Di samping itu, dominasi Koumintang diimbangi pula dengan lahirnya Partai Komunis China pada 1921. Partai yang simpatisannya banyak lahir di pedesaan ikut menuliskan kisahnya dalam goresan sejarah revolusi di China. Ajian itu berhasil. Dinasti Qing yang hancur lebur.
Kuomintang pun berkuasa sementara waktu. Dari Sun Yat-sen hingga Chiang Kai-shek. Dominasi itu berakhir karenanya meletusnya perang saudara yang mempertemukan antara Kaoumintang dan PKC. PKC dengan kepemimpinan solid dari Mao Zedong memenangkan perang.
Partai Komunis China lalu muncul sebagai penguasa baru China. Republik Rakyat China pun diproklamasikan pada 1 Oktober 1949. Sedang Uni Soviet yang awalnya sempat mendukung Kuomintang jadi negara pertama yang mengakuinya.
“Pada awal abad ke-20, kaum Bolshevik, yang mendirikan Uni Soviet, membantu orang-orang Cina untuk terbebas dari kolonialisme. Dalam bentuk Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), mereka menolong tidak saja kelompok nasionalis Cina, tetapi juga berperan besar dalam pembentukan Partai Komunis Cina (PKC). Dalam perkembangan kemudian, kedua kekuatan utama Cina ini bersatu, dengan backup dari PKUS, dalam sebuah kekuatan bersama untuk mengenyahkan kolonialisme Jepang yang pada tahun 1930-an menguasai Asia Timur.”
“Sekalipun kekuatan bersama nasionalis-komunis ini sempat pecah, tetapi mereka kembali dapat dipersatukan untuk melawan Jepang. Saat Uni Soviet muncul sebagai salah satu pemenang dalam Perang Dunia II, perang saudara kembali pecah di daratan Cina. Akhir dari perang itu adalah kemenangan pihak komunis dengan didirikannya Republik Rakyat Cina pada tanggal 1 Oktober 1949, sementara kaum nasionalis menyingkir ke Pulau Formosa, yang kemudian dikenal sebagai Republik Cina atau Taiwan,” ungkap Nur Rachmat Yuliantoro dalam buku Menuju Kekuatan Utama Dunia: Sekilas Politik Luar Negeri Cina (2021).
Dukungan Penuh Petani
Kekuatan besar Partai Komunis China adalah dukungan penuh kaum jelata. Utamanya kaum tani. Mao paham benar hal itu. Ia pun banyak mengembangkan basis massa PKC dari desa ke desa. Ia juga banyak berkutat untuk ‘mempersenjatai’ kaum tani dengan ilmu pengetahuan. Imbasnya cukup besar. Perekonomian kaum tani meningkat.
Kaum tani memang secara sengaja dipilih oleh Mao. Alasannya karena buruh di China tak sebanyak di Uni Soviet. Sedang kaum tani acap kali ada di setiap pedesaan. Karenanya, Mao memiliki keyakinan jika kaum tani bersatu maka daya ledaknya akan sama seperti Revolusi Oktober yang digelorakan pemimpin Uni Soviet, Vladimir Lenin.
Bersamaan dengan itu, Mao memperkuat narasi kebencian kepada mereka yang bekerja sama dengan imperialisme. Antara lain tuan tanah, birokrat, komprador dan kaum intelektual. Mao mengumandangkan perlawan kepada mereka.
Ajian Mao berhasil. Partai Komunis China unggul dalam perang saudara melawan Kuomintang. Di dalam perang itu, kaum tani jadi kekuatan besar yang paling loyal membela PKC.
“Adalah cukup menarik untuk memperhatikan perbedaan konsepsi 'garis massa' Mao dengan konsepsi Lenin dan Stalin. Lenin dan Stalin juga memakai kata 'massa'. Tetapi, mereka selalu mengembalikannya pada proletariat yang menjadi kelas yang memimpin kelas tani dan kelas borjuasi kecil. Massa pada mereka adalah proletariat dan kelas-kelas yang dipimpin olehnya. Mao Zedong tentu juga mempertahankan bahwa sosialisme diperjuangkan oleh proletariat.”
“Sebagai orang komunis Mao tidak pernah meninggalkan cara bicara khas Marxisme-Leninisme. Akan tetapi, sudah sejak semula Mao sebenarnya berfokus pada 'massa' dalam arti massa rakyat kecil, khususnya di pedesaan. Wibowo memperlihatkan bahwa bagi Mao massa terdiri atas kaum tani, buruh, borjuasi kecil, dan prajurit. Yang tidak termasuk adalah para tuan tanah dan kaum borjuis hesar,” ungkap Franz Magnis-Suseno dalam buku Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (2016).