JAKARTA - Mao Zedong adalah sosok revolusioner serba bisa. Ia dapat menjelma sebagai apa saja. Dari sastrawan hingga ahli perang. Mahakarya besarnya adalah eksistensi Partai Komunis China (PKC). Ia menjadikan masyarakat kelas bawah, utamanya kaum tani laksana nyala api perjuangan.
Kemampuan itu ditunjang dengan kelihaian Mao menjalin persahabat dengan tokoh komunis internasional. D.N. Aidit, salah satu. Karenanya, Mao acap kali mendukung langkah Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya di Nusantara.
Tiada hal yang tak dapat dikuasai oleh Mao. Itulah pendapat umum kala berbicara sosok revolusioner yang mampu meneruskan narasi bangsa China sebagai bangsa besar. Tindak-tanduk Mao mengagumkan. Ia mempu bekerja dalam segala bidang.
Satu waktu ia dapat menjelma sebagai seorang sebagai sastrawan. Di sisi lain, ia dapat memimpin PKC jadi Partai yang unggul. Bahkan, mampu meruntuhkan dominasi kaum nasionalis dalam Kuomintang (Partai Nasional China) yang berkiblat ke barat. Keberhasilan itu buat Mao melenggang-langgeng mendeklarasikan Republik Rakyat China.
Kunci utama dari keberhasilan Mao dan kendaraan politiknya, PKC adalah dukungan segenap rakyat China di pedesaan. Utamanya kaum tani. Karisma seorang Mao ada di baliknya. Kemampuannya menarik hati masyarakat yang geram akan pemerintahan Kuomintang tiada dua.
Dalam hal itu, Mao menerapkan praktik komunisme. Namun, komunisme yang dianut Mao sedikit berbeda dengan komunisme yang dilantunkan oleh Uni Soviet. Nyala api perjuangan Partai Komunis Uni Soviet menitik beratkan kepada kaum buruh.
“Adalah cukup menarik untuk memperhatikan perbedaan konsepsi 'garis massa' Mao dengan konsepsi Lenin dan Stalin. Lenin dan Stalin juga memakai kata 'massa'. Tetapi, mereka selalu mengembalikannya pada proletariat yang menjadi kelas yang memimpin kelas tani dan kelas borjuasi kecil. Massa pada mereka adalah proletariat dan kelas-kelas yang dipimpin olehnya. Mao Zedong tentu juga mempertahankan bahwa sosialisme diperjuangkan oleh proletariat.”
“Sebagai orang komunis Mao tidak pernah meninggalkan cara bicara khas Marxisme-Leninisme. Akan tetapi, sudah sejak semula Mao sebenarnya berfokus pada 'massa' dalam arti massa rakyat kecil, khususnya di pedesaan. Wibowo memperlihatkan bahwa bagi Mao massa terdiri atas kaum tani, buruh, borjuasi kecil, dan prajurit. Yang tidak termasuk adalah para tuan tanah dan kaum borjuis hesar,” ungkap Franz Magnis-Suseno dalam buku Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (2016).
Dukung PKI
Karisma Mao tak saja menarik simpati segenap rakyat China, tapi juga kepemimpinannya turut menarik kekaguman dari tokoh politik dunia. Pemimpin tertinggi PKI, Dipa Nusantara (D.N) Aidit, salah satunya. Ia kepincut dengan pergerakan PKC yang dibangun oleh Mao.
Alasan itu yang membuat Aidit lebih condong mengadopsi komunisme ala China, dibanding berkilat secara penuh kepada Uni Soviet. Kekaguman itu makin meninggi ketika Mao menjadikan kaum tani sebagai basis massanya.
Kondisi itu tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh PKI. Apalagi Indonesia dikenal pula sebagai negeri agraris. Alias kekuatan besar Indonesia terletak pada kaum tani, jika diorganisasikan dengan baik. Aidit pun menyadari hal itu.
Kekaguman Aidit terbalas. Mao juga turut mengagumi tindak-tanduk yang dilakukan Aidit dan PKI-nya. Keduanya pun dekat. Bahkan, banyak orang yang mengatakan Aidit dan Mao semacam saudara muda. Kedekatan itu pun semakin terlihat ketika keduanya berjumpa di Peking, China, pada 5 Agustus 1965.
Mereka membicarakan banyak hal. Mao mendukung yang dilakukan Aidit. Sebaliknya, Aidit mendukung Mao. PKC, oleh Mao sempat menjanjikan bantuan militer kepada Aidit. Utamanya untuk membantu Indonesia dalam konfrontasi kepada Malaysia.
“Persekutuan antara Presiden dan PKI diperluas sampai mencangkup Mao Zedong ketika pertemuan Aidit dengan Mao di Peking tanggal 5 Agustus 1965, di mana Aidit memberitahukan kepada Mao bahwa PKI dan Presiden akan bekerjasama dalam memprakarsai tahap sosialis dari perkembangan Revolusi Indonesia. Namun, Presiden sakit keras, jatuh pingsan beberapa kali tanggal 4 Agustus dan mungkin sekali akan meninggal tiba-tiba. Sedangkan Angkatan Darat (AD) dilaporkan sedang merencanakan suatu upaya prefentif untuk merebut kekuasaan jika terjadi hal seperti itu.”
“Bahkan kalau perlu juga sebelum peristiwa itu. Mao memberi nasihat pada Aidit agar Presiden harus didorong untuk langsung membersihkan AD guna membuka jalan bagi suatu transformasi ke arah sosialisme, namun memperingatkan bahwa segera setelah itu dilaksanakan, Presiden harus digeser dan diganti oleh seseorang yang lebih dapat dipercaya, yang mungkin bukan seorang anggota PKI, dan bahwa Aidit harus mengepalai pemerintahan sebagai perdana menteri,” tutup Victor M. Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005).