JAKARTA - Ambisi Presiden Soekarno untuk mengganyang Malaysia bukan tanpa sebab. Soekarno, menurut Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino, kecewa dengan langkah Inggris yang dianggap mengkhianati Manila Agreement pada 1963.
Dalam Persetujuan Manila, warga Borneo Utara, Sabah, dan Serawak yang secara geografis berada di utara Pulau Kalimantan melakukan referendum memilih bergabung dengan Malaysia sebagai negara Persemakmuran Inggris atau bergabung dengan Indonesia.
Namun, sebelum referendum dilaksanakan, Inggris justru mendeklarasikan wilayah tersebut sebagai bagian dari Malaysia.
“Presiden Soekarno jelas marah. Soekarno menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang didalangi Inggris sebagai upaya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) membentuk negara boneka. Inilah yang memicu sikap ‘Ganyang Malaysia’ lewat Operasi Dwikora,” kata Hutra kepada VOI, Jumat (30/9).
Sayangnya, tidak semua perwira angkatan bersenjata menyetujui itu. Benny Setiono di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) mengatakan Angkatan Darat tidak sungguh-sungguh mendukung kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia.
Letjen Ahmad Yani sebagai kepala Staf Angkatan Darat menilai bukan waktu yang tepat untuk melakukan peperangan terbuka melawan Malaysia. Energi yang dimiliki tentara Indonesia ketika itu tidak memadai karena pada saat bersamaan, tentara juga terlibat front peperangan di Irian Jaya dan pemberontakan sektoral di wilayah Indonesia.
Tak hanya Yani, Menteri Pertahanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) Jenderal Abdul Haris Nasution juga tidak menyukai Operasi Dwikora. Seperti dipaparkannya dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6.
Sebagai, KASAB dia mendukung penuh Operasi Dwikora terhadap Malaysia. Namun, di sisi lain, Malaysia didukung oleh Inggris dengan angkatan laut terkuat di dunia. Indonesia pun tengah dalam keadaan krisis ekonomi yang sangat parah untuk mendukung Perang Dwikora.
“Posisi Angkatan Darat saat itu serba salah. Di satu pihak mereka tidak yakin dapat mengalahkan Malaysia yang didukung Inggris jika berperang, sementara di pihak lain, titah Soekarno adalah harga mati untuk melakukan glorifikasi dan dukungan pelaksanaan Operasi Dwikora,” tulis Abie Besman dalam buku, Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi.
Sikap ketidaktaatan itu justru dinilai oleh sejumlah oknum dari wilayah Kodam Diponegoro sebagai bentuk pengkhianatan. Angkatan Darat mulai terpecah.
Agar Operasi Dwikora tetap terwujud, Presiden Soekarno menjalankan politiknya dengan lebih mendekatkan diri ke Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ketika itu telah menjelma sebagai partai terbesar keempat di Indonesia dan dianggap sebagai partai komunis terbesar di dunia di luar China dan Uni Soviet.
Pada era demokrasi terpimpin yang dimulai pada Juli 1959, dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kekuasaan semakin tak terbendung. Langkah politik DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto berhasil membawa PKI hingga menjadi partai terbesar keempat di Indonesia.
Seperti yang ditulis Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan, Petualang, Aidit sebagai Ketua Central Committee, bahkan disejajarkan dengan tokoh komunis besar semisal Mao Zedong dan Joseph Stalin. Dia bahkan punya gelar kehormatan internasional.
“Aidit diangkat menjadi Ketua Kehormatan Lembaga Ilmu Pengetahuan RRC. Sehingga, Aidit tidak lagi cuma dipanggil kawan Aidit, tetapi harus lengkap dengan kalimat ‘Kawan Aidit yang Bijaksana’,” kata Julius.
Alhasil, lewat payung konsep politik Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunisme) yang digagas Soekarno dan ketidakpatuhan Angkatan Darat terhadap Soekarno, PKI semakin memiliki peluang besar memperkuat poros Jakarta-Peking-Moskwa-Pyongyang-Phnom Penh dengan memecah belah Angkatan Darat yang dianggap selalu menjadi ganjalan.
Peran China
Perdana Menteri China Zhou Enlai bahkan mendukung langkah Presiden Soekarno dengan menjanjikan 100 ribu pucuk senjata gratis tanpa syarat. Zhou menjanjikan senjata ini kepada Menlu Soebandrio saat melawat ke China pada Januari 1965. Peking pun menyarankan kepada Jakarta agar memperkuat kekuatan militer dengan mempersenjatai kaum buruh dan tani. Konsep inilah yang disebut sebagai ‘Angkatan Kelima’.
“Konsep itu tidak langsung diutarakan ke Soekarno, tetapi melalui beberapa pejabat berpengaruh, yaitu Soebandrio dan Aidit. Soekarno akhirnya menerima meski tahu akan mendapatkan resistensi dari militer, terutama Angkatan Darat,” kata Antonie CA Dake dalam buku Soekarno’s File.
Menurut Hutri, pembentukan angkatan kelima dalam konteks negara komunis memang rasional karena basis massa ideologi komunis adalah buruh tani. Namun untuk Indonesia jelas mengancam.
“Pasti akan terjadi rivalitas antara Angkatan Darat dengan pasukan baru tersebut. Jadi angkatan kelima itu dibawah komando siapa kalau digerakkan. Mereka itu bersenjata, sedangkan militer juga memiliki struktur yang jelas,” kata Hutri.
Mendengar kabar tersebut, para perwira senior Angkatan Darat menggelar pertemuan pada 13 Januari 1965. Pembahasan terkait ancaman komunis dan upaya menjauhkan Soekarno dari PKI.
Hubungan PKI dan Angkatan Darat semakin memanas. PKI mulai memprovokasi rakyat yang saat itu dalam kondisi sangat susah akibat inflasi yang mencapai 650 persen.
Presiden China Mao Zedong juga meminta Aidit mengambil tindakan cepat. Mao, menurut Victor M.Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965, meminta Aidit menghabisi semua jenderal dan perwira reaksioner untuk mengamankan PKI di Indonesia, mencontohkan apa yang dilakukan Mao saat menghabisi 20 ribu kader di Sehensi Utara beberapa tahun sebelumnya.
Permintaan itu di sampaikan ketika keduanya berada di Markas Besar Partai Komunis China di Zhongnanhai.
Dokumen Gilchrist
Surat tanpa alamat pengirim sampai ke meja Wakil Perdana Menteri I Soebandrio pada 15 Mei 1965. Surat berisi dokumen telegram rahasia dari Duta Besar Britania Raya untuk Indonesia Sir Andrew Gilchirst kepada atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris. Menerangkan kemungkinan kerja sama antara Inggris dan Angkatan Darat Indonesia serta rencana gabungan Inggris-AS untuk mengintervensi Indonesia.
Dokumen Gilchrist juga menyingkap keterlibatan sejumlah perwira Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada Presiden Soekarno, terutama terkait konfrontasi dengan Malaysia. Mereka disebut Dewan Jenderal.
“Soebandrio sempat meragukan validitas dokumen tersebut. Tata bahasa yang digunakan tidak mencerminkan gaya bahasa seorang diplomat Inggris. Kendati begitu, Soebandrio tetap melaporkan dokumen tersebut kepada Presiden Soekarno 10 hari setelahnya hingga semua panglima angkatan dipanggil menghadap Presiden,” kata Abie.
Beberapa bulan setelahnya, empat warga sipil di antaranya bernama Muchlis Bratanata melaporkan adanya kegiatan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta pada 21 September 1965.
Muchlis, seperti yang tertulis di buku Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965, menceritakan isi rapat kepada Soebandrio tentang rencana pengesahan kabinet baru versi Dewan Jenderal. Tak hanya bercerita, Muchlis juga membawa pita rekaman suara pembicaraan dalam rapat tersebut.
“Dalam rekaman ada suara Mayjen S Parman membacakan susunan kabinet, Jenderal AH Nasution sebagai perdana menteri, Letjen Ahmad Yani menempati posisi Waperdam I merangkap Menteri Pertahanan Keamanan, Mayjen MT Haryono sebagai Menteri Luar Negeri, Mayjen S Parman sebagai Menteri Kehakiman, dan Brigjen Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan,” kata Soebandrio dalam buku tersebut yang kemudian menyerahkannya kepada Presiden Soekarno.
Soebandrio sempat menanyakan langsung ke Ahmad Yani perihal kebenaran rekaman tersebut. Namun, Yani menjawab enteng, “Memang ada, tetapi dewan itu yang merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata, dan bukan dewan yang akan melakukan kudeta.”
Soebandrio juga mengorek keterangan dari Brigjen Soepardjo, Pangkopur II. Terkait ini, Soepardjo membenarkan, “Memang benar ada Dewan Jenderal dan bahkan sekarang sudah siap membentuk kabinet baru.”
Mungkin rentetan peristiwa itulah yang melatarbelakangi operasi penculikan dan pembunuhan yang menargetkan delapan jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965 oleh PKI. Operasi dilakukan oleh personel Angkatan Darat yang merasa kecewa dengan sikap ketidakpatuhan para jenderal. Terutama, personel dari wilayah Kodam Diponegoro.
Delapan jenderal itu adalah Menhankam Jenderal AH Nasution, Menpangad Letjen Ahmad Yani, Deputi II Mayjen R Suprapto, Deputi III Mayjen MT Haryono, Asisten I Bidang Intelejen Mayjen S Parman, Asisten IV Bidang Logistik Brigjen DI Panjaitan, Inspektur Kehakiman Angkatan Darat Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Wakil Asisten I Menpangad Bidang Intelejen Brigjen Ahmad Sukendro.
Sukendro lolos karena sedang berdinas ke China, sementara Nasution selamat dari upaya penculikan dengan harga mahal. Putri bungsunya, Ade Irma Nasution dan ajudannya, Pierre Tendean menjadi korban keberingasan Pasukan Cakrabirawa yang menyerbu rumah Nasution pada 1 Oktober 1965.
Konspirasi Internasional
Menurut Hutri Agustino, kondisi politik dunia pasca perang dunia kedua memang sedang memanas. Masing-masing pemenang perang mencari aliansi guna memperlebar pengaruhnya. Tentu, ini menyangkut juga soal ekonomi dan kekuasaan.
Indonesia, pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, memang aktif dalam kancah politik internasional. Dia terus bersuara keras menentang praktek-praktek Nekolim. Soekarno bahkan mampu membangun aliansi baru bersama negara-negara lain yang tidak mau terlibat ke blok barat bersama Amerika Serikat dan Inggris maupun blok timur bersama Uni Soviet dan China.
“Namun, dalam perjalanannya, pilihan-pilihan untuk netral itu juga sulit. Misalkan ketika proses Manilla Agreement, Bung Karno juga mau tak mau harus membangun aliansi untuk mewujudkan keinginannya. Begitu pun ketika pembebasan Irian Barat. Itulah politik diplomasi,” katanya.
“Sehingga, bila dilihat dari serangkaian kejadian dan beberapa literatur yang mengonfirmasi, kita sebagai akademisi juga meyakini bahwa konteks G30S PKI tidak terlepas dari konteks konspirasi internasional. Amerika pasti memiliki kepentingan terhadap Indonesia agar tidak menjadi aliansi Uni Soviet, sebagai poros Jakarta-Peking-Moskwa. Apalagi, Indonesia negara kaya sumber daya alam,” tambahnya.
Vincent Bevins dalam tulisannya di The Atlantic mengakui keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa kudeta 30 September. Namun, menurut dia, upaya melemahkan atau menggulingkan Soekarno sudah dilakukan jauh sebelumnya. Misal pada 1958, CIA mendukung pemberontakan regional bersenjata melawan pemerintah pusat.
Vincent mengutip pernyataan Profesor sejarah dari Universitas British Columbia di Vancouver, John Roosa. Pihak asing, khususnya Amerika Serikat memandang kegagalan PKI merebut kekuasaan sebagai kemenangan besar. Mereka mampu membalikkan Indonesia dengan cepat.
“Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia berdasarkan ukuran populasi, dan partai komunisnya adalah yang terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan Uni Soviet,” kata Vincent dalam tulisannya di The Atlantic.
Vincent adalah seorang wartawan sekaligus penulis buku The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and The Mass Murder Program That Shaped Our World.