JAKARTA - Presiden Xi Jinping mengunjungi pameran Partai Komunis China di Beijing pada 27 September 2022. Ini merupakan kemunculan pertamanya sejak menghadiri KTT Forum Kerja Sama Shanghai (SCO) di Uzbekistan pada medio September 2022.
Kemunculan Xi Jinping sekaligus menegaskan bahwa perbincangan hangat di media sosial sebelumnya menyoal kudeta militer di China hanyalah rumor belaka.
Kendati begitu, sejumlah pengamat intelejen meyakini adanya isu kudeta militer bukan hal yang sepele. Xi Jinping harus tetap mewaspadai langkah-langkah politik apa yang akan muncul selanjutnya. Terlebih, Kongres Nasional Partai Komunis China ke-20 akan digelar pada 16 Oktober nanti.
Apakah dia menunjuk pengganti atau terus melanjutkan kepemimpinannya, hasil kongres yang akan menentukan.
“Hingga saat ini belum ada nama pengganti yang diumumkan. Di sisi lain, Xi terus memperkuat kekuasaannya dalam setiap lembaga penting di China. Sehingga, kemungkinan besar Xi Jinping akan memulai masa jabatan ketiganya,” kata Dr Amrita Jash Asisten Profesor di Departemen Geopolitik dan Hubungan Internasional di Akademi Pendidikan Tinggi Manipal.
Melansir India Today, Xi Jinping berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya sebagai pemimpin tertinggi dengan memasukkan para loyalis di semua posisi penting partai dan negara.
Dia pun sukses menghapuskan batasan masa jabatan presiden, menggabungkan badan pemerintah baru yang disebut Komisi Pengawas Nasional ke dalam konstitusi China. Inilah ‘Pemikiran Xi Jinping’
“Pusat-pusat utama partai sangat bergantung padanya secara pribadi. Selama lima tahun terakhir, Xi memang sudah memastikan kontrol penuh atas fungsi-fungsi pemerintah,” Eerishika Pankaj, Kepala Direktur Riset dan Operasi di Organization for Research on China and Asia (ORCA) menuturkan pendapat yang sama.
Termasuk di lembaga Komisi Militer Pusat (CMC) dan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Xi Jinping sebagai ketua CMC telah menancapkan kekuasaannya. Dr Amrita Jash mengutip surat edaran CMC 2017 yang tegas menyatakan tentara harus setia, jujur, dan dapat diandalkan. Diartikan sebagai tentara harus mengikuti perintah, menjawab perintah, dan tidak pernah membuat Xi Jinping khawatir.
Sebagai panglima PLA, Xi pun telah beberapa kali melakukan perombakan struktural untuk mencari orang-orang yang setia kepadanya.
“Sampai mengadopsi taktik promosi cepat perwira PLA untuk mendapatkan loyalitas. Sejak 2019, Xi telah mempromosikan 38 perwira ke pangkat jenderal, memberikan pos-pos kunci kepada loyalisnya. Tentu, ini upaya menekankan implementasi pemikiran Xi Jinping terhadap penguatan PLA,” Dr Jash melanjutkan.
PLA adalah tentara Partai Komunis China. Bertanggung jawab kepada ketua PKC dan ketua CMC, kedua posisi yang diduduki oleh Xi Jinping.
“Begitupun dalam struktur kekuasaan pusat partai. Pemegang semua jabatan pengambil keputusan utama sudah diisi oleh para geng Xi yang membuat kekuasaan dua faksi lainnya runtuh, geng Shanghai yang dipimpin Jiang Zemin dan Liga Pemuda Komunis China yang dipimpin oleh Hu Jintao,” terang Eerishika Pankaj .
Jangan Lengah
Sejatinya, Indonesia harus tetap mewaspadai ketegangan politik yang terjadi di China saat ini. Terlebih, dengan adanya konflik dengan Taiwan dan isu kudeta beberapa waktu lalu. Bila ketegangan tersebut mengarah ke konflik hingga mengganggu perekonomian, Indonesia pasti terkena imbasnya.
Nilai ekspor-impor nonmigas Indonesia ke China pada 2021 saja, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sebesar 51,1 miliar dolar AS untuk ekspor dan 55,7 miliar dolar AS untuk impor.
Begitupun nilai investasi China ke Indonesia yang mencapai 3,16 miliar dolar AS sepanjang 2021, terbesar ketiga bagi Indonesia.
“Perang Rusia saja belum selesai dampaknya. Bayangin kalau sampai ada apa-apa dengan China, kita semua rontok, termasuk Indonesia,” kata Conny Rahakundini dalam siaran YouTube bersama Helmy Yahya dan Mardigu Wowiek pada 28 September 2022.
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani pun berpendapat sama. Agar stabilitas tetap terjaga, pemerintah harus melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor sehingga mengurangi ketergantungan terhadap China.
“Bisa penjajakan dengan negara-negara lainnya biar lebih merata dan tidak terlalu terfokus ke satu negara,” ucapnya beberapa waktu lalu.
Mengajak Berkolaborasi
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tegas menyuarakan paradigma kolaborasi untuk mengatasi berbagai tantangan global di sidang Majelis Umum PBB pada 26 September 2022.
Kondisi dunia, kata Retno, sangat mengkhawatirkan saat ini. Pandemi terus berlanjut dan perekonomian global masih berjalan lambat. Belum lagi hantaman krisis mulai dari perubahan iklim, kenaikan inflasi, hingga kekurangan pangan dan energi yang sudah terjadi di seluruh dunia.
Selain itu, perang antar bangsa bukan lagi suatu kemungkinan, tetapi telah menjadi kenyataan. Pelanggaran hukum internasional telah menjadi norma dalam mengejar kepentingan pribadi yang sempit.
Itulah mengapa, semua negara harus berkaca dari sejarah periode menjelang perang dunia kedua. Terjadi depresi besar, kebangkitan ultra nasionalisme, persaingan atas sumber daya dan persaingan antara kekuatan besar. Sangat mirip dengan apa yang dihadapi saat ini.
"Jelas, kita telah menangani tantangan ini dengan cara yang salah. Kita telah terpecah bukan bersatu. Kita bekerja sendiri-sendiri bukan kolektif bekerja sama. Kita fokus pada ucapan daripada perbuatan," Retno melanjutkan dengan nada tegas.
Menurut Retno, perlu ada tatanan dunia berbasis paradigma baru. Paradigma win-win, bukan zero-sum. Paradigma merangkul, bukan mempengaruhi (containment). Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi.
"Ini harus diawali dengan penghormatan terhadap hukum internasional. Prinsip kedaulatan dan integritas wilayah tidak bisa ditawar. Prinsip-prinsip ini harus senantiasa ditegakkan. Penyelesaian masalah secara damai harus menjadi satu-satunya solusi untuk setiap konflik," ucap Retno.
Paradigma kolaborasi harus menjadi semangat PBB. Pendekatan yang inklusif harus dikedepankan. Suara seluruh negara diperlakukan secara setara. Suara setiap negara, besar maupun kecil, harus didengarkan di forum PBB. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi PBB dan pembaharuan multilateralisme agar sesuai dengan tuntutan zaman.
"Saya percaya dengan bekerja bersama-sama dan mengadopsi paradigma baru, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua. Sekarang bukan saatnya lagi kita hanya berbicara. Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk melakukan apa yang kita sampaikan," tandas Retno Marsudi.