Dari Pendidik Hingga Hakim Agung Terseret Kasus Korupsi: Mengapa Sejak Reformasi Masalah Negeri Ini Tak Juga Berubah?
Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kerap diteriakkan pengunjuk rasa seolah hanya angin lalu. Korupsi pada era reformasi bahkan semakin masif. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - “Sudah sampai mana Gus, hijrah kita?” Pertanyaan ini dilontarkan Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau dikenal dengan HOS Tjokroaminoto kepada rekannya, Agus Salim seperti yang digambarkan Garin Nugroho dalam filmnya pada 2015, Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto.

Agus Salim menjawab singkat, "Mungkin sudah sampai Arafah di mana kita harus selalu berdoa kepada Allah."

HOS Tjokroaminoto adalah Pahlawan Nasional. Dikenal sebagai guru besar karena telah menjadi guru bagi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Termasuk di antaranya Soekarno, Semaoen, Muso, Alimin, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Hijrah baginya adalah berpindah dari tempat buruk ke tempat lebih baik agar bisa menjadi sumbu api yang membuat umat menjadi terang. Bahkan ketika menemani istrinya, Suharsikin menjelang ajal, Guru Bangsa tersebut kembali mengucapkan kata hijrah.

“Hijrah ku kali ini akan menemanimu,” kata Tjokroaminoto.

Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto menguatkan kembali konsep hijrah dalam upayanya menentang penindasan pada masa penjajahan. (Tangkapan layar Film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto karya sutradara Garin Nugroho pada 2015)

Hijrah, menurut Direktur PolEtik Strategic, M Subhan, bukan melulu sebagai teks agama. Hijrah adalah terminologi sosial, budaya, juga politik.

Tengok kondisi Indonesia saat ini. Sejak hijrah terakhir pada 1998, bangsa ini belum juga mampu mewujudkan reformasi secara tuntas. Memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme hanya sekadar slogan.

Demokrasi diagungkan bukan untuk keadaban berpolitik. Demokrasi hanya dijadikan kendaraan untuk berebut kekuasaan, bukan untuk memberdayakan dan menyejahterakan rakyat.

“Setelah lima presiden berkuasa, masalah negeri ini tetap tak juga berubah: politik gaduh, ekonomi goyah, hukum seolah-olah adil, korupsi gagal diberantas, moralitas mengkhawatirkan, bangsa tak berkarakter, dan banyak lagi. Itulah potret generasi sekarang,” ucap Subhan dalam bukunya, Bangsa Mati di tangan Politikus.

Dari Rektor hingga Hakim Agung

Pada 19 Agustus 2022, Rektor Universitas Lampung Karomani terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karomani diduga meminta sejumlah uang kepada orangtua yang ingin anaknya menjadi mahasiswa Unila melalui jalur Seleksi Mandiri.

Uang yang diminta, kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, berkisar Rp100-350 juta per orang.

“Miris, menyedihkan, sekaligus memprihatinkan. Rektor atau pendidik yang seharusnya menjadi panutan justru melakukan sesuatu yang tidak terdidik. Jauh dari nilai-nilai pendidikan,” ucap Subhan.

Lalu, pada awal September 2022. Sebanyak 23 narapidana koruptor bebas bersyarat. Termasuk, mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Ratu Atut Chosiyah, dan Zumi Zola. Ini, kata Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2014-2019, Saut Situmorang, menandakan korupsi belum dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Hakim Agung Sudrajad Dimyati ditahan KPK. Sudrajad ditetapkan sebagai tersangka suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. (VOI/Wardhany Tsa Tsia)

“Kita selalu bilang sepakat korupsi itu extra ordinary crime, tapi perilaku kita masih ordinary. Kalau ekstra ordinary crime, kita harus extra ordinary effortextra ordinary personextra ordinary timeextra ordinary ketat, dan extra ordinary lainnya,” kata Saut kepada VOI.

Lebih miris lagi, ketika Hakim Agung Sudrajad Dimyati terseret kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung pada 23 September 2022. Hakim dan perangkat pengadilan sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru terseret kasus hukum. Lantas di mana lagi rakyat mencari keadilan?

Mahkamah Agung saja, kata mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, sebagai benteng pencari keadilan terakhir nyaris runtuh.

“Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara harus segera bertindak terhadap peristiwa penangkapan terhadap hakim agung. Sebab, hal tersebut bisa menjadi isu, tidak saja menggemparkan masyarakat di dalam negeri, melainkan juga secara internasional,” kata Gayus dalam tulisannya, Negara Dalam Keadaan Darurat Peradilan dan Darurat Peradaban Hukum.

Memperkuat Komitmen

Ketua Mahkamah Agung, Syarifuddin mengaku kecewa. Ini tentunya menjadi momen tepat untuk memperkuat kembali komitmen menegakkan hukum dan keadilan dengan selurus-lurusnya.

“Kita semua bersedih, kecewa, geram dengan kejadian ini. Sungguh ini musibah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Namun, kesedihan, kepiluan, kekecewaan ini tidak boleh membuat kita lalai, tapi harus membuat kita melihat ke depan. Kita harus pandai mengambil hikmah dari musibah ini,” kata Syarifuddin dalam keterangan tertulisnya dilansir dari situs resmi Mahkamah Agung pada 26 September 2022.

Ia meminta satuan khusus Badan Pengawasan yang ada di Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan sesering mungkin. Hal ini menurutnya guna meningkatkan pengawasan dini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

“Saya ingin kita bersama-sama dengan ikhlas, dengan tulus, dengan kemauan sendiri, dengan tekad sungguh-sungguh mematuhi kode etik pedoman prilaku hakim,” tegasnya.

Terkait hal tersebut, Syarifuddin mengumpulkan para pimpinan, Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di ruang Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung, Jakarta, pada Senin sore, 26 September 2022. Mengajak mereka membaca kembali Pakta Integritas.

Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin mengajak para pimpinan, Hakim Agung, Hakim Ad Hoc membacakan kembali Pakta Integritas untuk memperkuat kembali komitmen menegakkan hukum dan keadilan dengan selurus-lurusnya pada 26 September 2022 (Website Mahkamah Agung- Foto: SNO)

Berikut adalah naskah Pakta Integritas yang dibacakan bersama-sama:

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:

  1. Saya tidak akan melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau kelompok tertentu, menyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada saya, karena jabatan atau kedudukan saya, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

  2. Saya akan selalu menjaga citra dan kredibilitas Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Pengadilan melalui pelaksanaan tata kerja yang jujur, transparan dan akuntabel untuk mendoroang peningkatan kinerja serta keharmonisan antara pribadi baik di dalam maupun di luar lingkungan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan, sesuai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan atau Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

  3. Apabila saya melanggar hal-hal yang telah saya nyatakan dalam Pakta Integritas ini, saya bersedia dikenai sanksi seberat-beratnya.

“Ini merupakan momen yang tepat untuk kita kembali memperkuat kembali komitmen yang pernah kita ucapkan ketika kita dilantik apakah itu sebagai Pimpinan Mahkamah Agung, sebagai Hakim Agung atau Hakim Ad Hoc,” imbuh Syarifuddin.

Pada era Tjokroaminoto, para pemimpin rakyat berlomba-lomba berkorban untuk bangsa. Sekarang sebaliknya, para pemimpin justru berlomba-loma mengeruk keuntungan dari jabatan dan wewenang yang dipegangnya. Kegaduhan bangsa sekarang ini selalu berputar-putar di sekitaran para pemimpinnya.

“Ternyata, kita memang tidak benar-benar berhijrah,” ucap Subhan dalam bukunya.