Bagikan:

JAKARTA - Ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan sedang tidak baik-baik saja. Perang, utang masa lalu, konsep pembangunan, hingga inflasi jadi muasalnya. Apalagi pembangunan ekonomi bukan prioritas utama. Rakyat Indonesia pun menderita. Karenanya, Soekarno memahami benar penderitaan rakyatnya. Sebagai gantinya ia enggan mengambil gaji tinggi. Gajinya cenderung kecil. Ia bahkan acap kali pinjam duit ke ajudannya. Kondisi itu membuatnya dikenal sebagai salah satu kepala negara yang melarat.

Periode revolusi kemerdekaan (1945-1949) adalah periode penuh perjuangan bagi bangsa Indonesia. Secara politis, Indonesia memang sudah merdeka. Tapi tidak secara ekonomi. Ketergantungan Indonesia kepada perusahaan asing jadi rangkaian bab yang tak pernah usai.

Kondisi itu diperparah lagi karena perang revolusi, inflasi, dan konsep pembangunan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia. Namun, bukan berarti Indonesia tak memiliki rencana untuk meningkat pembangunan ekonomi. Penyitaan aset kekayaan dan nasionalisasi perusahaan asing sempat jadi ajian. Sekalipun penuh resiko.

Pengambil alihan itu sempat diyakini sebagai juru selamat. Nyatanya, jauh panggang dari api. Ekonomi Indonesia yang seharusnya melesat jadi menurun tajam karena ragam masalah. Kurangnya tenaga ahli dan alat produksi adalah beberapa di antaranya.

Soekarno pun mencoba mengambil sikap dengan  menggelorakan narasi : politik sebagai panglima. Slogan itu mengemuka selama pemerintahan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Tujuannya tak lain supaya pembangunan ekonomi dapat berkembang pesat. Indonesia pun dapat bersinar di mata dunia karenanya.  Faktanya narasi itu tak ubahnya sebuah retorika belaka. Di lapangan, masalah ekonomi tak pernah jadi prioritas utama pemerintah Indonesia.

“Perlu dikemukakan bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara de jure ditandai dengan berlakunya Dekrit Presiden. Dalam kerangka Demokrasi Terpimpin Soekarno mencoba untuk memperkenalkan sistem sosialisme yang disebuatnya sebagai: sosialisme ala Indonesia. di dalam semboyan sosialisme tersebut, terdapat banyak sekali retorika nasionalis yang tertuju pada penciptaan transformasi ekonomi serta pengembangan sektor modern.”

“Dalam situasi demikian, apa yang dahulu menjadi tujuan para politisi yang menganut pandangan ekonomi nasional, kemudian diterjemahkan dalam slogan-slogan politik. Karena itu makin sedikit perhatian yang diberikan kepada bidang ekonomi dan yang terkait, sehingga menghalangi pelaksaan yang efektif dari Rencana Pembangunan Lima Tahun,” ungkap Bondan Kanumoyoso dalam buku Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001).

Ambisius dan Tidak Realistis

Selama periode Demokrasi Terpimpin, langkah-langkah yang dibuat oleh pemerintah cenderung ambisius dan tak realistis. Permasalahan makin banyak muncul ketika pemerintah turut mengubah posisi Bank Indonesia. Yang mana, Bank Indonesia dulunya dapat bebas membuat kebijakan sendiri tanpa adanya campur tangan penguasa, menjadi berada di bawah pangkuan empunya kekuasaan.

Bank Indonesia langsung mencetak uang sebanyak-banyaknya. Uang itu digunakan banyak untuk membiayai proyek ambisius pemerintah Indonesia. Mereka membangun banyak proyek mercusuar, agitasi dan propaganda terhadap Malaysia, nasionalisasi perusahaan asing, serta pembelian peralatan tempur. Tindakan itu jelas mengundang masalah: inflasi melonjak. Segenap rakyat Indonesia harus menanggung imbasnya: kemiskinan.

“Pertengahan dasawarsa 1960-an adalah masa suram bagi perekonomian Indonesia. Tingkat produksi dan investasi di berbagai sektor utama menunjukkan kemunduran semenjak tahun 1950. Pendapatan riil per kapita dalam tahun 1966 sangat mungkin lebih rendah daripada dalam tahun 1938. Sektor industri yang menyumbangkan hanya sekitar 10 persen dari Produk domestik bruto dihadapkan pada masalah pengangguran kapasitas yang serius.”

“Di awal dasawarsa tersebut defisit anggaran belanja negara mencapai 50 persen dari pengeluaran total negara, penerimaan ekspor sangat menurun, dan selama tahun 1964-1966 hiperinflasi melanda negara ini dengan akibat lumpuhnya perekonomian,” jelas Anne Booth dan Peter McCawley dalam buku Ekonomi Orde Baru (1986).

Gaji Kecil Bung Besar

Bung Karno mengetahui dengan pasti tiap masalah yang mendera Indonesia. Ia memiliki empati yang tinggi atas penderitaan yang dialami oleh segenap rakyat Indonesia. karena itu, penderitaan rakyat akibat pembangunan ekonomi tak saja membuatnya prihatin, tapi juga memberinya gambaran, jika membesarkan suatu bangsa adalah pekerjaan yang kompleks.

Menurut Bung Karno, mengeluarkan masyarakat dari krisis bukan melulu harus dibantu perkara urusan perut. Rakyat juga harus diberikan makanan untuk jiwanya. Bung Besar mencoba jadi teladan. Ia ingin berada bersama rakyat. Langkah yang diambilnya cukup besar. Bung karno tak perna mengharapkan gaji besar selama menjabat sebagai orang nomor satu di Nusantara.

Ia hanya menerima 220 dolar AS per bulan. Jumlah segitu jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, kurang. Ia pun menyamakan kondisi keuangannya selama jadi presiden tak ubahnya seperti zaman berjuang di Bandung. Dengan kata lain: ia sama-sama dalam kondisi melarat.

Sekali waktu, Bung Karno sendiri sampai meminjam uang dari ajudannya sendiri. Bung Karno tak malu menuturkannya. Ia juga menyebut dirinya sebagai salah satu presiden melarat di dunia. alih-alih memiliki tabungan berlebih, rumah pun tidak.

“Aku tak memiliki rumah sendiri. Tidak ada tanah. Tidak ada tabungan. Lebih dari sekali aku tidak mempunyai sisa uang untuk pengeluaran rumah tanggaku. Di sebuah negara, Duta Besar kami terpaksa membeli piyama untukku. Satu-satunya piyama presiden sudah sobek. Negara menyediakan tempat tinggal dengan cuma-cuma, bebas pemakaian listrik, empat buah mobil resmi dan tiga di dalam garasi untuk tamu negara dan mereka membelikan pakaian seragamku.”

“Tetapi akulah satu-satunya presiden di dunia yang tidak punya rumah sendri. Baru-baru ini rakyatku menggalang dana untuk membangun sebuah gedung buatku, tapi di hari berikutnya aku melarangnya. Ini bertentangan dengan pendirianku. Aku tidak mau mengambil sesuatu dari rakyatku. Aku justru ingin memberi mereka,” cerita Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Perihal kecilnya gaji yang diterima oleh Bung Karno justru membuat orang di sekitarnya hormat. Ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko salah satunya. Bung Karno bahkan dianggapnya sebagai seorang panutan. Dalam kesulitan keuangan sekalipun Bung Karno tak pernah absen untuk memikirkan nasib dari bawahannya.

Acap kali Bung Karno sering memberikan uang tambahan dari koceknya pribadi kepada ajudannya untuk ragam tujuan. Ia menyadari betul bahwa bawahannya pendapatan jauh di bawahnya. Pun sama seperti Bung Karno, mereka hanya mengandalkan gaji bulanan untuk menghidupi anak-istri.  

“Memang benar yang dikatakan Bung Karno, waktu itu kami hanya hidup dari gaji yang diterima setiap bulan. Tetapi kami semua sadar bahwa keadaan ekonomi negara memang sedang sulit dan semua orang juga sama-sama menderita.”

“Lingkungan tempat bekerja, baik atasan atau bawahan juga teman-teman, semua hidup sederhana. Maka tekanan ekonomi yang berat terasa lebih ringan dan dengan sepenuh ketulusan hati kami semua bekerja menjalankan tugas kewajiban kami masing-masing,” Tutup Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (1998).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada