JAKARTA - Tindak-tanduk Mohammad Hatta penuh inspirasi. Kesederhanaan Bung Hatta dalam menjalani kehidupan jadi salah satunya. Semasa muda Bung hatta tak terpengaruh pergaulan bebas, pun setelah tua tak gila jabatan.
Sosok proklamator itu menjadi perwujudan sempurna pahlawan bangsa, baik ia secara pribadi atau pejabat. Padahal, Hatta lahir dari dua perpaduan dua keluarga terkemuka: pemuka agama dan saudagar. Tapi Bung Hatta memilih jalan kesederhanaannya sendiri.
Boleh jadi banyak tokoh nasional –termasuk Soekarno-- yang hidup semasa dengan Bung Hatta akrab dengan kemiskinan. Akan tetapi Bung Hatta dalam kehidupannya tak merasakan hal itu.
Penyebabnya, Bung Hatta lahir dari garis keluarga kaya raya di tanah Minang. Bung Hatta dimanjakan, bahkan hidupnya cukup berada. Justru kemiskinan ditemukan Bung Hatta dari pengamatan akan bangsanya yang semakin melarat di bawah penjajahan Belanda.
Sekalipun lahir dari keluarga kaya, kehidupan Bung Hatta jauh dari foya-foya. Dalam banyak hal, Bung Hatta lebih memilih jalan sebagai pesakitan, dibanding memanfaatkan kesempatan menjadi kaya raya.
Pandangan akan kesederhaannya itu semakin menggugah sikap kerakyatannya ketika menimba ilmu di negeri Belanda. Di negeri penjajah itulah Bung hatta memamahami perjuangan adalah sepenuhnya untuk kemerdekaan Indonesia.
“Cepat, tepat, dan teratur, itulah warisan yang ku bawa dari Prins Hendrik School (PHS Batavia). Didikan pada Handels-Hogeschool di Rotterdam menyempurnakannya. ‘Berbuat karena Allah,’ yang menjadi dasar didikanku dari rumah juga membentuk membentuk aku sebagaimana aku dalam pelajaran, pendidikan, dan perjuangan bangsa untuk bangsa dan negara selama hidupku. Carilah kebenaran, tuntut kebenaran, laksanakan kebenaran itu dalam masyarakat, senantiasa menjadi peganganku dalam segala tindakan” ungkap Bung Hatta dalam bukunya Mohammad Hatta: Memoir (2002).
Proses perjuangan malah menjadikan sosok Hatta makin sederhana. Ia tak mau bermewah-mewah, tak juga mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kesederhanaan itu telah diamini oleh banyak orang. Presiden RI kedua Soeharto, misalnya.
The Smiling General selalu mengenang Hatta sebagai figur yang perlu diteladani seluruh bangsa Indonesia. Apalagi, sepulang dari Belanda, sebenarnya Bung Hatta dapat hidup senang sebagai sarjana ekonomi.
Kendati demikian, Bung Hatta tetap memilih jalur perjuangan. Perjuangan itu kemudian mengantarnya mencicipi penderitaan selama diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Boven Digoel (1935) dan Banda Neira (1936).
Pengasingan demi pengasingan itu kemudian makin melanggengkan sosok Bung Hatta yang sederhana. Karena itu, dalam kesederhanaan itulah letak kekuatan, kebesaran, dan keagungan dari sosok yang pernah menjadi Wakil Presiden Pertama Indonesia.
"Kita semua perlu berguru pada kehidupan Bung Hatta," kata Soeharto dikutip buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (2008).
Kesederhanaan Bung Hatta dalam kenangan
Tak sedikit tokoh bangsa yang mengungkap jika ingin belajar kesederhanaan, maka belajarlah dari Bung Hatta. Pandangan itu bukan pepesan kosong belaka. Hingga akhir hayatnya, Bung Hatta hidup dalam kesederhanaan.
Bung Hatta enggan memuja kesenangan yang berlebihan, juga tak mau menggunakan uang yang bukan haknya. Sikap ini bahkan sempat diutarakan oleh sahabatnya Soekarno dengan nada sedikit menyindir. Di mata Soekarno, Hatta dianggapnya sosok terlalu serius.
“Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama. Cara yang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta ialah dengan menceritakan tentang kejadian di suatu sore, ketika dalam perjalanan ke suatu tempat dan satu‐ satunya penumpang lain dalam kendaraan itu adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang sepi dan terasing ban pecah. Jejaka Hatta adalan seorang yang pemerah muka apabila bertemu dengan seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini,” cerita Bung Karno dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Hatta, menurut Bung Karno justru tak berlaku berlebihan. Ketika supir pergi mencari bantuan selama dua jam, Bung Hatta justru didapati tengah tidur di sudut yang jauh dari si gadis. Wujud kesederhanaan lainnya juga diperlihatkan Bung Hatta saat dirinya masih menjabat Wakil Presiden.
Tak pernah sekalipun Bung Hatta mengambil uang yang bukan haknya. Seperti yang dikisahkan oleh mantan Sekretaris Pribadi Bung Hatta, I Wangsa Widjaja. Sekretarisnya bercerita walau setiap bulan selalu ada sisa uang untuk anggaran rutin biaya rumah tangga wakil presiden.
Uang itu selalu dikembalikan ke kas negara. pada kesempatan lainnya pun begitu. Bung Hatta selalu menolak pemberian amplop dari pejabat-pejabat daerah, karena biaya perjalanan dan penginapannya sudah dibiayai oleh negara.
Kesederhanaan Bung Hatta semakin terlihat ketika dirinya mundur dari jabatan wakil presiden pada 1956. Alhasil, Bung Hatta tak mendapatkan gaji lagi. Satu-satunya pendapatan hanya bersumber dari uang pensiun yang tak seberapa sebagai wakil presiden.
Saking kecilnya, uang tersebut tidak cukup untuk membayar seluruh tagihan rumah, dari tagihan air, listrik, dan telepon. Sebenarnya, jika mau, Bung Hatta dapat menjadi komisaris pada berbagai perusahaan. Opsi itu tak dilakukan.
Demi mencari tambahan, Bung Hatta mencoba masuk ke dunia menulis dan mengajar. Setelahnya, Bung Hatta banyak dibantu oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977) yang mengusulkan Bung Hatta menjadi warga kota utama. Lantaran itu beberapa tagihan Bung Hatta dibayarkan oleh pemerintah DKI Jakarta.
“Beliau mendapatkan kesulitan mengenai pembayaran PAM dan Iuran Rehabilitasi Daerah (Ireda). Begitu sederhananya hidup pemimpin kita itu. Saya tidak tahu persis berapa pensiun yang beliau terima waktu itu. Tapi dengan adanya kabar demikian yang sampai pada saya, terharu saya mendengarnya. Saya segera mencari akal, mencari jalan apa yang saya dapat perbuat semampu saya untuk membantunya,” pungkas Ali Sadikin dikutip Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977.
Tak hanya itu, keserdehanaan Bung Hatta tercermin pula dari keinginannya yang berkeras hati tak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (Kalibata). Dalam surat wasiat yang ditulis pada 1975, atau lima tahun sebelum ia wafat pada 14 Maret 1980, Bung Hatta mengungkap tak ingin dikuburkan di makam pahlawan.
Bung Hatta mengatakan dirinya ingin dikubur pada kuburan rakyat biasa agar dirinya selalu dekat dengan rakyat yang selama ini diperjuangkan oleh Bung Hatta. “Pokok-pokok pikiran Bung Hatta tentu berkaitan erat dengan pribadinya sebagai muslim yang diizinkan oleh syariat beristri empat. Adapun keempat istri Bung Hatta adalah: Pertama, Indonesia. Kedua, bangsa. Ketiga, pekerjaannya. Keempat, Ny. Rahmi Hatta,” Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 5 (2012).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.