JAKARTA - Pemerintah kolonial Belanda paling lihai dalam menarik pajak. Selama menjajah Indonesia, Belanda menarik pajak untuk banyak hal, dari pajak kepala hingga bahan pokok. Kelihaian menarik pajak tak saja membuat negeri Belanda makmur, tapi turut melanggengkan kuasanya atas Nusantara. Begitulah kolonialisme.
Awalnya penarikan pajak itu dibatasi kepada etnis China yang jadi penggerak ekonomi. Baru setelahnya kaum bumiputra ikut dipajaki. Pajak-pajak itu buat Belanda makin untung. Sementara rakyat Indonesia, tuan rumah negeri ini malah buntung.
Ketika membangun Batavia, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang menjabat dua kali pada 1619-1623 dan 1627-1629 banyak mendatangkan orang China pada 1619. Keterampilan orang China sebagai penggerak ekonomi suatu kawasan jadi muaranya.
Dalam berbagai kesempatan Coen selalu menyanjung imigran China sebagai bangsa yang ulet nan rajin. Coen mulai memberikan ragam kemudahan dan serangkaian hak istimewa di Betawi, termasuk menjadikan orang China warga kelas dua, setelah orang Eropa.
Buntutnya, orang China yang tinggal di Batavia menjelma jadi kelompok masyarakat unggulan. Mereka banyak berkutat dalam aktivitas perniagaan. Mereka jadi pemilik toko, pedagang, agen komisi, dan pekerja lapangan.
Sederet profesi itu semakin menjadikan peran orang China begitu vital. Sebab, hampir seluruh kebutuhan harian di Batavia mereka yang menyediakan.
“Warga Tionghoa yang bekerja pada masa pemerintahan gubernur jenderal pertama tidak memiliki keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa Coen sangat menghargai warganya. Dia tidak pernah memberikan toleransi kepada orang Inggris atau Belanda yang memperlakukan orang Tionghoa secara tidak adil. Coen juga tidak memandang mereka sebagai pajak yang berlebihan,” ungkap Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 (2010).
Sebagaimana pernah kami bahas dalam artikel MEMORI berjudul Bujuk atau Rayu Mereka, TKA China Harus Datang ke Nusantara, jasa-jasa Coen tersebut membuat kebanyakan orang China betah hingga menetap di Batavia. Apalagi, orang China tersebut menganggap kesejahteraan tanah koloni sebesar-besarnya adalah jasa Coen.
Kepercayaan itu dibalas oleh Coen dengan mengangkat Souw Beng Kong sebagai kapitan China pertama, atau yang lebih dikenal sebagai pemimpin orang China di Batavia. Yang mana, Coen dan Souw Beng Kong, hubungannya laksana dua orang sahabat.
Akan tetapi, setelah Coen tak berkuasa, sebagian orang China memilih meninggalkan Batavia karena pajak-pajak yang begitu banyak. Namun, hal itu langsung ditanggulangi oleh sederet gubernur jenderal setelahnya.
Mereka mencoba mengurangi pajak-pajak yang harus dibayarkan oleh orang China. Setelah orang China merasa nyaman di Batavia. Pajak pun kembali dinaikan. Namun, dengan memberikan kemudahan lain, seperti membebaskan mereka dari tugas mengangkut tanah untuk tembok kota, karena mereka telah membayar pajak kepala.
“Ini berarti mereka membayar lima kali lebih banyak dari penduduk lain dalam hal pembiayaan Batavia. sedangkan untuk pembangunan Balaikota atau stadhuis, mereka membayar tiga kali lebih besar. Gubernur Jenderal Brouwer pada 1633 menyatakan, dalam segala hal penduduk China lebih unggul dari orang Belanda sendiri. Pada 1644, orang China mengontrak 17 dari 21 macam pajak yang dipungut, seperti pajak perjudian, pasar malam, pasar, ekspor-impor, dan pertunjukkan wayang orang,” tulis Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013).
Orang China penarik pajak ulung
Pertumbuhan jumlah orang China dan meningkatnya pajak menyebabkan lingkup tugas Kapitan China menjadi semakin luas. Demi meringankan tugas-tugasnya, pada 1678 Kapitan China mengangkat opsir China baru dengan sebutan letnan dan sersan.
Mereka inilah yang membantu Kapitan China dalam urusan administrasi penduduk China di Batavia sekaligus melakukan pemungutan pajak. Bahkan setelah VOC bangkrut lalu menjadi Hindia-Belanda, profesi orang China –di dalam atau diluar Batavia-- sebagai penarik pajak tetap berlanjut.
“Orang-orang Tionghoa juga dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai, pasar, dan lain-lain. Orang-orang Tionghoa ini berlomba-lomba melakukan penawaran untuk mendapatkan konsesi pemungutan pajak. Oleh karena semakin banyak yang ingin terjun di bidang yang dianggap basah ini, sudah tentu semakin mahal pula yang harus di bayarkan mereka kepada para Sultan tersebut,” ujar Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran politik (2008).
Begitu efektifnya orang China sebagai penarik pajak kemudian mendapatkan kepercayaan banyak kalangan, termasuk dari kerajaan Nusantara dan Inggris. Atas dasar itu pemerintah Kolonial mulai mempercayakan sumber keuangan penting bernama pacht kepada orang China.
Pacht adalah suatu sistem di mana monopoli atau hak pajak penguasa politik, Belanda maupun Jawa, dujual pada para pedagang China dalam lelangan umum. Setelahnya, mereka dapat melakukan penarikan pajak, bea-cukai, penjualan candu, penggadaian, pengangkutan, penyeberangan melalui sungai, pajak pasar, dan lain sebagainya.
Biasanya jangka waktu dari pacht terbatas pada satu tahun atau lebih. Pacht tak hanya jadi sumber uang pemerintah kolonial, tepi juga sumber kekayaan bagi orang China. Lantaran pemegang pacht juga melanggeng kegiatan perdagangan, menjual barang impor ke desa, dan membeli hasi-hasil bumi dari kaum bumiputra.
“Para opsir (China) dapat memperoleh pacht dengan harga lebih murah daripada pedagang lain. Karena kedudukan opsir ini secara turun-temurun berada di tangan beberapa keluarga, maka sumber kekayaan terpenting pun berada di tangan sekelompok kaum peranakan. Jadilah keluarga opsir ini penimbun modal, para kapitalis, selain menjadi ‘pelindung’ (patron) di kalangan orang Tionghoa,” imbuh sejarawan, Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Alhasil, pendapatan Belanda yang menjadikan orang Tionghoa pemegang pacht –penarik pajak—meningkat tajam. Dalam konteks itu, mereka jadi penarik pajak ulung, sekaligus dapat meningkatkan pemasukan dari pajak ke kas Belanda. Bahkan pada periode 1877, pemasukan ke kas Belanda justru lebih banyak dari pajak dibanding hasil jualan hasil bumi.
“Pada 1877, pemasukan negara turun menjadi 143,351 juta, 42,377 juta di antaranya datang dari berbagai produk, dan 46,001 juta dari pajak. Untuk pertama kali dalam sejarah administrasi Batavia pemasukan pajak lebih besar daripada produk. Perkembangan ini lebih terlihat lagi pada 1897 ketika pemasukanı pajak 53 juta dan produk hanya 10 juta,” tutup Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1959).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.